"Hah? Kau bercanda?" Sosok pemuda berambut pirang menarik kerah pemuda yang lain. Wajahnya mengetat, memerah menandakan amarah. "Kau pikir untuk apa kami di sini? Bermain? Kau tak bisa seenaknya begitu!"
Pemuda berambut hitam yang dicekik kemeja birunya hanya terdiam. Dia tidak membalas pandangan, apalagi membalas perkataannya. Namun, diam tak selalu emas. Bisa juga menjadi air yang menyiram ke dalam minyak panas yang terbakar. Meledak.
Pemuda pirang tadi melempar tubuhnya sembarang. Emosinya sudah tidak tertahan. Orang-orang di sekitarnya seolah asing, mereka cuek saja. Namun, tatapan mereka sama. Menghakimi seenaknya pemuda yang kini sudah tersungkur di dekat sofa.
"Maaf," cicitnya lantas berdiri tegak. Meninggalkan semuanya di belakang.
Kelompok itu pun hancur. Kepingan-kepingan mulai berlarian. Membawa rasa sakit dan kepedihan. Satu masalah yang tidak mampu diselesaikan, akhirnya mengubah segalanya. Kesatuan yang bisa dieratkan, kini patah. Bercampur dengan rasa kecewa dan dendam.
"Haha! Aku tahu kau bodoh, tapi tak kusangka kau sebodoh ini."
Pemuda berambut hitam tadi menghentikan langkah. Menatap gadis yang sedang mengemut permen lolipop sambil menertawakannya. Wajah polosnya amat menyebalkan, tapi pemuda itu sudah terbiasa. Dia hanya berdeham hingga akhirnya melanjutkan langkah.
"Bukannya kau terlalu gegabah? Kenapa tidak jujur saja, sih? Seneng banget jadi antagonis," cibir sang gadis dengan mengikuti langkah sang pemuda.
Pemuda itu melirik gadis yang menjadi kekasihnya dua hari yang lalu. "Aku tidak suka dikasihani."
Gadis itu tertawa lagi. "Haha. Hidupmu memang kurang menantang, ya? Apa enaknya membuat semua orang menjadi musuh?"
"Tidak semuanya," ralat sang pemuda, "setidaknya kau bukan musuhku."
Gadis itu mengeluarkan lolipop dari mulutnya hingga mengeluarkan suara. "Oh, ya? Bukannya kita menjadi kekasih hanya karena mencari keuntungan masing-masing?"
"Yah, di dunia hiburan seperti dunia kita memang hal semacam itu diperlukan. Tapi, kalau diibaratkan, kau itu seperti daun."
Sang gadis menatap pepohonan di sekitarnya. Sebuah daun cokelat jatuh di hadapannya tepat ketika sang pemuda menyelesaikan ucapannya. Dia memungut daun itu lantas memberikannya pada sang pemuda.
"Kenapa daun? Bukannya bunga lebih indah?"
"Bunga hanya muncul di saat-saat tertentu saja. Kalau daun, dia akan selalu muncul. Memberikan nutrisi dari matahari dan membuat pohon tumbuh semakin subur. Daun juga dimanfaatkan untuk hal yang baik. Tak seperti bunga yang diambil kadang hanya karena cantik," terang sang pemuda memberikan kembali daun yang dipungut kekasihnya.
Diam-diam, sang gadis tersenyum. Dia menyimpan daun kering tadi dan kembali mengemut lolipopnya. "Kalau aku daun, kau berarti ranting. Ranting pohon yang sudah patah."
"Ah, kau benar. Aku memilih memotong diriku sendiri untuk lepas dari cabang pohon. Terjatuh ke bawah dan berakhir mati," imbuh sang pemuda.
Gadis itu menggeleng. Lantas memungut salah satu ranting yang dia patahkan dengan beberapa daun yang masih menempel.
"Tidak semua ranting akan mati. Beberapa memang harus dipatahkan lalu menancap di tanah dan tumbuh menjadi pohon yang baru. Kau juga, sengaja keluar dari band itu untuk mengejar ambisimu sendiri, kan?"
Pemuda itu memperhatikan sang kekasih yang sibuk menancapkan ranting yang dia patahkan ke tanah. Berulang kali dilakukan, karena tanah yang sudah cukup kering di musim gugur ini.
"Tapi, kau tak bilang alasanmu patah. Kondisi pita suaramu sudah memburuk, kau tidak bisa bernyanyi dalam band itu. Mimpimu--ah, bukan. Mimpi grupmu harus pupus. Dan kau akan dikenal sebagai penyebab utama lenyapnya grup band ini. Rumor tentangmu akan buruk mulai sekarang."
"Lalu, kau akan meninggalkanku? Seperti daun yang selalu melepaskan diri dari ranting?" tanya sang pemuda.
"Jangan konyol. Hubungan kita baru dua hari berjalan." Sang gadis menyikut perut sang kekasih. "Lagipula, daun akan pergi ketika sudah kering. Aku masih sehat, masih bisa berkarier bahkan tanpa memikirkan rumor unfaedah itu."
Gadis itu menempelkan bahu, menautkan jemari, dan tersenyum pada sang pemuda.
"Yang penting, sekarang kau hanya patah, bukan kalah. Masa aku tega meninggalkan orang yang seolah sudah kehilangan dunia beserta isinya? Begini juga aku masih punya simpati."
Pemuda itu membalas senyumannya, "Terima kasih."
Selesai
KAMU SEDANG MEMBACA
CERMIN (Cerita Mini)
Short StorySetiap kisah dalam hidup tak selamanya rumit. Sekalipun rumit, kata selalu punya cara untuk mengungkapkan semuanya walau secara singkat.