Hujan deras mengguyur di jam empat sore. Ila baru saja menaiki angkot, beberapa detik sebelum awan menumpahkan kandungan airnya. Seharusnya Ila bersyukur, karena dia bisa selamat dari hal yang berpotensi membuat seragamnya basah. Namun, melihat keberadaan Qul di sini, gadis itu jadi merutuki nasib.
Terlalu beresiko jika harus ke luar mencari angkot lain, terpaksa ia duduk di pojok angkot, berlawanan dengan posisi duduk Qul yang berada di depan pintu. Ila berusaha tidak melihat eksistensi cowok itu, tapi matanya terus tergoda untuk melirik.
Beberapa detik, Ila menjalani perang batin, sampai diputuskan untuk melirik sedikit. Satu detik dilakukannya, dan jantung gadis itu langsung berdetak tak karuan. Sorot mata tajam yang masih sama dengan tiga tahun lalu, kembali tertuju ke arahnya.
Nggak, nggak boleh! Dia udah punya pacar, nggak boleh! Kamu juga udah gak perlu berurusan sama dia! Kamu kan sukanya dia yang SD, bukan yang SMA!, batin Ila seketika, ia harus cepat mengembalikan rasionalitasnya sekarang juga.
Beberapa orang memasuki angkot itu, membuat Ila sedikit bernapas lega. Seharusnya demikian.
Tapi, Qul malah menggeser posisi duduknya, jadi berhadapan dengan Ila. Tentu, hal itu membuat Ila hanya dapat memandang ke luar kaca, mengalihkan pandangan, dan berharap cowok itu tidak mengajaknya ngobrol sampai di pemberhentian.
"Ila, 'kan?"
Ila memejamkan mata. Suara nyaring yang ia ingat kini sudah berganti menjadi suara berat. Sudah pasti, ini bukan Qul yang dia suka. Jadi, Ila putuskan menjadi sosok hangat seperti yang ia lakukan pada manusia lain.
Ila mengangguk, sembari tersenyum tipis. "Qul, 'kan?"
Qul mengangguk. Ila kira, cowok itu akan diam, atau jika ingin berbasa-basi mungkin akan mengatakan apa kabar dan semacamnya. Tapi, cowok itu malah menanyakan pertanyaan yang membuatnya terdiam.
"Sekarang masih suka hujan?"
Ila mengangguk. Di saat ini ia jadi teringat momen hujan-hujanan di SMP, dengan orang yang tentu bukan Qul. Bertemu kembali ketika Ila kira tidak akan punya cerita dengan orang yang sama, adalah pembuktian bahwa takdir itu lucu.
"Aku ingat kamu bilang suka hujan karena meganya mendung tapi tetap cantik. Awalnya, kukira kamu bilang suka motif batik mega mendung."
"Mega itu langit," sahut Ila.
Qul mengangguk, tampak berpikir. "Berarti ketua DPR itu Bu Langit ya?"
Ila tak tahu apakah yang lucu adalah takdir, Qul yang ajaibnya masih mengingat memori, atau lelucon tentang politik, yang jelas dia tertawa sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
CERMIN (Cerita Mini)
Short StorySetiap kisah dalam hidup tak selamanya rumit. Sekalipun rumit, kata selalu punya cara untuk mengungkapkan semuanya walau secara singkat.