"Bentar, ngapa, sih? Gue masih nunggu."
"Nunggu terus!" cibir Candra membiarkan gadis di depannya berjongkok sembari mengintip seorang lelaki. Siapa lagi kalau bukan pujaan hatinya.
"Hei, Naf," panggil Candra, "kalau lo kelamaan nunggu bukannya telat, ya?"
Nafa masih setia mengintai pemuda yang sedang bermain basket di lapangan sekolah. Keringatnya yang menetes bersamaan dengan air liur Nafa di dalam tenggorokan. "Telat apaan?" Setidaknya, dia masih sempat menjawab pertanyaan Candra.
"Telat dia udah punya gandengan."
"Emang udah," jawab Nafa enteng. Sedikit bersorak kecil melihat sang gebetan yang memenangkan pertandingan.
"Hah? Kok--bentar, gimana?"
Nafa menghela napas, melepas sejenak pengintaiannya dan menatap jengah Candra. "Mana mungkin orang sekeren Lucas gak ada pacar? Lo bego apa?"
Bug!
Candra tanpa empati memukul kepala Nafa. "Lo yang bego! Agh, bisa gila gue!"
"Aish! Apaan, sih? Gue salah apa sama lo?" protes Nafa mengusap pelan kepalanya.
"Lo yang apa-apaan? Bisa-bisanya lo malah naksir orang yang udah punya pacar. Mau jadi pelakor? Tobat, Naf!" Candra meninggikan suara hingga melupakan hal jika mereka sedang bersembunyi di balik pilar gedung. Beberapa orang menyadari keberadaan kedua orang tersebut, termasuk gebetan Nafa.
Namun, sang gadis nampaknya sama-sama cuek dengan keadaan sekitar. Melupakan misi utamanya yang mengorbankan diri berada di jam pulang sekolah. Dia menerjang Candra dengan tatapan tajam dan lurus.
"Apa dosanya naksir orang? Emang kapan juga gue bilang mau rebutin dia?"
Candra terdiam. "Lho? Nggak, ya? Terus lo nunggu apaan?"
"Nungguin waktu."
Kerut dahi Candra semakin ke dalam. Namun, ekspresinya berubah kaget ketika melihat sesuatu di balik tubuh Nafa. Gadis yang menyadari perubahan itu lantas menoleh ke belakang. Napasnya tiba-tiba tersendat. Kaget bercampur tak percaya.
"Lu-Lucas?"
Gebetan Nafa yang katanya sudah punya pacar itu tersenyum manis. "Mohon maaf, ya. Tapi, bisa ambilin bola di deket kalian itu?"
Mata Candra dan Nafa kompak menoleh ke pot bunga di dekat mereka. Terdapat bola basket yang bergelinding dengan pelan. Nafa lantas langsung mengambil bola itu dan menyodorkan kepada Lucas, sang gebetan.
"Thanks!"
Lucas mencoba menarik bola tersebut, tapi tak bisa. Nafa menahannya sekuat tenaga. Itu menimbulkan pertanyaan baru bagi kedua lelaki yang berada di sekitarnya. Lucas tersenyum kaku, kenapa pula orang ini?
"Ehm ... sorry, Lucas. Boleh gue ngomong bentar?" ucap Nafa malu-malu.
Lucas menahan diri, dia tetap tersenyum ramah. "Boleh, silakan aja."
"Gue naksir sama lo. Suka aja, sih, tapi gue nggak maksud apa-apa kok."
Candra terhenyak, tak disangka jika Nafa memutuskan untuk mengutarakan perasaannya dengan cepat. Sedangkan Lucas, dia justru tertawa lepas.
Nafa saling bertukar tatap dengan Candra. Seolah bertanya lewat pandangannya, tapi Candra juga tidak tahu-menahu.
"Lo emang anak gila. Setelah hampir enam bulan stalking gue, terus lo bilang cuma naksir? Haha! Lo obsesi, cewe psikopat!"
Lucas meraih bola basketnya dengan paksa dan berjalan meninggalkan kedua sejoli yang terdiam bisu mendengar ucapan Lucas barusan. Ada sesuatu yang menyengat dalam benak, sesuatu yang mendongkrak air mata untuk keluar.
"Aaah, dia sadar, ya? Haha! Gue emang bodoh, Dra."
Nafa mencoba menahan air mata. Dia memang tidak mengharapkan balasan atas perasaannya, tapi tak dia sangka adalah Lucas memperlakukan perasaan tulusnya bagaikan mainan.
"Naf." Candra memanggil dan lantas memeluk erat sang gadis. Dia lantas berbisik tepat di telinga Nafa. "Gue suka sama lo. Bukan sebagai sahabat, tapi sebagai lawan jenis."
"Hah?"
Nafa tertawa. "Lo mau ngehibur gue, ya? Nggak usah, Dra."
"Nggak, gue serius. Gue selama ini nunggu, Naf. Gue nunggu waktu buat bisa ngomong soal ini sama lo. Dan ini saat yang tepat," terang Candra tanpa menipu. Dia melepas pelukan dan menatap Nafa dengan lekat. "Gue cuma mau bilang. Mau seburuk apapun lo, tetap bakal ada yang sayang sama lo. Itu aja."
Tanpa dibendung lagi, air mata Nafa turun dengan derasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CERMIN (Cerita Mini)
Cerita PendekSetiap kisah dalam hidup tak selamanya rumit. Sekalipun rumit, kata selalu punya cara untuk mengungkapkan semuanya walau secara singkat.