“Sampai kapan kamu begini, nduk?”
Wanita tua dengan punggung yang sedikit membungkuk, duduk disamping wanita muda yang tengah duduk menghadap televisi yang menyala. Ia tidak menontonnya, melainkan diam dan melamun. Wajahnya nampak lelah, terhias begitu banyak tekanan yang ia terima.
“Ibu ngeliat hapemu bunyi terus. Ibu nggak bisa baca tapi mungkin itu dari Tahir atau anak anakmu. Mereka pengen kamu pulang, nduk. Mereka pasti kangen banget sama kamu.”
Wandah Triadista, menatap ibunya yang masih sabar menunggu kalimat darinya. Ia hanya menghela nafas pelan, lalu melanjutkan lamunannya.
Sudah hampir seminggu Wandah berada dirumah Mariana, perempuan yang melahirkannya. Disini, banyak hal yang Wandah fikirkan dan pertimbangkan. Sebuah titik terang dari pertikaian didalam rumah tangganya yang belum juga ia temukan.
Mariana menatap putrinya dengan sendu, ia menyandarkan punggung rentanya pada kepala sofa.
“Ibu salah sama kamu, nduk.”
Ungkapan bernada sedih itu tak membuat putrinya bersuara ataupun menatap sang ibu. Namun, kedua alis Wandah nampak menyatu.
“Harusnya, ibu ajarin kamu bagaimana hidup dibawah tekanan dan keterbatasan seperti ini supaya kamu bisa menyesuaikan dan tidak merengek.”
“Bu..”
“Nduk, tidak ada kehidupan yang baik baik saja. menerima, ikhlas, jalani. Itu yang harusnya kamu lakukan. Bukannya marah seperti ini. Tahir berjuang mati matian untuk mengembalikan tahta. Tapi, kamu. apa kamu ikut membantu, nduk? Kamu malah kabur, tak mau mengabari. Padahal, keberhasilan tidak datang begitu saja.”
Mariana meraih kedua tangan anaknya, ia mengelusnya lembut. “Ingat juga, nduk. Ada dua orang anak yang kamu hancurkan dengan sikap kamu yang seperti ini, nduk.”
Wandah terdiam. Sepasang matanya sudah berlinang. ia bingung akan mengatakan apa.
“Pulang lah, nduk. Kalau saat ini kamu membenci Tahir yang tak bisa menuruti kemauan kamu lagi. kamu harus ingat ada Zira dan Ziva yang sangat membutuhkan kamu, nduk.”
*****
Entah mengapa, duduk duduk dikoridor menjadi kebiasaan favorit ketika jam istirahat berlangsung. setelah mengantre cemilan, duduk berkerubung dan ngerumpi disana sampai bel masuk berbunyi. secandu itu.
Sama halnya dengan apa yang dilakukan Zira dan kawan kawan. Dalam menit menit itu, mereka tak pernah kehabisan bahan obrolan. Dan semua obrolan itu acak. Ibaratnya, berawal dari sabang, berakhir dimerauke. Dari si ini, jadi si itu. diam sebentar. Lalu, ketika ada siswa lewat atau nampak dipelupuk mata, ada saja kasak kusuk yang disampaikan.
“Eh itu, Si Radit,”
Vivian menyalakan kompornya. Ia mengangkat dagunya, menunjuk siswa yang berlari kecil ditepi lapangan sembari menenteng plastik es.
“Kemarin ribut sama Budi. Rebutin adek kelas cuy.”
“Terus, gimana? Siapa yang menang?” Laras sangat amat penasaran.
“Itu dia, aku belum tau. Tapi, emang ceweknya cantik banget sih. waktu masih MPLS aja sering banget ditunjuk sama anak anak osis.”
“Sama kayak Zira, nggak sih?” Puspa menyenggol Zira yang sibuk menikmati bakso cuanki.
Gadis itu mendelik. “Firasatku mengatakan kalo aku bakal jadi bahan ghibah kalian.” Sinis Zira.
Laras menepuk tangan. “Iya! Dulu satu gugus, kan. Osis cowok pada rebutan buat manggil nama dia pas absen kelas.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kala Lalu : Temu di 2015
Teen FictionATTENTION ! Ide itu mahal. Tolong jangan menjiplak dalam alasan apapun. Terimakasih! "Ini, kan, gambar toilet." "Kok, toilet sih? ini orang tau." "Logo toilet." "Bukan. ini logo aku sama kamu." Setitik kenangan dibalik karya sederhana yang hampir me...