CHAPTER 2

11 1 0
                                    

Ingpo : foto didapat dari pinterest.











"Zira! Zira! Zira!"

Bersama dengan gebrakan meja yang menggema diruang kelas lumayan sepi karena masih pagi, siswa dengan topinya yang dimiringkan ke kanan nampak heboh begitu sipemilik nama menuju kearahnya.

Bukan untuk menghampiri ia. Melainkan kursi yang ia duduki merupakan kursi milik siswi tersebut.

"Kafka, minggir." Zira mengibas ngibaskan tangannya seperti menghalau lalat.

Kafka, cowok yang kini duduk dibangku Zira mengernyitkan dahi. Sepasang matanya fokus pada wajah Zira.

"Mata kamu bentol amat."

Kafka menunjuk nunjuk wajah Zira yang terlihat seram dengan bulatan hitam kelopaknya. Pun, lumayan bengkak sampai matanya terlihat sipit.

Gadis itu hanya diam dengan lesu. Kepalanya berdenyut karena semalaman ia tidak bisa tidur dan menangis sebab memikirkan nasib keluarganya yang akhir akhir ini lumayan kacau.

"Tadinya, mau nagih upah karena aku terus yang ngangkat kamu kalo pingsan. Tapi, ngeliat muka kamu yang melas begini aku jadi nggak tega. Tapi, kalo mau ngasih imbalan sebagai tanda terima kasih aku bakal seneng banget deh."

"Gak usah sok pahlawan deh! Yang ngangkat Zira bukan kamu doang. Aku saksinya!"

Laras yang baru saja datang ikut menimbrung dan menggeplak kepala Kafka sampai cowok itu meringis. Setelahnya, gadis itu menjulurkan lidahnya. Duduk dibangkunya sendiri yang tak jauh dari bangku milik Zira.

"Ra, kamu tuh sakit apa, sih?"

Kafka menyerongkan posisi duduknya. Menatap heran Zira yang sudah duduk dan menaruh kepalanya di meja. Gadis itu nebeng dibangku milik Puspa. Kebetulan temannya itu belum datang.

"Ngantuk."

*****








"SANGKARA! KEMARI KAMU!"

Teriakan itu menggema dilorong lorong koridor yang lumayan sepi karena jam pelajaran masih berlangsung. bersamaan dengan itu, seorang siswa dengan seragam olahraganya berlari sambil sesekali menoleh kebelakang. Dimana pria tinggi nan berotot yang merupakan guru olahraga di SMP Pertiwi tengah mengejarnya dengan ekspresi murka.

Bagaimana tidak murka. Muridnya itu secara sengaja membelah satu bola volley milik sekolah menggunakan cutter tepat dihadapannya.

Sementara, jika diambil dari sudut pandang si pelaku. Semua ini karena ia kesal lantaran selalu di anak tirikan oleh guru olahraganya itu. ini semua berawal dari kisah masalalu antara ayahnya dan guru olahraga tersebut ketika mereka masih sama sama muda. Dan, perkara itupun berimbas pada sang murid itu sendiri.

Jadi, ceritanya, ayahnya Sangkara, nama murid tersebut. Terjebak cinta segitiga yang melibatkan Pak Gandi, guru olahraga didalamnya. Dalam pertarungan perasaan itu, ayahnya Sangkara lah yang memenangkan hati perempuannya. Pak Gandi galau dan dendam sampai sekarang. pria berumur empat puluh tahunan itu pula masih tak kunjung menikah karena perasaannya habis pada perempuan yang bukan takdirnya tersebut.

Lalu, drama balas dendam ini terjadi ketika pelajaran Pak Gandi berlangsung. Sangkara selalu dibuat kesusahan dengan segala titah guru olahraga tersebut.

Ketika melaksanakan praktik, Sangkara lah yang menyiapkan segala sesuatunya sendirian. Teman teman lainnya ingin membantu namun selalu di cegah oleh Pak Gandi. Ditengah tengah jam praktik itu pula, Sangkara masih juga disuruh suruh. Membeli sarapan, membeli es, memijati punggung Pak Gandi yang selebar stadion gelora bung karno.
Siswa yang kini duduk dibangku kelas sebelas itu juga seringkali diomeli tanpa sebab yang jelas.

Pernah saat Sangkara masih duduk di bangku kelas tujuh, rambutnya di cukur abstrak oleh Pak Gandi. Padahal, saat itu tidak ada jadwal razia ketertiban. Ketika mengadu pada pihak sekolah, Pak Gandi membela diri dengan kalimat 'kalau ada yang salah ya harus dibenarkan. Masa saya diem aja si."

Dan, sampailah di titik ini. Sangkara hilang kesabaran. Dari rumahnya, ia sudah berancang ancang membawa cutter dan langsung melancarkan aksinya itu.

Sangkara terus berlari. Dadanya sudah lumayan sesak, fikirannya sudah penuh akan minuman dingin yang menyegarkan dahaganya saat ini. Pun, Sangkara ingin beristirahat. Namun, Sangkara takut tertangkap Pak Gandi yang masih tak gentar mengejarnya dengan teriakan super kesetanan.

Mengeluarkan sisa tenaganya dengan maksimal, Sangkara semakin mempercepat larinya. Ia lekas berbelok. Bersembunyi dibelakang tembok. Sedikit mengintip kebelakang, Sangkara tidak mendapati sosok guru olahraganya itu. sepertinya tertinggal.

Mengelus dada, Sangkara kemudian mengatur nafasnya yang tersengal. Pun, ia berjongkok. Menatap jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah sembilan.

Lalu, entah mengapa kepalanya mendongak. Sangkara menatap tanda ruang unit kesehatan sekolah yang membuatnya sedikit mengukir senyum.

"Rebahan bentar enak kali ya."

Segeralah Sangkara masuk kedalam sana dan mendapati ruang UKS yang sepi. Pun, meja petuga yang nampak kosong.
Sebelum pergi untuk merebahkan tubuhnya, ia terlebih dahulu mengambil minum sebanyak banyaknya.






"SANGKARA! DIMANA KAMU ANAK NAKAL!"

Uhuk!

Sangkara sampai terbatuk dan menyemburkan air yang diminumnya. Buru buru ia menunduk. Dilihatnya dari jendela UKS yang lumayan tinggi, pucuk kepala Pak Gandi berjalan melewati luar ruangan. Segera, dengan hati hati, Sangkara berjalan menuju tirai dengan posisi berjongkok.

Perlahan, Sangkara menegakkan tubuhnya. Ia hampir menjerit mendapati seorang siswi tengah berbaring diranjang UKS. Yang membuat Sangkara shock setengah mati ialah wajah dan warna kulit siswi tersebut yang nampak menguning dan pucat pasi. Apalagi, kondisi gadis itu tengah menutup matanya dengan tenang tanpa sedikitpun pergerakan.

"Hidup, kah?"

Sangkara memandang ngeri siswi yang berbaring terlentang tersebut. Tangannya lekas terulur dengan gemetar. Mendekat kearah lubang hidung dan merasakan tiupan kecil disana.

Belum puas, Sangkara mendekatkan tubuhnya. Kali ini telinganya mencoba mendengar denyut jantung siswi tersebut untuk lebih memastikan bahwa fikiran horornya salah.

"Aduduh!"

Cowok itu memekik ketika mendapat sentilan keras ditelinga.

Sangkara menjauhkan tubuhnya sembari mengelusi telinganya yang nyeri. Pun, cowok itu menatap gadis yang saat ini juga tengah menatapnya dengan sinis.

"Ma.. maaf," Sangkara gelagapan. Ia membaca badge sembilan A yang tertempel dilengan kiri gadis tersebut.

"Kak." Lanjutnya.

"Mau apa kamu disini?"

Gadis itu bertanya sewot sembari mendudukkan diri. Tatapan sinisnya membuat Sangkara tak kuat untuk berlama lama adu pandang dengan gadis itu. ia memilih untuk membuang pandangan.

"A.. anu..kak.."

"Zira? Loh kamu siapa?"

"Eh, Bu Mayang." Sangkara cungar cungir. Menyalami dan mencium punggung tangan Bu Mayang yang tetiba saja muncul. Lekas setelahnya ia mendadak tegang kala netranya bertubrukan dengan netra kelam pria tinggi dibelakang Bu Mayang.
Pak Gandi dengan senyuman mematikannya.

"Eh, bapak."

"Sini anak ganteng."

Meneguk salivanya sekuat tenaga. Sangkara mendekat kearah Pak Gandi. Persekian detik setelahnya ialah cowok itu yang menjerit karena sepasang telinganya di pelintir oleh Pak Gandi.

"BAPAK AMPUUNN!"

*****

Di jam istirahat, Sangkara kembali mendatangi unit kesehatan sekolah. Membuka satu persatu tirai brankar disana, Sangkara tidak dapat menemukan seseorang yang dicarinya.

Ia terdiam kemudian. Menatap salah satu tangannya yang menenteng kantung plastik.

Sangkara menghela nafas pelan.

"Mungkin, nanti." Lalu, setelahnya ia melenggang keluar dari sana.

Kala Lalu : Temu di 2015Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang