CHAPTER 3

9 1 0
                                    

“Nggak ada roti bakar, ya, mah?”

Kalimat tersebut mengawali percakapan dipagi hari di ruang makan yang diisi oleh empat manusia didalamnya.

Wandah Triadista, dengan peran seorang ibu sekaligus satu satunya orang yang handal memasak dirumah itu hanya menatap putri bungsunya kemudian fokus menyantap nasi goreng yang hanya dibumbui garam dan bawang.

Zira menghela menghela nafas pelan. kegiatan makannya ia hentikan. Tangannya meraih tangan yang ukurannya lebih mungil dari miliknya.

“Makan yang ada dulu, ya, dek.”

Ziva mengangguk lesu. Mulai menyantap nasi gorengnya, kemudian tersenyum.

“Enak, mah!” Ujarnya penuh semangat.

Zira tersenyum mendengar itu. ia menatap kedua orang tuanya yang sibuk dengan kegiatan sarapan mereka masing masing. Seperti hari hari kebelakang, mereka tidak tersenyum barang secuil. Selalu berekspresi masam.

Semua ini berawal di pertengahan bulan Agustus. Tahir Hartono, ayah Zira dan Ziva mendapat nasib sial karena toko perhiasan miliknya dijarah.

Perhiasan emas yang disimpan didalam brankas beserta uang hasil penjualan raib tak tersisa. Pelakunya kabur dan tidak diketahui siapa siapanya karena pada saat itu cctv toko tengah dalam perbaikan. Namun, satu dugaan kuat itu adalah salah satu karyawan lama Tahir sendiri yang paling tahu menahu soal toko perhiasan miliknya itu. keberadaannya pun hilang saat semua orang ribut soal berita kemalingan dan sampai sekarang Tahir belum menemukan dimana karyawan yang sudah bekerja padanya semenjak lima tahun lalu itu.

Masalahpun tak berhenti sampai disitu. Tahir dan keluarganya dipersulit lagi dengan setoran pinjaman yang belum terbayar lunas. Akibatnya, pria berumur empat puluh dua tahun itu harus menjual gedung beserta tanahnya pada orang lain sebagai pelunas hutangnya. Pun, beberapa unit mobil dirumahnya ia jual untuk menambahi kekurangannya. Penjualan tersebut menghasilkan sisa. Namun, dihabiskan oleh istrinya yang sangat tidak bisa mengelola keuangan.

Ditengah krisis ekonomi keluarga yang anjloknya tak terkira, Tahir sebenarnya masih punya tabungan uang. Itu adalah tabungan kecilnya dengan sang putri sulung untuk biaya dimasa depan. Didalam kotak besi berkunci, Tahir meletakkan sejumlah uang miliknya disana. Zira juga ikut andil dengan menyisihkan uang jajan sekolahnya. Tahir berpesan, uang itu tidak akan digunakan dalam hal apapun kecuali untuk pendidikan Zira.

Pada saat kejadian itu, saat kedua orang tuanya tengah sibuk bergelut dalam kesedihan, Zira sempat berdiskusi dengan sang ayah untuk menggunakan uang tabungan tersebut. Namun, Tahir menolaknya. Dan, masalah ini hanya ayah dan anak pertama saja yang tahu.

Sejak hari menyesakkan itu, Tahir mencari pekerjaan untuknya. Namun, sayangnya ia belum juga menemukannya. Jika tidak ada stok bahan makanan dirumah yang lumayan banyak, ia dan anak istrinya pasti hanya makan angin.

Dan, disela sela kesusahan itupula ia dan istrinya sering bertengkar karena uang. Sampai pada di titik terakhir kali mereka bertengkar karena Wandah mengetahui uang tabungan Zira dan menggunakannya untuk berbelanja barang barang mahal. Dimana itu menjadi pertengkaran lumayan parah dari sebelum sebelumnya.

“Hari ini, papah mau coba ngelamar jadi tukang angkat angkat barang di toko sembako. Doain papah diterima ya.” Tahir bersuara. Kedua putrinya mengangguk dengan senyuman.

Menatap kedua putrinya, Tahir mengeryit saat menyadari sesuatu. Lekas ia menatap istrinya yang tengah membereskan piring diatas meja.

“Mah, baju Zira sama Ziva nggak disetrika?”

Wandah menatap suaminya dengan nyalang. Ia berkacak pinggang.  “Gara gara papah nggak kasih mamah uang, mamah jadi stres. Mamah males ngapa ngapain.”

Kala Lalu : Temu di 2015Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang