9. An Upperclassman

14K 1K 18
                                        

Perundungan di dunia nyata terasa kejam namun perundungan di dunia maya tidak kalah menyakitkan. Bedanya, kalau di dunia nyata, fisik dan pikiranlah yang dirundung sedangkan di dunia maya hanya pikiran yang diserang. Namun, itu bukan berarti sakit yang dirasakan lebih ringan. Karena di dunia maya ribuan orang bisa menghakimi sekaligus, serangan itu begitu mengagetkan dan terasa keras.

Itulah yang aku rasakan.

Tiba-tiba saja aku menjadi bahan gunjingan online setelah Ryan memajang videoku di akun sosial medianya. Pengikut Ryan jumlahnya banyak sehingga ketika dia mengunggah sesuatu, banyak orang yang segera datang untuk melihat. Komentar bertumpuk cepat untuk mendukung kebencian Ryan padaku sehingga aku mendapat puluhan caci maki dalam waktu singkat.

Jika pergunjingan dunia nyata hanya terjadi antara beberapa orang, pergunjingan dunia maya terjadi dengan simultan oleh jauh lebih banyak orang. Hal itu karena tidak ada yang perlu menunggu orang lain selesai bicara terlebih dahulu. Yang lebih sial, mereka akan membawa pergunjingan online itu ke dunia nyata.

Tidak tahan dengan hidupku yang makin buruk ini, aku membolos kelas terakhir dan naik ke rooftop. Aku sudah tidak kuat melihat pandangan rendah dari segala arah. Guru yang mengajar sekalipun melihatku seperti melihat penjahat yang perlu diluruskan. Mungkin dia termakan kebohongan dengan mudah dan merasa kalau menjadi gay itu berdosa.

Rooftop sebenarnya terlarang untuk angkatanku karena biasanya diisi oleh geng kakak kelas. Namun, karena masih jam pelajaran dan suasana sudah panas, aku memberanikan diri untuk lari ke situ. Siapa tahu aku cukup beruntung sehingga Ryan dan yang lainnya tidak bisa mengejarku ke sana. Aku sudah tidak kuat berada di kelasku sendiri.

Sesampainya di sana, aku disambut hembusan angin dan terik matahari. Panas terik itu membuatku menghentikan langkah dan berteduh di dekat tembok. Di bawah bayangan tembok, aku duduk sambil menekuk lutut kemudian menatap awan yang melayang di angkasa.

Selama lebih dari lima belas menit hanya itu yang aku lakukan. Di tengah sepi itu, pikiranku yang digoncang kejamnya manusia, akhirnya bisa sedikit lebih tenang. Perlahan-lahan keinginan untuk mati terlepas dariku. Awan-awan yang melayang bebas di atas sana seperti mengambil semua kepedihan yang aku rasakan kemudian menggantikannya dengan rasa nyaman.

Di saat seperti ini, aku merasa alam begitu lembut dan penyayang. Tidak seperti manusia yang mengganggu orang lain tanpa alasan yang jelas, alam seringkali membantuku lebih kuat. Kalau pun mereka terkadang mendatangkan bencana, mereka tidak berdedikasi menyiksa manusia setiap saat. Tidak seperti orang-orang di kelasku.

Tap tap tap.

Suara langkah terdengar teratur menaiki tangga.

Aku terhenyak karena kedatangan orang lain. Dengan terburu-buru aku bangkit untuk segera pergi dari situ. Sebelum kakak kelas marah karena kehadiranku di sini, aku harus segera enyah dari pandangan mereka. Sayangnya orang yang datang tidak mau aku pergi. Ketika kami berpapasan, dia memegang lenganku kemudian menatap wajahku lebih teliti.

"Hey, kamu yang ngaku gay itu kan?" tanyanya.

Duh masalah ini lagi. Aku mengerang dalam hati. Hari ini video itu benar-benar hits. Sulit sekali untuk menghindar.

Seperti binatang langka yang dipamerkan di depan khalayak, videoku di social media sudah menghancurkan kehidupanku yang terhindar dari banyak pasang mata. Orang yang tidak aku kenal sekalipun tahu tentang hal itu.

"Hey!" panggil orang itu lagi karena aku tidak menjawab lama. Mata hitam jernihnya seperti mempertanyakan dengan penuh keingintahuan.

Tidak mau dia marah kalau tidak disahuti, aku mengangguk kemudian berusaha pergi. Sayangnya lenganku dicengkram lebih erat sehingga aku tidak bisa kemana-mana.

Kakak kelas yang terlihat jangkung itu tidak mau melepaskanku meskipun aku sudah memberikan jawaban. Aku mulai khawatir kalau dia akan membenciku karena dikira gay kemudian merundungku juga.

"Jangan takut. Aku cuma pengen mengobrol. Gimana kalau temenin aku di sini?" ajaknya. Seakan membaca wajah ketakutanku, dia tahu betul apa yang harus dikatakan.

"Tapi aku mau pergi," tolakku dengan suara nyaris tidak terdengar.

"Udahlah. Aku nggak gigit kok. Kita bisa duduk berdua dan bolos bareng-bareng," kata orang itu lagi. Aku akhirnya mengikuti kemauannya.

Kami duduk di tempat aku duduk tadi. Kakak kelas yang tidak aku kenal itu mengatakan kalau aku boleh memanggilnya Adam. Dia sudah kelas tiga dan sedang pusing mau memilih kuliah dimana.

"Ortu pengennya aku masuk kedokteran tapi aku nggak suka ngurusin orang sakit," katanya.

"Terus kakak maunya kuliah apa?"

"Pengen kuliah nakhoda biar bisa melaut."

"Kalau gitu, kakak bakal jauh dari keluarga dong?"

"Nggak apa-apa. Di rumah nyebelin juga," jawabnya. Dia kemudian menatapku sambil mengulum senyum.

"Jadi, yang kamu bilang itu, bener atau nggak? Apa kamu beneran gay?" tanya Adam.

Pertanyaan itu membuat wajahku memanas. Aku tidak tahu. Sejauh ini aku belum pernah tertarik pada manusia dari jenis kelamin manapun. Selain itu, tidak ada yang tertarik juga.

"Aku belum pernah pacaran jadi nggak tahu," kataku. "Video itu hasil paksaan Ryan."

"Yah, aku kira aku ada teman," ujar Adam kecewa. Kalimat itu memancing sebuah dugaan di kepalaku.

"Kakak gay?" tanyaku kaget. Adam tidak terlihat seperti cowok gay di dalam bayanganku. Dia tinggi dan seksi. Wajahnya tampan dan cara bicaranya juga maskulin.

"Iya. Kaget? Apa kamu takut?" Dia balik bertanya.

"Aku kaget tapi nggak takut."

"Jijik?" tanyanya lagi. Aku menggeleng.

Dia kemudian tersenyum lebar. Ketika tersenyum seperti itu, Adam terlihat semakin tampan dan membuat orang yang melihatnya salah tingkah. Aku juga bengong. Karena bengong, aku tidak sadar pada tangan cepat Adam yang mengambil kacamataku. Dalam sekejap pemandangan di depanku jadi buram.

"Ternyata dugaanku bener," kata Adam. "Dik, kamu ganteng. Mau jalan denganku nggak?" tanyanya setelah berhasil mencuri kacamataku.

"Jangan becanda kak. Tolong balikin kacamataku. Aku nggak bisa lihat apa-apa," kataku protes. Ada apa dengan hidupku akhir-akhir ini? Kenapa setelah Bian yang menyatakan cinta kini muncul lagi orang lain yang mengajak jalan?

"Aku serius. Kalau kamu nggak tahu apakah kamu gay atau nggak. Gimana kalau jalan denganku sekali? Setelah itu kamu mungkin tahu."

"Aku nggak bisa. Aku nggak punya waktu. Sepulang sekolah aku harus kerja sampai malam. Aku harus bantu orang tua."

"Apa nggak ada libur? Sabtu atau minggu mungkin?"

"Pas libur aku ngajar adikku, kak."

"Kamu sibuk banget sih? Kalau gitu aku jemput ke kelasmu aja tiap jam istirahat."

"Please jangan aneh-aneh kak. Nanti aku dibully lagi. Kembalikan kacamataku!"

Setelah beradu mulut, akhirnya Adam memakaikan kacamata itu ke wajahku. Aku baru bisa tenang ketika sekitarku menjadi jelas lagi.

"Van, apa aku boleh tahu kamu kerja dimana?" Adam masih belum selesai.

Melihat gaya orang ini, tentu saja aku tidak akan memberi tahunya. Sayangnya sikap diamku malah mengundang ide lain dari Adam. Dia menyentuh pipiku kemudian mendekatkan wajah.

"Kalau nggak bilang, aku cium loh," katanya.

RYVAN 1 - Ugly Duckling (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang