Langit musim panas di siang itu nampak cerah. Sudah sejam berlalu Jinki hanya menghabiskan waktu istirahatnya dengan hanya duduk sembari merebahkan kepalanya di atas kedua lengannya yang ia lipat di atas meja kelas.
Dua manik mata tipisnya menatap kosong awan putih yang berarak di langit biru cerah. Cuaca yang baik di hari itu sama sekali tidak melukiskan keindahan yang sama di dalam hatinya.
Jinki sesekali menghela nafasnya, mengingat apa yang pagi ini ia lihat di jalan menuju ke sekolah.
Padahal hari ini Jinki sengaja bangun lebih pagi dari biasanya untuk menjemput Gwiboon. Rasa bersalah pada yeoja itu bahkan hingga membuat Jinki sulit untuk tidur. Pikirannya sibuk memikirkan tiap kejadian yang kemarin terjadi antara dirinya dan Gwiboon, mantan kekasihnya. Entah kejadian kemarin bisa disebut sebagai sebuah keberuntungan atau justru kesialan, yang jelas Jinki tidak hentinya merutuki dirinya sendiri. Namun apa yang dilihatnya tadi pagi membuat Jinki tidak yakin untuk melanjutkan apa yang sebelumnya sudah ia tekadkan.
Jinki mendengus seraya mengadahkan sedikit kepalanya, memandang sesosok namja yang tengah berdiri di lapangan sekolah, memperhatikan kerumunan siswa yang sedang berlatih sepak bola.
Choi Minho, namja itu seakan tidak pernah lelah membayangi langkah Jinki. Jinki tidak menyangka setelah sekian lama berlalu namja itu masih menyimpan perasaannya pada Gwiboon. Mungkin Jinki terlalu menganggap remeh seorang Choi Minho.
Jinki akui namja itu selalu selangkah lebih baik dari dirinya. Terlebih urusan dengan seorang Kim Gwiboon. Minho bahkan bersahabat akrab dengan Gwiboon walaupun kemudian keduanya saling menjauh karena kehadiran Jinki di tengah-tengah keduanya. Jujur saja, saat itu Jinki tidak ambil pusing tentang perasaan Minho pada Gwiboon dan seberapa keras namja itu berusaha menyakinkan Gwiboon bahwa memilih seorang Lee Jinki adalah kesalahan besar.
Tapi, sekarang Jinki bukanlah seseorang yang spesial lagi di mata Gwiboon. Status itu sudah lama hilang karena sifat egois Jinki sendiri. Kini Jinki mengerti rasa sakit yang bisa dikatakan pernah di rasakan Minho. Perasaan ditolak.
Ekspresi dingin dan kesal yang terlukis di wajah Gwiboon masih terbayang di benak Jinki. Dan setiap ucapan tajam yang dilontarkannya seolah masih berdengung di kedua telinga Jinki.
Haruskah melanjutkannya atau harus menyerah?
Jinki bergumam di dalam hatinya.
Tatapan hangat yang diberikan Minho pada Gwiboon terlihat amat tulus. Mungkin berbeda dengan apa yang ia berikan selama ini pada yeoja itu. Di tambah kedekatan yang terlihat dari keduanya. Gwiboon bahkan tidak canggung kembali berdekatan dengannya.
Jinki menarik nafas dan menghembuskannya. Perlahan kedua matanya terpejam. Sejenak ia memutuskan untuk beristirahat. Mengistirahatkan sejenak pikirannya yang penuhi oleh sosok "Kim Gwiboon".* * *
Sebuah bola melesat cepat dan menghantam kepala Minho dengan cukup keras. Minho yang sejak dari tadi hanya berdiri mematung seperti sebuah manekin dengan pikiran kosong menjadi limbung karena hantaman keras dari bola tersebut. Minho jatuh terduduk di atas rumput hijau lapangan. Seluruh murid klub sepak bola berlarian menghampiri senior mereka yang terjatuh.
"Minhamnida, Sunbae. Neomu mianhaeyo." Ucap salah seorang anggota klub sepak bola yang rupanya tidak sengaja menendang bola yang berakhir menghatam kepala Minho.
Minho menggelengkan kepalanya, mencoba mengembalikan kesadarannya kembali. Kepalanya agak sedikit pening tapi, kemudian dengan mantap Minho kembali bangkit berdiri.
"Gwenchana." Jawabnya pada juniornyaa itu dengan tersenyum
"Aku betul-betul tidak sengaja sunbae" ucap junior itu lagi dengan tatapan mata penuh penyesalan