Episode 14

1 2 0
                                    

Allah. Aku menyerahkan semua urusanku kepada-Mu.

*

**
Agam disusul Fahrul di belakangnya masuk ke dalam apartemen. Ruangan bernuansa elegan menyambut, aroma mint dari ruangan menusuk Indra penciuman.

"Nah, ini Rul tempat tinggal ane selama di Saudi. Gimana menurut ente?" tanya Agam.

Fahrul memperhatikan apartemen Agam yang lebih luas dari apartemen miliknya di Jeddah. Kediaman Agam memiliki ruang tamu dengan aksen elegan nan mewah, perabotannya khas berwarna hitam memberikan kesan monokrom. Fahrul duduk di sofa ruang tamu, menyandarkan punggungnya. Tidak heran Agam memilikki tempat tinggal yang mewah, selain demi kenyamanan juga terdukung ekonominya sebagai manager di sebuah perusahaan konstruksi dengan gaji rata-rata 14.000 riyal atau 56,1 juta per bulan. "Bagus Gam. Ane kira ente di Saudi jadi gelandangan."

"Sembarangan kau. Kerja keras aku di sini Gam. Demi dapetin ini semua." Agam berkata dengan nada bangga. Bertahun-tahun merantau ke negeri orang, tinggal di tempat asing akhirnya membuahkan hasil yang memuaskan.

"Percaya aku Gam. Wong rumahmu di Yogya udah kaya keraton," Fahrul berkelakar.

"Kemari Rul."

Fahrul beranjak dari duduknya, mengikuti Agam berjalan menuju sebuah kamar. Agam membuka pintu kamar tersebut. "Ini kamarmu Rul. Ukurannya sama kaya kamarku, nah semoga ente nyaman dah tinggal di sini sampek tugasmu selesai."

Fahrul masuk ke dalam kamar. Satu kasur terletak dekat jendela, lemari ukuran sedang berdiri tepat berhadapan dengan kasur, di sebelah lemari terdapat sofa abu-abu untuk dua orang. "Pasti betah ane di sini Gam. Apalagi gratis."

"Nggeh ini gratis Rul. Daripada kamar ane kosong. Sudah sekarang kau istirahat dulu, ane juga mau tidur." Tutur Agam, lantas lelaki tersebut menutup pintu kamar Fahrul.

Sementara Fahrul di dalam kamar duduk di sofa, menikmati sejuk dari AC  hingga rasa kantuk mulai menyerangnya dan perlahan, kedua mata itu tertutup.

***
"Gimana seru kan waktu safar kemarin?" Tanya Aminah, perempuan sunda itu mulai merecoki sang teman.

Sheza menganggukkan kepala. Keduanya sedang berada di kelas. "Seru. Aku nagih loh, meskipun bikin capek."

"Iya, aku juga capek banget euy. Abis pulang aku langsung tidur, untung ada rekan kerjaku yang gantiin ngajar."

"Habis ini kamu mau ke mana Nah?" tanya Sheza, matanya melirik singkat jam di dinding yang menunjukkan angka lima sore. Kelas sudah berakhir satu jam yang lalu, dan mereka berdua memilih untuk duduk-duduk sejenak di kelas.

"Ngajar anak-anak biasa. Kenapa? Kamu teh mau ada minta anter ke mana gitu?"

Sheza mengangguk singkat. "Aku mau beli bahan makanan. Tapi gak di Ummul Hamam. Bosen."

"Ke Batha aja, lumayan deket kok," Aminah memberi saran, menyebutkan salah satu pusat perbelanjaan di Riyadh.

"Boleh. Pulang yuk, udah jam lima sore." Sheza berdiri, memakai tas dan sedikit merapikan kerudungnya. Aminah mengikuti, turut berdiri. Ketika Sheza hendak melangkah, badannya limbung hingga hampir terjerembab ke belakang, untungnya Aminah sigap menahan punggung Sheza.

"Astaghfirullah Za. Kamu gak papa?" Raut wajah Aminah tampak khawatir. Dilihatnya wajah Sheza yang pucat. "Innalilahi wajah kamu pucat banget Za. Duduk dulu Za." Aminah menuntun Sheza untuk kembali duduk. "Kamu nggak puasa kan?"

Sheza hanya menjawab dengan anggukan lemah. Badannya terasa begitu lemas, sakit juga dirasa di punggung dan kepalanya, beberapa hari ke belakang Sheza juga mengalami diare berlebih hingga berat badannya menurun.

Cahaya Dari TimurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang