Ch. 1: Sebelum Kafe Dibuka.

110 15 273
                                    

"CHISA! BAGAIMANA persiapannya?"

Aku yang baru ingin mengambil salah satu balok dengan hati-hati, terlonjak karena suara menggelegar yang sepertinya berasal dari dapur. Tidak hanya aku, Tsuna, Mery, dan Cae juga sama kagetnya sampai-sampai Tsuna memukul meja hingga balok yang sudah kami susun tinggi-tinggi terjatuh berserakan. Bahkan Cae yang sedang asyik mengemut permen sambil bermain nintendo sampai tersedak dan menjatuhkan nintendo-nya ke lantai.

"Uhuk! Uhuk! Air!" Cae sontak bangkit berdiri sambil terbatuk-batuk. Ia ke sana kemari kelabakan mencari minum. Hal itu membuatku dan Tsuna terbahak, sedangkan Mery hanya tertawa kecil.

"Mau minum?" Gadis berambut magenta yang terurai hingga punggung itu menyodorkan secangkir kopi kepada Cae.

Cae tidak langsung menjawab. Mungkin lagi berpikir sejenak. Rautnya yang terlihat tersiksa malah membuatku dan Tsuna makin menyemburkan tawa.

Aku bisa melihat Cae menatap secangkir kopi itu ragu. Mery yang tampaknya mengerti maksud tatapan Cae menambahkan, "Tenang, belum kuminum."

Tanpa babibu, Cae langsung mengambil kopi itu dan menegaknya.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Wajah Cae seketika menjadi pucat pasi. Aku mencoba menahan tawa.

"PAHIT SEKALI! INI APA?"

"Eh? Itu kopi." Mery mengerjap. "Kopi espreso."

"Kopi ...." Cae berbisik lirih dengan tangan kiri yang menutupi sebagian wajahnya. Dia menghela napas sebelum melanjutkan, "Merielle ... kau tahu, kan ... aku tidak bisa minum atau makan yang pahit-pahit?"

Mery menelengkan kepala ke kanan. "Oh, iya? Aku tidak ingat. Lagi pula kamu yang paling tahu tidak bisa minum pahit, kan. Kenapa terima kopi dariku?" balas Mery dengan tatapan polos.

"Aku tidak tahu itu kopi." Cae membalas dengan nada sengit.

"Warnanya hitam," timpal Mery.

Kami terdiam, sebelum Tsuna bersuara.

"WAHAHAHA! BENAR JUGA!" Tsuna lagi-lagi tertawa sambil memukul-mukul meja. Sepertinya gadis mungil ini senang sekali melihat rekannya menderita.

Decakan pelan lolos dari bibir Cae. Tsuna atau Mery mungkin tidak mendengarnya karena Cae ada tepat di sebelahku. Aku tahu lelaki berkacamata dengan bingkai bulat ini lagi kesal. Mungkin karena Ace yang berteriak hingga mengagetkannya; Mery yang memberinya kopi pahit; juga Tsuna yang menertawakan penderitaannya.

Sial nian nasib Cae.

Aku yang semula menggembungkan pipi, langsung mengempiskannya saat tatapan tajam terarah padaku. Dan Tsuna. Kelihatannya Cae menyadari aku sedang menahan tawa. Yeah, setidaknya tidak separah Tsuna yang sedari tadi tidak bisa berhenti tertawa.

Cae kemudian mengembuskan napas yang terdengar lelah sembari bersedekap. "Merielle, lain kali, jangan sekali-kali memberiku kopi lagi. Tsunarin, berhentilah tertawa. Dan Chisa, kau juga jangan tertawa. Lalu, bukankah tadi Ace bertanya kepadamu?"

Perkataan Cae membuat kami diam, sementara lelaki itu kembali duduk kembali di bangkunya setelah mengambil nintendo miliknya yang terjatuh di lantai.

"Ya, oke. Tsuna diam, nih." Meski bilang begitu, si gadis bertubuh mungil ini masih menggembungkan pipi.

Mery mengangguk singkat. "Baik, akan kuingat."

Aku mengerjap dan bertanya, "Oh, iya ya? Aku hampir lupa tadi Ace berteriak. Tapi, orangnya sudah tidak bersuara lagi, tuh?"

"Paling dia lagi sibuk masak atau beres-beres dapur," sahut Tsuna. Kakinya bergerak-gerak tidak bisa diam, sedangkan kedua tangannya dilipat di belakang kepala.

Cafe de LateraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang