Ch. 5: Persiapan Membangun Kafe.

27 9 46
                                    

SEPERTINYA MEREKA benar-benar bisa membangun kafe dalam sehari.

Aku sedikit merasa bersalah sudah meremehkan mereka. Clouchi memang pernah bilang padaku bahwa Bangsa Awan, terutama Pengendara, dianugerahi kemampuan khusus untuk menunjang pekerjaannya. Contohnya saja Cae. Tsuna bilang lelaki itu seorang visioner. Berdasarkan yang aku tahu, visioner adalah sesuatu yang berhubungan dengan pandangan, khususnya masa depan. Kutebak kemampuan Cae ada di mata yang dapat melihat masa depan.

Lalu ada Tsuna. Gadis berisik itu seorang creator atau artificer. Tsuna bilang, dia bisa membuat sesuatu persis seperti aslinya, dengan syarat pernah menyentuh dan menggunakan sesuatu tersebut. Dipikir-pikir, kemampuan ini lebih cocok disebut peniru. Tapi, kemampuannya amat berguna dalam proses pembangunan kafe. Tsuna menciptakan bahan, alat, serta peralatan yang dibutuhkan. Juga menciptakan berbagai interior kafe. Sementara itu, Ace dengan fisiknya yang luar biasa, menjadi kuli bangunan—maaf, Ace.

Kemudian, Mery ... jujur saja, aku belum mengetahui apa kemampuannya. Yang lainnya pun enggak ada yang memberi tahu. Tapi Mery (dan aku) juga turut membantu Tsuna dan Ace dalam membangun kafe, sedangkan Cae? Lelaki pemalas itu tadinya hanya mojok bermain gim sebelum ia diceramahi habis-habisan oleh Ace untuk ikut membantu. Aku juga pengin memarahinya, tapi untungnya sudah diwakilkan oleh Ace. Pada akhirnya, dia ikut membantuku dan Mery menata dan mendesain kafe.

Sembari menunggu Ace dan Tsuna menyelesaikan membangun dapur dan bagian belakang kafe, kami bertiga berbelanja kebutuhan bahan makanan dan minuman ke pusat kota.

"Malas ... mau tidur ...."

Di tengah perjalanan, Cae yang tengah mengemut lolipop menggerutu. Kedua tangannya dilipat di belakang kepala.

"Cae, enggak boleh gitu ...," tegur Mery.

"Tahu. Kamu itu kayak enggak ada sumbangsihnya," timpalku kesal.

Cae balik menatapku dengan wajah datar. "Hei, aku sudah membantu menata interior kafe. Apa itu enggak cukup?"

"Iya." Aku menjawab singkat, lalu mengalihkan pandangan ke depan. Cae enggak membalas lagi, hanya mendumal pelan yang sebenarnya masih bisa kudengar, tapi aku terlalu malas buat mendengarnya, jadi kuabaikan saja.

"Kota ini ramai juga ya menjelang malam," komentar Mery tiba-tiba.

Aku mengangguk. "Iya, aku juga baru tahu."

Cae dan Mery sontak menoleh kepadaku. "Serius?"

"Serius apanya?"

"Kau baru tahu? Bukannya kau penduduk kota ini?" tanya Cae menyelidik. Baru kali ini aku lihat dia seperti tertarik.

"Aku baru pindah ke sini awal tahun. Sebelumnya aku tinggal bersama mendiang keluargaku di desa." Jawabanku itu justru membuat mereka berdua terdiam. Mery menunduk, sedangkan Cae melihat ke arah lain.

"Uhm ... kalau boleh tahu, apa alasan Chisa pindah ke kota ini?" tanya Mery dengan nada pelan, nyaris berbisik.

Sekarang, giliran aku yang terdiam. Aku bisa saja memberi tahu mereka, tapi 'Chisa' sepertinya enggak akan senang.

"Eh, maaf!" Mery berseru seperti menyadari sesuatu. "Harusnya aku sadar, itu pertanyaan sensitif dan privasi. Maaf, ya, Chisa."

Mery membungkukkan badannya sedikit. Ah ... kami jadi pusat perhatian orang-orang.

Sebelum dia berbuat jauh lagi yang menyebabkan kesalahpahaman, aku mengibas-ngibaskan tangan kananku di depan wajah. "Enggak usah dipikirkan. Nanti kalian juga tahu sendiri."

Cae mengangkat alis. "Haruskah aku berkata, 'Haah? Kenapa begitu? Sekarang, kan, kita rekan!' begitu?"

Aku tersenyum masam. Haha ... dia meniru ucapan 'Chisa'. Secara enggak langsung, aku jadi seperti menelan ludah yang sudah kubuang sendiri, meski literal bukan yang bilang.

Cafe de LateraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang