Ch. 3: Seharusnya Kafe Sudah Dibuka, tetapi ....

48 12 312
                                    

LEDAKAN DENGAN skala cukup besar terjadi sesaat setelah Tsuna menarik pelatuk senapannya. Tepi tebing yang tidak jauh dari tempat kami berdiri—tepatnya di belakang Arreuz—amblas dan jatuh ke laut. Beberapa pohon di sekitar kafe bahkan terkena dampaknya. Tanah yang kami pijaki retak dan mungkin sebentar lagi juga akan amblas.

Yang menyebalkan adalah ... meski Tsuna sudah menembak dengan skala cukup besar, Arreuz tampak sehat walafiat. Namun, golem-golem yang semula mengelilinginya raib. Kutebak mereka dijadikan tameng Arreuz untuk melindungi diri, lalu hancur menjadi bongkahan batu yang kini berserakan di sekitarnya.

Tsuna berdecih. "Kok enggak ke—AW!"

Aku meringis begitu Cae mengetuk kepala Tsuna dengan skateboard-nya. Raut Cae yang biasanya datar, kini melotot kepada gadis mungil itu.

"Kau mau menghancurkan tempat ini, hah?"

Tsuna enggak menjawab. Dia cuma mengusap-usap kepalanya yang tampak benjol sambil mencebikkan bibir. Sementara itu, si musuh masih berdiri kokoh di depan sana. Ujung tongkat panjangnya menyentuh tanah. Sepertinya dia mau menciptakan golem atau makhluk tanah lagi.

"Hei, Bom Waktu. Dikau pikir ledakan seperti itu akan membuat saya terluka?"

Aku enggak tahu siapa yang dia maksud 'Bom Waktu', tapi kurasa yang dimaksud adalah Tsuna mengingat gadis mungil itu yang menembak.

"Tadi Tsuna coba-coba saja, siapa tahu kena kepalamu."

Sungguh, aku bisa mendengar desahan lelah dari tiga orang lainnya. Kemudian atensi kami teralih kepada Arreuz yang malah bertepuk tangan.

"Nyali dikau boleh juga. Coba saja kalau dikau bisa." Arreuz menjulurkan lidah.

Tsuna? Jangan ditanya. Dia sudah pasti tersulut emosi dan  tahu-tahu sudah membuat enam meriam kecil—

Hah ...? Enam meriam kecil?

"Wo-woi! Kamu mau ngapain?!"

"Tembaklah." Arreuz malah menantangnya. Cengiran di wajah jelek itu bikin aku ingin minimal sekali saja menaboknya.

"Kalian, mundur. Nanti kena," perintah Tsuna.

Aku, Ace, dan Cae spontan melotot ke arahnya.

"Memangnya kamu pikir kamu enggak kena?!" pekikku enggak habis pikir.

Tsuna membisu. Ekor matanya melirikku. Kemudian, enam meriam di sekelilingnya menghilang.

Arreuz tersenyum miring. "Kenapa? Dikau takut, heh?"

Ini orang bisa enggak aku jatuhin dari tebing saja?

Tapi di luar ekspektasiku, Tsuna enggak merespons. Padahal selama kurang lebih satu minggu aku mengenal Tsunarin, aku tahu kesabaran gadis mungil ini hanya setipis tisu dibagi dua; mudah sekali terpancing. Namun, kali ini, Tsuna hanya diam. Dia menoleh sedikit ke belakang. Mulutnya bergerak pelan tanpa suara dan seakan berkata, 'Lakukan apa yang tadi ingin kaulakukan.'

Oh, benar. Yang tadi ingin kulakukan sampai meminta Ace dan Cae untuk minggir. Kedua ujung bibirku terangkat.

'Oke!'

Tsuna beralih menatap tajam Arreuz. "Enyahlah kau," ujarnya dengan tangan kiri terangkat ke atas. "[Artificer: destroyer]."

Tsuna menjentikkan jari. Seketika, sesuatu—yang terlihat seperti ... bom?—muncul di atas kepala Arreuz, lalu hancur berkeping-keping dan menimbulkan ledakan dengan skala yang sama seperti tadi.

"Ledakan yang sama, heh?"

Arreuz baru hendak membuat tameng yang terbuat dari tanah, andai Tsuna enggak segera berteriak kepadaku.

Cafe de LateraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang