Ch. 2: Menjelang Kafe Dibuka

52 11 318
                                    

BANGSA TANAH ... makhluk yang melukai Clouchi, juga makhluk yang hampir membunuhku. Tidak hanya itu, secara tidak langsung, mereka juga yang membuatku terlibat dalam konflik.

Kedua telapak tanganku terkepal, gigiku bergemeletuk. Lalu aku menoleh pada Mery dan Tsuna. "Di mana Clouchi?"

Baik Tsuna maupun Mery menggeleng. "Kami tidak tahu."

"Yang bisa merasakan keberadaan Clouchi hanya kamu, Chisa," lanjut Mery.

Aku mengerjap. "Hah? Aku? Bagaimana caranya? Aku tidak merasakan apa-apa, tuh."

"Refleks. Mungkin Chisa belum terlalu terikat dengan Clouchi," jawab Tsuna.

Aku mengangguk mengerti. "Begi—AAAKHH!"

Suara lengkingan yang amat nyaring terdengar menusuk, sampai aku spontan memekik dan menutup kedua telinga. Aku berjongkok dan memejam.

Berisik. BeriSIK! BERISIK!

Suara apa itu?!

"Chisa? Kamu kenapa?"

"Ada apa?! Ada apa?!"

Aku bisa mendengar suara Mery dan Tsuna. Nada bicara mereka terdengar khawatir dan panik.

"Suara ...." Aku berbisik pelan. Suara lengkingan itu masih ada dan seakan menusuk bagian dalam telingaku. Mana tidak enak didengar.

"Suara? Suara apa, Chi?"

"Lengkingan yang kencang. Kalian tidak dengar?" Kali ini aku memberanikan diri untuk membuka mata dan menatap mereka. Kedua gadis dari Bangsa Awan itu saling pandang.

"Tsuna tidak dengar suara apa pun."

"Aku juga."

Jawaban mereka membuatku terdiam. Apa ... apa cuma aku yang bisa mendengarnya? Memang, sih. Beberapa hari terakhir, rasanya indra pendengaranku seperti makin menajam. Aku bisa mendengar suara-suara yang orang lain belum tentu bisa dengar.

"Chisa masih mendengar suara melengking itu?" Tsuna tahu-tahu sudah berjongkok di hadapanku. Kedua tangannya bergerak menyentuh punggung tanganku yang lagi menutupi telinga.

Aku menggeleng. "Sudah tidak terdengar lagi, tapi—"

Arah pandangku terarah pada pintu dapur. Kalau tidak salah, di balik dapur, terdapat pintu keluar selain pintu utama. Dan suara yang kudengar sepertinya berasal dari sana.

"—aku mendengar suara lain.
Seperti suara gaduh," kataku dengan mata memejam untuk menajamkan indra pendengaran, lantas menatap Tsuna. "Benar! Jangan-jangan suara itu berasal dari mereka? Bangsa Tanah?"

Tsuna mengangguk cepat. "Tidak salah lagi!"

"Ayo!" Aku segera bangkit berdiri, kemudian menunjukkan gestur mengajak yang diangguki Tsuna dan Mery. Lantas berlari duluan menuju dapur, diikuti Tsuna dan Mery.

Tidak ada Ace atau Cae di sini. Lalu, sepertinya benar kata Tsuna dan Cae perihal Ace yang seorang perfeksionis gila. Lihat saja peralatan dapur dan bahan-bahan makanan yang tertata sangat rapi tanpa cela sedikit pun.

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Ah, bukan waktunya untuk memikirkannya hal ini! Fokus, Chisa, fokus!

Suara gaduh yang menggangguku semakin terdengar jelas saat mendekati pintu keluar. Tidak salah lagi, asalnya dari balik pintu kayu ini. Tanpa babibu, aku segera membuka kenop pintu.

"Cae—!" Baru saja aku hendak melangkah dan memanggil Cae, sesuatu memelesat cepat ke arahku.

"Chisa, awas!"

Cafe de LateraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang