KAMI SEGERA keluar dari taksi setelah Mery mengatakan bahwa Pak Sopir sudah tewas di tempat. Sebenarnya, aku agak enggak tega meninggalkan Pak Sopir yang sudah meregang nyawa. Karena kami, manusia enggak bersalah itu malah terluka dan mati. Tapi tampaknya Cae dan Mery enggak terlalu memedulikannya.
Enggak jauh dari tempat kami, berdiri tiga golem yang kuperkiran tingginya dua meter. Memang enggak sebesar dan sebanyak tadi pagi, tapi sepertinya yang ini jauh lebih kuat.
"Hanya golem? Enggak ada si Bangsa Tanah itu?" tanya Cae dengan alis tertaut.
"Arreuz maksudmu?"
"Ya ... siapa lagi Bangsa Tanah yang suka mengganggu kita?"
"Oh, benar juga."
"Dia cuma memanggil golem, eh? Pengecut sekali."
Perkataan Cae membuatku gemas sampai tanganku refleks menjitak kepalanya.
"Kamu mau kafe kita hancur lagi? Ini sudah malam, aku enggak mau bertarung," ucapku galak.
Sementara Cae meringis dan mengusap-usap kepalanya, Mery mengangguk mengiakan.
"Kalian enggak perlu bertarung. Biar aku yang mengurus mereka."
Iris safir Mery menatap lurus ke depan, tepatnya ke tempat para golem berdiri. Tapi ini sedikit aneh. Kenapa golem-golem itu hanya diam saja dan enggak menyerang lagi? Apa Arreuz memerintahkan mereka untuk diam?
"Oh, baguslah. Merielle sendiri juga sudah cukup."
Aku makin enggak mengerti. Tapi sepertinya, obrolan mereka berhubungan dengan kemampuan Mery. Sementara itu, si gadis dari Bangsa Awan enggak merespons ucapan Cae. Kulihat tatapannya seakan kosong.
"Mer? Merielle?" Aku mengibas-ngibaskan tanganku di depan wajahnya, tapi sama saja. Dia enggak merespons sedikit pun.
"Enggak usah diganggu. Mungkin itu cara dia menggunakan kekuatannya." Setelah berkata demikian, Cae mengeluarkan sebungkus permen dari saku celananya, lantas mengemut permen itu dengan santai.
Aku enggak bertanya lebih lanjut karena tiba-tiba, tiga golem itu saling menyerang, tinju-meninju hingga ketiganya hancur. Kejadian itu berlangsung cepat sampai aku enggak sempat bereaksi. Bersamaan dengan selesainya aksi tinju-meninju para golem, Mery tampaknya sudah kembali seperti semula. Malahan, dia memamerkan cengiran.
"Sudah selesai. Kita aman!"
Aku menggeleng sembari menepuk kening. Sepertinya ... aku sudah bisa menduga apa kemampuannya.
Mery kemudian melangkah mendekati taksi. Aku refleks menutup hidung karena bau amis menyengat yang seketika tercium saat gadis itu membuka pintu mobil.
"Oh, ya, Cae. Bagaimana keadaan di kafe? Aman?" tanya Mery sambil mengeluarkan belanjaan dari bagasi.
Mata Cae sekilas tampak bersinar seperti senter. Apalagi irisnya yang berwarna kebiruan. Cantik. Kemudian, ia menoleh pada Mery. "Aman. Beberapa golem juga sempat menyerang kafe, tapi Tsunarin dan Acelio sudah mengatasinya."
Mery mengembuskan napas lega disertai senyum tipis. "Syukurlah."
Aku menyusup sedikit ke dalam mobil untuk melihat kondisi Pak Sopir dan baru menyadari wajah manusia itu sudah nyaris hancur. Kepala dan wajahnya berlumur darah yang menyebabkan bau amis menguar. Karena enggak tahan dengan baunya, aku sedikit menjauhkan diri dari mobil.
"Terus ... bagaimana dengan manusia ini? Besok pasti bakal ramai berita tentang kematian seorang sopir taksi. Polisi dan media pasti juga akan mencari tahu dalang di balik kematiannya." Jari telunjukku terarah pada jasad seorang pria paruh baya yang duduk di kursi kemudi. "Mereka pasti enggak percaya bahwa yang membunuh manusia ini adalah golem."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cafe de Latera
FantasyUsai kedua orang tua serta saudaranya meninggal dalam kecelakaan beruntun, Chisa Amber harus pindah ke rumah kakeknya di desa. Kejadian tak mengenakan yang dialaminya membuat Chisa mengulang kelas setahun. Di saat Chisa harus belajar giat untuk uji...