Bab 2 Makeup Artist

36 31 9
                                    

Happy Reading 💜


"Trian! Trian bangun, sudah siang nanti kita telat ke agensi."

Bukannya bangun, Trian malah bergerak menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Aku menyibaknya, menggoyangkan kembali tubuh itu.

"Trian, bangun! Kak Rose teleponin aku mulu." Aku tak tahu harus apa ketika Rose, manager Trian menghubungiku karena Trian tak kunjung mengangkat panggilannya. Ya bagaimana mau diangkat, toh ponsel dan pemiliknya berada di kamar yang berbeda. Terlebih tidak mungkin Trian bangun pagi, pasti dirinya lelah karena aktivitas olahraga semalam bersama wanita panggilan itu.

"Sebentar lagi."

"Nggak bisa. Gaji kamu dipotong baru tau rasa."

Terdengar kekehan dari balik selimut, Trian membuka selimut yang menutupi wajahnya. Dia tertawa, "Siapa yang berani potong gaji gue? Mereka itu butuh gue bukan gue yang butuh mereka."

"Ck seterah kamu deh. Aku pergi duluan aja ke agensi dan bilang kamu males pemotretan." Aku berjalan meninggalkan Trian dengan hentakan kaki dan wajah sedikit masam.

"Hahah kalo lo ke sana siapa yang lo make up-in, bodoh? Lo kan MUA gue." Langkahku terhenti begitu suara Trian menyadarkan-ku suatu hal. Benar juga, aku dan Trian berada di tempat kerja yang sama dan aku bekerja untuknya.

"Bikinin gue nasi goreng kecap," gumam Trian yang tiba-tiba sudah menaruh kepalanya di pundak-ku. Jantungku berdetak, bola mata bergerak ke sana sini karena gugup. Menghindari wajah Trian yang berada tepat di samping wajahku. Bulu kuduk seketika merinding begitu hembusan nafasnya menerpa kulit.

"Iya, kamu mandi aja sana nanti aku bikinin."

Trian mengangkat kepalanya dari pundakku kemudian tersenyum manis. "Terima kasih." Lelaki itu melangkah pergi keluar dari kamar. Sebelum pintu benar-benar tertutup, Trian memunculkan kepalanya. "Rahel, you look gorgeous. That dress really suits you, i love what you're wearing."

Tanganku terangkat menyentuh dada usai pintu tertutup. Debaran jantungku sepertinya terdengar ke dalam seluruh penjuru ruangan. Itu hanya sebuah pujian biasa, tetapi apabila keluar dari mulut Trian, semua itu menjadi luar biasa. Lagi dan lagi, Trian membuat perasaanku jatuh lebih dalam. Lelah, tapi mau bagaimana lagi? Aku terlanjur mencintainya walaupun tak terbalaskan.

*+*+*+*+

Author POV

Rahel bersama Trian memasuki agensi yang menjadi tempat bekerja mereka selama beberapa tahun. Para pegawai sudah tak asing melihat mereka selalu bersama-sama. Ya, sudah tiga tahun Rahel menjadi MUA untuk Trian. Tak tahu kenapa semenjak Rahel niat menjahili Trian dengan menata rambut dan memake-up wajahnya, Trian malah ingin menjadikan Rahel sebagai MUA pribadinya di agensi.

"Ayo, Trian. Dua puluh menit lagi pemotretan akan dimulai." ucap Rose, sang manager menghampiri Trian dan Rahel yang berada di ruang ganti.

"Rahel, tolong persiapkan Trian. Gue rasa gaya rambut modern mullet cut cocok buat pemotretan Trian kali ini." pesan Rose pada Rahel sambil mengamati Trian yang masih duduk di sofa dan sibuk dengan ponselnya.

"Iya, Kak. Aku bakal dandanin dia setampan mungkin." jawab Rahel. Rose menganggukkan kepala dan mengalihkan atensinya pada Trian lagi. "Ian, saya tunggu di ruang pemotretan!"

"Iya, bawel lo ah." cebik Trian yang dianggap angin lalu oleh Rose karena wanita itu langsung pergi meninggalkan ruangan.

"Ck, sudah telat juga kamu malah ngomelin Kak Rose." gerutu balik Rahel.

"Cih, lo belain dia?" tanya Trian yang mematikan ponselnya. Ia berdiri dan memberikan ponselnya pada Rahel seperti biasa. Dari pada disimpan oleh Rose, ponsel Trian lebih aman disimpan oleh Rahel. Kalau Rose menyimpan ponselnya, wanita tua itu tidak akan memberikannya waktu bermain ponsel sebelum pemotretan benar-benar selesai.

Trian duduk di bangku depan meja rias yang terdapat vanity mirror light. Sementara Rahel memulai pekerjaannya dengan menata rambut Trian. Selain visual, tatanan rambut juga menjadi hal yang utama dalam sebuah pemotretan. Rahel menyisir rambut brown milik Trian yang begitu lebat nan lembut saat Rahel menyisir menggunakan jari jemarinya. Diam-diam Rahel tersenyum, dia menyukai rambut Trian.

"Rel, lo kenapa?" tanya Trian yang menatap Rahel dari pantulan cermin.

Rahel tergagap, ia sepertinya tertangkap basah sedang tersenyum-senyum sendiri. "Ah nggak," sebisa mungkin Rahel mengontrol ekspresi wajahnya. Rahel menata rambut Trian dengan gaya modern mullet cut yang seperti dikatakan Rose. Membelah, menyisir dan memberikan pomade agar rambut Trian menjadi creamy dan ringan. Tangan Rahel begitu cekatan, ia sudah ahli dalam menata gaya rambut Trian. Sebagai tahap terakhir, Rahel menyemprotkan hairspary agar membuat tatanan rambut lebih tahan lama sekaligus lebih bervolume.

Setelah menata rambut, Rahel melakukan rias pada wajah Trian. Rahel selalu menggunakan clean makeup look. Ditandai dengan riasan yang terlihat alami, segar tapi juga merona. Dengan kata lain, riasan ini menonjolkan fitur alami pada wajah hanya dengan menggunakan beberapa produk. Fitur wajah Trian sudah sempurna. Dahinya yang paripurna, kulitnya yang mulus, mancung hidungnya seperti dewa Yunani dan matanya yang monolid menjadi daya tarik tersendiri. Wajah Trian tidak di make-up pun akan sama, tetap tampan.

Satu sentuhan lagi, Trian selama pemotretan pasti harus menggunakan softlens. "Perih, Rel. Gue nggak mau."

"Nggak apa-apa, nanti juga nggak sakit kok kalo udah terbiasa." bujuk Rahel yang hendak membantu Trian memakai softlens. Lelaki itu sebenarnya tidak suka memakai benda yang satu itu. Katanya mengganjal mata, tetapi apa boleh buat, itu salah satu pendukung visual Trian nantinya. Kalau tidak ada pemotretan pun Trian tidak memakai barang-barang seperti itu.

"Nah coba kedipin mata kamu." ujar Rahel mewanti-wanti. Trian mengedipkan matanya berkali-kali dan berhasil walaupun agak sedikit perih.

Trian agak kaget saat matanya terbuka melihat wajah Rahel sangat dekat dengan wajahnya. Ditambah gadis itu tersenyum pula. Trian berdeham, menetralisir kegugupannya.

"Sakit?" tanya Rahel yang kembali menegakkan tubuhnya.

"Seperti biasa, sedikit." jawab Trian pelan.

Rahel berdiri seperti semula di belakang bangku Trian, mereka berdua menatap cermin. Menatap pantulan Trian yang sempurna bak pangeran di zaman 90-an. Ukiran wajah Trian jika di stylish seperti ini membuatnya terlihat bak pangeran Inggris nan Belanda. Padahal Trian sama sekali tidak mempunyai keturunan berdarah biru. Sentuhan softlens pada matanya terkadang banyak fans memuji Trian mirip dengan karakter animasi komik yang hidup di dunia nyata.

"Kamu selalu ganteng, Trian." batin Rahel.

Tap...

Rahel terjengkit kaget begitu pundaknya di tepuk dari belakang. "Rahel, pakaian untuk Trian kenakan sudah berada di sana." beritahu salah satu perancang tata busana, kemudian ia menghilang dari balik gorden hitam yang menyekat ruangan yang satu dari yang lain.

"Rel, gue ganteng kan?" tanya Trian. Ia diam-diam memperhatikan gelagat Rahel dari pantulan cermin. Gadis itu sepertinya terpesona dengan dirinya. Buktinya Rahel terkejut dan tidak menyadari kedatangan tim perancang tata busana.

"Iya, Trian. Kamu selalu ganteng kok."

"Lo suka?"

"E--eh?"
.
.
.
.
.

Hanya Sebuah LaguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang