Happy Reading 💜
Light stand dan payung reflektor serta alat-alat lain yang digunakan pemotretan sudah terpasang sempurna. Light dari barndroos tertuju ke arah Trian yang sedang duduk bergaya di belakang background hijau. Kilatan flash dari kamera sama sekali tak mengganggunya. Justru Trian sangat menikmatinya. Pria itu tahu bagaimana cara mengekspresikan wajahnya. Satu alis yang diangkat, kedipan mata, cemberut, mencium, bahkan gaya absurd pun ada.
Trian memakai stylean dari desainer ternama Tom Ford yaitu Charcoal Grey Striped Wool & Silk Peak Lapel Suit. Sudah dipastikan harganya sangat fantastis. Visual, tata rambut dan fashion yang dikenakan begitu cocok. Photografer pun tak susah untuk mencari sudut pengambilan gambar karena tiap sudut wajah Trian adalah karya seni bak patung dewa.
Secara tak langsung visual Trian telah mempermudahkan pekerjaaan mereka. Pemotretan pun terkadang amat singkat karena mereka sudah mendapatkan hasil yang luar biasa dari gaya Trian yang sangat alami, tidak kaku. Itulah mengapa banyak yang senang bisa bekerja sama dengan Trian. Mereka tak perlu menambahkan editan pada sebuah gambar yang akan mereka gunakan sebagai majalah dan sebagainya.
"Wassup bro?!"
Trian mendongakkan kepala mendengar sapaan itu. Seorang lelaki berjalan menghampirinya dengan senyuman yang sumringah. Bukannya menyapa balik, Trian malah memutar kedua bola matanya malas mendapati kedatangan lelaki seumurannya.
"You lied to me." semprot Steven. Teman satu agensi Trian dengan bidang pekerjaan yang tentu berbeda. Steven lebih mengedepankan menjadi penyanyi sementara Trian lebih fokus pada model.
"Tahu darimana kalo gue ada di agensi?" tanya Trian. Ia menaruh ponsel di meja yang sedari tadi menjadi pusat perhatiannya.
"Siapa lagi? Gebetan gue-lah, Rahel." jawab Steven menggoda. Reaksi Trian biasa saja kala Steven mengakui Rahel sebagai gebetan. Karena teman-temannya pun--termasuk Steven sebagai sahabat dekat Trian--sudah mengetahui kalau Rahel menyukainya. Trian rasa itu hanya omong kosong meski Rahel sudah confess padanya.
"Nah tuh, Rahel."
Trian mengangkat pandangannya pada celah gorden di sana. Alis Trian mengerut mendapati Rahel yang kesulitan berjalan karena barang bawaan ditangannya melebihi batas. Rahel meletakan beberapa tas berisi makanan dan minuman di meja yang terletak di hadapan Trian dan Steven.
"Rel, bagian konsumsi memangnya dimana?" tanya Trian. Nadanya intimidasi membuat Rahel sedikit takut menjawabnya.
"Ada, mereka juga lagi makan." jawab Rahel pelan takut salah berbicara.
"Siapa yang nyuruh-nyuruh lo kayak gini? Tugas lo itu di sini cuma buat make-up gue doang." balas Trian dengan raut wajah merunggut seakan tak suka. "Kalau disuruh lagi jangan mau."
"Iya, Trian. Aku juga sekalian bantu mereka kok daripada aku bosen nggak ngapa-ngapain setelah make-up kamu." kata Rahel seraya mengeluarkan makanan cepat saji dari dalam paperbag. Ia mengeluarkan satu minuman starbucks dan memberikannya pada Steven. "Steven, rasa Vanilla Sweet Cream Cold Brew tidak ada, jadi aku beliin rasa Dolca latte. Tadi aku mau telepon kamu, tapi ponsel aku ketinggalan. Aku gak tau ka---" ucapan Rahel terhenti begitu matanya menangkap tatapan Trian menajam pada Steven yang tengah meringis tertangkap basah.
Rahel yang paham langsung melipat kedua bibirnya ke dalam, mengunci mulutnya rapat-rapat. Baru saja Trian menasehatinya agar jangan mau disuruh orang lain. Secara tak sengaja barusan saja Rahel membongkar Steven yang menyuruh Rahel untuk ke Starbucks, bukan menyuruh lebih tepatnya menitip karena Rahel yang ingin pergi keluar membeli makanan.
"Cuma nitip, Ian. Lagian Rahel juga kok yang nawarin, dia mah baik nggak kayak lo." jawab Steven menang. "Lagian Rahel siapa lo sih harus patuh sama perintah lo? Biarin aja dia mau nolong kalau disuruh orang. Iya kan, Hel?" Steven menatap Rahel lalu memberikan kedipan genit. Sementara Rahel terdiam, ia melirik Trian yang terdiam menunduk.
Melihat reaksi Trian yang seperti itu Steven nampak menyunggingkan senyumannya. Lalu ia mengangkat cup Starbucks dan meminumnya.
*+*+*+*
Usai istirahat dan sedikit merapihkan penampilan Trian, mereka kembali datang ke tempat pemotretan. Sebelum melangkah masuk ke dalam, Trian menghentikan langkahnya dan memutar badan menghadap Rahel. "Jangan pulang dulu, pulang sama gue nanti."
"Lah Ian, kita kan mau----"
"Iya, gue ajak Rahel." jawab Trian memotong yang lantas pergi masuk ke dalam. Tinggallah Rahel dan Steven di ambang pintu.
Steven menganga tak percaya, "What? Trian ngajak lo?" tanyanya pada Rahel.
"Ngajak apa?" tanya balik Rahel.
"Duh quadruple date dong." Steven tak menjawab jelas pertanyaan Rahel. Dia malah tersenyum-senyum tidak jelas membuat Rahel semakin bingung. "Ada apa sih, Stev?"
Steven menarik tangan Rahel untuk mengikutinya berjalan-jalan di sepanjang koridor agensi sembari berbincang-bincang. Awalnya Steven ingin melihat pemotretan Trian, tetapi urung.
"Lo tau? Gue sama Ammar semalem itu rencanain kalo nanti malam mau date sama pacar kita masing-masing di restoran Satya. Terus Trian nimbrung kenapa dia nggak diajak. Ya gue bilang aja karena Trian nggak punya pacar. Gue ledekin dan nantangin dia, kalo mau ikut harus bawa partner gitu. Eh dia nerima tantangannya tau-taunya partner Trian itu lo."
Rahel menghela nafasnya, ia tersenyum simpul menanggapi cerita Steven. "Kan udah biasa, Stev." Ada nada sedikit kecewa pada Rahel. Ia masih tersenyum tetapi tidak dengan suasana hatinya.
Steven yang tadinya begitu excited menjadi diam kembali merasa iba. Dia adalah saksi, tahu segalanya tentang hubungan antara Trian dan Rahel. "Trian emang sering ngajak aku kayak gitu kan tanpa hubungan apa-apa?"
"Hel, perasaan lo ke Trian masih sama memangnya?" tanya Steven merasa aneh. Steven tahu bahwa keberadaan Rahel sering dimanfaatkan oleh Trian, tetapi lelaki itu tak membalas apapun pada Rahel yang banyak membantunya. Dengan kata lain, Trian tidak sadar diri.
"Masih, Stev. Aku juga nggak tahu kenapa, padahal aku sering nahan sakitnya."
"Rel, mending lo berhenti saja suka sama Trian. Lo yang ada bakalan makan hati mulu. Kasian batin dan diri lo. Liat aja kelakuan dia sama partner kerjanya dan lebih parahnya sering ONS-kan?"
Dada Rahel begitu nyeri mengingat satu fakta yang mengejutkan tentang Jooan yang memang sering melakukan hubungan badan dengan siapa saja. Tadi malam saja lelaki itu baru melakukannya.
"Lo juga kenapa tutup mulut dari Pak Edric tentang kelakuan Trian?" tanya Steven sedikit geram.
"Karena aku mau bikin Trian bahagia, Stev. Membiarkan dia melakukan apa yang dia inginkan."
Steven berdecih seraya membuang muka, "Iya, lo peduli dan lindungin dia. Apa dia ada peduli sama lo? Bahkan perasaan lo aja dianggap candaan. Gue rasa dia ONS gak ada rasa bersalahnya sama lo walaupun dia tau kalo lo suka sama dia."
"Mungkin Trian belum percaya sama perasaan aku, Stev. Aku yakin suatu saat Trian sadar kok."
"Hey, gue aja percaya sama perasaan tulus lo ke Trian. Lagian kenapa sih bukan gue saja yang jadi orang yang lo sukai?" tanya Steven membuat Rahel melebarkan matanya.
"Apa-apaan? Nanti aku dijambak Naura aja." balas Rahel bergidik ngeri dan Steven tertawa ringan menanggapinya.
"Steven, ayo kita rekaman!" seorang pria berbadan gempal memakai topi berhenti melangkah sejenak tuk memanggil Steven seraya melambaikan tangan. Mengisyaratkan Steven untuk mengikutinya memasuki lift.
"Ah iya, nanti gue ke sana." sahut Steven.
Pria itu pun pergi duluan masuk lift tuk ke studio rekaman. Steven tersenyum pada Rahel, tidak tahu kenapa kalau berada di sisi Rahel rasanya Steven selalu ingin tersenyum. "Rel, gue balik rekaman dulu ya. Lo mau nungguin Trian sampai selesai atau sekalian mau liat gue rekaman?" tanya Steven.
"Apa boleh? Nggak ganggu memangnya?" tanya Rahel.
"Oh nggak dong, malah gue semangat rekaman jadinya hahaha." Rahel mencubit lengan Steven yang terus menerus meledeknya.
"Aku mau kalau gitu."
"Ayo." Mereka berdua pun menuju lift untuk mencapai lantai 10 gedung JPG Entertainment.
.
.
.
.Vote dan komen kalian sangat mendukung author 🥰
Please, vote dan komennya juseyo🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Sebuah Lagu
Teen FictionJika aku meninggalkanmu, apa kamu sedih? Ya, tentu saja, separuh duniaku hilang. Apa pantas masih dipertanyakan?