Bab 14

6 1 0
                                    

Sebulan sudah sejak percakapanku dengan Nur kala itu. Sejak saat itu pula hubungan kami cukup menjadi renggang. Selain karena alasan tersinggung, Nur juga telah lama pulang kampung dan belum juga kembali. Aku sendiri merasa kebingungan untuk memulai percapakan dengannya baik lewat chat maupun telepon.

Aku bukannya benci atau merasa ilfiil setelah kejadian malam itu. Hanya ada perasaan sedih dan iba terhadap keputusan Nur yang menjalin hubungan di luar jalur pernikahan. Kupikir, suatu saat dia akan sangat menyesal dengan keputusan itu. Namun, diri ini juga telah bertekad akan selalu berada di sampingnya ketika dia butuh. Mau bagaimana pun, diriku telah berutang banyak kebaikan kepada teman satu kossan-ku itu.

Seperti hari Senin lain yang selalu sibuk di pagi hari, begitupula dengan hari ini. Aku sudah berada di kampus, berkumpul dengan beberapa teman untuk mengumpulkan tugas pekan kemarin dari Pak Zayyan.

Dosen muda itu cukup memberikan banyak tugas kepada kami, hampir setiap pertemuan di kelas. Itu artinya, setiap Senin pagi aku harus bertemu dengan Pak Zayyan untuk mengumpulkan tugas teman-temanku.

Hari ini, seperti ada yang berbeda dengan lelaki itu.  Wajah Pak Zayyan tampak pucat. Mungkinkah dia sedang sakit? Sayang sekali, aku belum memiliki keberanian untuk menanyakan keadaan itu kepadanya.

Usai meletakkan lembaran tugas di atas mejanya, aku pun segera berpamitan. Namun, langkah ini seketika berhenti ketika suara dosen wanita yang ada di ruangan ini terdengar. Wanita itu menanyakan keadaan Pak Zayyan.

Aku pun menoleh, menatap Pak Zayyan yang ternyata tengah menatapku juga. Lantas, lelaki itu memalingkan wajah dan tersenyum kepada dosen wanita yang berjarak dua meja darinya.

"Sedang sedikit flu saja, Bu Dian," jawab Pak Zayyan dengan suara serak.

Tadi, saat aku mengumpulkan tugas dia tidak membalas sapaanku. Pak Zayyan hanya tersenyum dan mengedikkan dagu agar aku meletakkan tugas-tugas ke atas mejanya.

"Seharusnya istirahat saja, Pak," kata Bu Dian perhatian.

"Tidak apa-apa." Pak Zayyan mengangguk dan lagi ... tatapan kami pun bertemu.
Kalau saja tidak mendapatkan pertanyaan dari Bu Dian, sudah tentulah diri ini tanpa sadar masih bertahan di ruang dosen ini.

"Apa yang kamu lakukan di situ?" Suara Bu Dian tidak selembut saat berbicara dengan Pak Zayyan. "Masuk kelas sana! Sudah masuk jam kuliah ini."

Tanpa menunggu lama, aku pun langsung lari terbirit-terbirit. Untung saja diri ini masih ingat untuk mengangguk sopan kepada Bu Dian.

Sampai di kelas, aku langsung ditodong dengan pertanyaan oleh Mega. "Ngapain pakai ngos-ngosan begitu? Dikejar hantu?"

"Enggak apa-apa ... enggak apa-apa." Aku menjawab dengan napas tersengal. Kedua tanganku memegangi lutut yang terasa pegal.

Belum juga hilang rasa capekku karena lari tadi, Pak Zayyan sudah terlihat melangkah lebar menuju kelas kami. Aku pun segera masuk ke kelas dan duduk di samping Mega yang sudah lebih dulu duduk di kursi biasa.

Sapaan Pak Zayyan terdengar berat. Wajahnya juga terlihat sangat pucat.

"Pak, kalau sakit istirahat saja."

"Pak, mau ditemenin ke klinik?"

"Pak, mau diantar pulang aja?"

Begitu suara riuh teman satu kelasku yang hanya dibalas senyum saja oleh Pak Zayyan. Ketika dia menuliskan tugas kepada kami, suara keluhan yang kini terdengar memenuhi ruangan ini.

Ternyata, Pak Zayyan tidak mengajar pagi ini. Usai menuliskan tugas, dia pun kembali keluar. Namun, saat tubuhnya sampai di ambang pintu, dia menoleh menatapku dan melambaikan tangan.

Aku tidak langsung berdiri, menoleh Mega dan meminta pertimbangan. Gugup. Itulah yang aku rasakan, tetapi juga khawatir dengan keadaan Pak Zayyan.

"Dah, sono pergi! Gua enggak mau nemenin ah, entar kayak Senin kemarin diusir terang-terangan sama Pak Zayyan," kata Mega sambil mendorong bahuku.

Ya, Senin pekan kemarin aku meminta Mega menemani, tetapi Pak Zayyan langsung mengusir. "Ngapain kamu di sini? Saya ada urusannya sama temen kamu."

Ekspresi Pak Zayyan memang terlihat biasa saja cenderung tenang, tetapi suara beratnya membuat bulu kuduk merinding.

"Kayaknya Pak Zayyan naksir lu, deh, Ki," ungkap Mega memberikan kesimpulan.

Aku masih duduk di kursiku saat senggolan di bahu kembali kurasakan. Aku menoleh dan tampak Mega mengedikkan dagu.

"Buruan! Ditungguin, tuh," katanya.
Benar saja, Pak Zayyan masih berdiri di ambang pintu. Tatapannya juga masih tertuju kepadaku.

Aku pun segera memundurkan kursi dan beranjak mengikuti langkah lebar Pak Zayyan, tidak lupa menutup kedua telinga agar tidak mendengar celetukan-celetukan teman sekelasku. Sebab, aku paham betul jika tidak bisa menutup mulut mereka. Yang bisa kulakukan hanya mengabaikan dan menutup telinga rapat-rapat.

Rupanya, Pak Zayyan tidak masuk ke ruang dosen melainkan turun ke lantai bawah dan menuju kantin.

"Kamu sudah makan?" tanyanya saat duduk di salah satu bangku. Suasana kantin saat ini cukup lengang, tidak seramai saat di jam makan siang.

"Saya puasa, Pak," jawabku sopan.

Sebenarnya, saat di pesantren aku sudah terbiasa dengan puasa Senin dan Kamis. Namun, saat berada di sini selain karena menjalankan sunnah aku juga sedang berhemat.

"Oh, kalau gitu dibungkus saja saya makannya. Nanti tolong bawakan ke meja saya ya," kata Pak Zayyan kemudian berdiri. Namun, aku segera menahan lelaki itu dengan kalimatku.

"Bapak mau pesan makan apa? Biar saya pesankan."

Pak Zayyan kembali duduk, lalu menyebutkan pesanannya. "Teh hangat sama roti saja. Roti yang 3 bungkus."

Aku memgangguk patuh, mengambil uang merah yang Pak Zayyan berikan dan langsung membelikan pesanannya.

"Rotinya untuk kamu. Bisa untuk buka. Saya makan satu saja," katanya saat menerima belanjaan dariku.

"Tapi, Pak ...." Aku berusaha menolak, tetapi tidak lagi mampu saat mendapatkan tatapan lekat darinya.

Aku memasukkan roti ke dalam tas dan mengikuti Pak Zayyan melangkah meninggalkan kantin.

"Bapak enggak mau istirahat saja?" tanyaku hati-hati. Sungguh, aku tidak tahan melihat tubuhnya yang kini semakin terlihat melemah saat berjalan.

Pak Zayyan menghentikan langkah. Dia menoleh, menatapku beberapa detik baru berbicara pelan.

"Menurut kamu begitu?"

"Ha? Oh ... Bapak terlihat sangat pucat dan ... dan ... terlihat sangat lemah sekarang. Lebih baik beristirahat saja. Apa masih ada kelas lagi hari ini?" Aku sedikit gugup saat mengatakannya.

"Tidak. Saya sudah memberikan tugas di kelas selanjutnya." Pak Zayyan tampak berpikir, lalu melanjutkan ucapannya. "Apa kamu kamu mengantarkan saya ke mobil?"

Aku mengangguk patuh. Tentu saja, tidak ada alasan bagiku untuk memberikan jawaban tidak atas pertanyaan itu.

Sesampainya di samping mobil, aku mengulurkan bungkusan sarapan Pak Zayyan yang kubawa.

"Pak, apa tidak ada yang menjemput Bapak?" tanyaku merasa khawatir. Dengan keadaannya yang seperti sekarang, aku tidak yakin jika dia bisa menyetir sendiri.
Akan tetapi, gelengan yang dia berikan membuatku semakin cemas.

"Kalau begitu ... Bapak naik taksi saja bagaimana? Apa mau saya antar saja? Saya pesankan taksinya dan saya antarkan Bapak pulang?"

Detik itu juga aku merasa telah menyeburkan diri dalam masalah. Bagaimana bisa lidahku begitu lancar memberikan penawaran kepada Pak Zayyan. Sementara hatiku selalu ketar-ketir dibuatnya. Dan, anggukan yang diberikan lelaki itu semakin membuat perasaanku tidak keruan.

Cinta Pertama KinayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang