Bab 2

17 2 3
                                    

Aku tahu, Abah memang memiliki hak untuk mencarikan seorang lelaki untuk menjadi suamiku. Namun, apakah aku tidak memiliki hak untuk menerima atau menolak? Pasalnya diri ini belum berpikir ke arah sana.

Bagiku, menikah adalah sesuatu yang sulit. Terlebih,  menikah adalah ibadah yang paling panjang. Menyatukan dua kepala yang tidak saling mengenal tentu saja sulit. Terlebih dengan usiaku yang masih delapan belas tahun ini.

"Kinaya, jaga sopan santun kamu." Suara teguran Mas Afif terdengar.

Aku menoleh, membalas tatapan satu-satunya saudara yang kumiliki. Lantas, kepala ini langsung menoleh membuang wajah, tidak sanggup rasanya jika mendapatkan tatapan yang sedemikian rupa darinya.

Selama ini, Mas Afif telah menjadi kakak yang baik dan selalu memberikan kasih sayangnya yang besar untukku. Selama ini pula, di saat aku berbeda pendapat dengan Abah atau aku menentang keinginan Abah, Mas Afif-lah yang akan membujukku.

Seperti saat aku harus menunda untuk melanjutkan kuliah dan harus belajar lagi selama satu tahun. Aku masuk di kelas takhosus. Kelas yang khusus mendalami agama, hafalan dan belajar kitab. Padahal, teman seangkatanku telah berganti status menjadi mahasiswa.

"Kinaya masih mau lanjut kuliah, Abah. Kinaya ingin ambil jurusan desainer, terus bisa buat baju-baju rancangan sendiri. Syukur-syukur bisa buka butik sendiri--"

"Untuk apa? Belajar agama itu yang penting. Kamu harus jadi wanita salihah seperti umma dan mbakmu itu. Mereka wanita salihah yang mendukung dakwah suami, mendukung pendidikan di pesantren ini." Abah menyela ucapanku dengan cepat. Suaranya yang tegas telah berhasil menyedot keberanian yang kupunya.

"Mbak Salma, lho, kuliah juga. Masak aku enggak." Aku menggerutu lirih.

Sejenak, aku menoleh kepada Umma. Kemudian tangan ini pun bergerak, meraih tangan wanita yang telah melahirkanku itu guna meminta bantuan. Sebab, hanya Umma saja yang mampu melunakkan ketegasan Abah yang kaku itu.

Akan tetapi, diri ini harus menelan kekecewaan karena Umma tidak mengatakan apa pun untuk membelaku, paling tidak sepenggal kalimat yang diucapkan untuk mendukungku. Umma diam saja. Beliau menatap lurus ke depan tanpa membalas tatapanku, tetapi juga tidak menarik tangannya dari genggamanku.

Aku menghela napas panjang. Lantas melepaskan genggaman, lalu kembali menghadap ke depan. Abah masih menatapku dengan tajam. Sungguh, di dunia ini hanya lelaki itu yabg aku takuti. Namun, diri ini juga tidak akan sanggup jika harus dijodohkan di usia sekarang. Terlebih ... di saat hatiku masih terpaut kepada lelaki lain.

Aku sangat paham, jika sudah terikat dalam pernikahan hanya suamilah yang berhak mendapatkan seluruh perhatian, kepatuhan juga cintaku. Namun, cinta ini masih milik orang lain. Aku tidak mau merusak ikatan pernikahan itu dengan zina hati yang belum bisa aku tinggalkan. Oh, astaghfirulloh.

"Keputusan Abah sudah bulat. Hanya pemuda itu yang menurut Abah sangat cocok menjadi suami kamu. Cuma dia yang bisa menangani sifat keras kepala dan berontak kamu itu." Abah menegakkan punggung semakin tegap. Hingga, kewibawaannya semakin terpancar menyiutkan nyaliku.

Aku yakin, tidak akan ada yang berani membantah Abah jika sedang dalam mode seperti ini, kecuali aku yang terlalu lancang menuntut keadilan.

"Aku masih ingin hidup bebas, Abah. Masih ada cita-cita yang ingin kugapai. Padahal aku sudah setuju untuk tidak langsung kuliah." Suaraku kali ini bergetar. Mata ini sampai berkaca-kaca karenanya. Ya Allah, tolong lunakkan hati Abah!

"Abah akan menguliahkan kamu jika mau menikah dengan dia. Titik." Abah berdiri dengan wajah murung.

Oh, Gusti! Aku bahkan telah membuat Abah kecewa. Namun, harus bagaimana lagi? Diri ini tidak mau dipaksa menikah.

Aku segera meraih tangan Umma yang ikut berdiri dan menyusul Abah. "Umma," panggilku penuh permohonan.

Akan tetapi, Umma tidak menatapku. Beliau menarik tangan dengan lembut, lalu segera menyusul Abah masuk ke kamar.

"Mas ...," lirihku dengan suara berat.

Sekarang, hanya Mas Afif harapanku satu-satunya. Aku memasang wajah semelas mungkin agar kakak lelakiku itu mau berusaha keras membujuk Abah agar membatalkan keputusannya.

Akan tetapi, harapanku kepada Mas Afif pun harus pupus. Lelaki itu menggeleng pelan, lalu beranjak dari kursinya.

"Mbak, tolong ...!"

Hanya tersisa Mbak Salma, tetapi aku juga harus menelan kekecewaan ini bulat-bulat. Kakak iparku itu pun menggeleng lemah, berdiri dari kursinya karena panggilan Mas Afif. Satu hal yang aku buktikan bahwa sungguh mengenaskan diri ini ketika berharap kepada manusia. Bahkan, ketika manusia itu adalah kerabat sendiri.

Ya Allah, Gusti!

Astaghfirulloh.

Dosa apa yang telah aku perbuat? Sampai harua diuji sedemikian rupa begini.

Sekelebat wajah akan lelaki itu pun berkelebatan di ingatan. Rasanya, memang tidak akan adil untuk diriku sendiri jika harus menikah sekarang. Setidaknya, aku harus memastikan hati ini siap menerima lelaki lain.

Aku pun beranjak, tidak ada gunanya terus berdiam diri di sini. Saat hendak melangkah menuju kamar, aku berpapasan dengan Mas Afif. Kami saling diam, sampai lelaki itu masuk ke kamar Abah.

Aku tidak ingin melewatkan kesempatan untuk mencari tahu apa yang akan terjadi. Dengan mengendap-endap, aku berjalan mengikuti Mas Afif yang sudah masuk ke kamar dan menutup pintu.

Aku berdiri di depan pintu kamar. Seketika aku tersentak kaget kala mendengar suara Abah dari dalam sana.

"Urus adik kamu. Selama Abah pergi, Kinaya sepenuhnya berada dalam pengawasan kamu, Afif."

Tubuhku hampir saja nyungsep ketika tiba-tiba saja pintu kamar ini terbuka. Umma keluat dan menatapku lekat.

"Apa yang kamu lakukan, Ning Kinaya?" tanya Umma dengan suara lembut penuh penekanan.

Justruz suara seperti Umma seperti inilah yang membuat bulu kudukku merinding. Kepalaku tertunduk menekuri jari kaki yang bergerak-gerak. Tiada kata yang mau kuucapkan untuk menjawab pertanyaan itu.

Umma menarik lenganku untuk mengikuti langkahnya menuju kamarku. Lantas, Umma duduk di pinggir ranjang dengan aku yang masih berdiri dengan kepala yang terus tertunduk.

"Ada apa denganmu, Ning? Apakah kamu sudah meminta maaf kepada Simbok?"
Aku menggeleng lemah. Rasa bersalah semakin menguasai hati.

"Belum meminta maaf kepada Simbok ... dan kamu telah melakukan kesalahan lagi dengan mengupinh di kamar Abah. Entah bagaimana Umma bisa membelamu, Ning?" Umma menghela napas dalam.

"Maafkan Kinaya, Umma," ujarku lirih, selirih bisikan.

"Seperti kata Abah. Kalau Mas Afif-mu yang akan bertanggung jawab atas dirimu selama Abah pergi. Umma juga akan menemani abahmu. Jaga dirimu baik-baik dan jangan pernah tinggalkan solat," kata Umma pelan.

Aku mengangguk pasrah. Walaupun, masih merasa heran karena setahuku Abah akan pergi sendiri. Lantas, kenapa tiba-tiba Umma ikut menamani?

Sepenggal Umma keluar dari kamarku. Aku pun segera menuju area belakang, mencari keberadaan Simbok. Beberapa santriwati berkutat di area dapur. Memang, sehari-harinya akan ada santriwarti yang datang bantu-bantu di rumah ini.

Aku membalas sapaan mereka sekadarnya saja. Sebab, ingin segera bertemu dengan Simbok dan meminta maaf.

"Mbok, aku mau minta maaf," kataku saat melihat Simbok yang datang dengan membawa pakaian.

Wanita itu menatapku dan tersenyum yang tampam tulus. "Iya, Ning. Simbok yang seharusnya minta maaf karena telah membuat Ning Kinaya marah. Tapi sungguh, Simbok sangat menyayangi Ning Kinaya."

Air mata yang sempat tertahan beberapa waktu tadi, akhirnya tumpah juga. Tanpa peduli apa pun, aku menghambur memeluk tubuh tua itu.

Cinta Pertama KinayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang