Aku bersimpuh di hadapan Abah, Umma, Mas Afif dan Mbak Salma. Air mata ini terus mengalir deras meminta ampunan dari keluargaku. Namun, jangankan kata maaf dari mereka seperti yang kuharapkan. Sepatah kata pun tidak juga keluar dari bibir mereka.
Hati ini terasa tersayat perih. Berulang kali beristighfar meminta ampunan kepada Allah, juga kata maaf yang terus kuulang lewat kata yang tersendat-sendat. Namun, jarak yang semula terasa dekat kini kian menjauh. Hingga, diri ini berada dalam ruangan gelap yang pengap. Sendirian. Tiada seorang pun yang sudi menemani.
Aku menjerit, memanggil Abah, Umma dan Mas Afif, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang menyahut bahkan datang untuk menolong. Hingga, ada satu nama yang beberapa hari ini sosoknya menemaniku.
"Mas Zayyan ... Mas Zayyan."
Sesaat, seperti ada yang menarikku sampai jiwaku terjun jauh dan mata ini mengerjap, lalu perlahan terbuka.
Hal pertama yang ada dalam dada ini adalah perasaan heran. Seingatku, langit-langit di kamar Pak Zayyan berwarna biru laut, tetapi ini adalah warna putih yang mendominasi. Hingga, suara panggilan itu membuatku menoleh.
"Ning Kinaya."
Suara Nur yang terdengar khawatir dengan ekspresi yang serupa di wajahnya membuatku mengernyit.
"Apa yang terjadi, Nur?" Aku bertanya bingung. Saat mengangkat tangan kanan, detik itu pula aku tersadar jika diri ini dipasang selang infus. Aku berada di rumah sakit.
"Ning Kinaya sakit, terus dibawa ke sini malam tadi," jelas Nur dengan suara sangat pelan.
"Jam berapa ini?" tanyaku.
"Ini sudah jam tujuh, Ning."
"Astaghfirulloh! Aku belum solat, Nur. Bisa bantu aku berwudu?" Aku kontan bangun untuk duduk, tetapi ditahan oleh Nur. Dia membantu menegakkan sandaran ranjang agar aku bisa duduk dengan nyaman.
Tepat setelah aku selesai salat dua rakaat, pintu kamar terbuka. Pak Zayyan masuk dengan membawa tas di tangannya.
"Gimana keadaannya, Ning?" tanya lelaki itu, meletakkan tas ke sofa yang ada di ruangan ini, lalu melangkah mendekati ranjang.
Sementara itu, Nur yang kini beralih menjauh dan duduk di sofa."Saya sehat, Pak. Maaf karena terlalu banyak merepotkan Bapak Zayyan," jawabku tidak enak hati. Sejak dari kemarin, aku telah banyak merepotkan dosenku itu.
Pak Zayyan mengulas senyum tipis. "Tidak repot, kok."
Pak Zayyan berdiri di samping ranjang. Hanya berdiri sembari menatapku lekat, sampai rasanya ... perasaan malu menyergap diriku.
Aku memalingkan wajah, menghindar dari tatapan itu. Namun, senyum tipis tidak bisa enyah dari bibir ini.
Suara dehaman Pak Zayyan membuatku menoleh. Lelaki itu mengelus dagu belahnya. "Ning Kinaya mau makan sesuatu? Biar sekalian saya belikan sama beli sarapan Nur," katanya pelan penuh perhatian.
Aku menggeleng lemah, tidak bisa memikirkan satu jenis makanan pun pagi ini. Lebih tepatnya, aku tidak berselera makan.
"Bubur ayam ya?" tawar lelaki itu yang kubalas dengan gelengan pelan. "Nanti saya carikan yang enak, Ning Kinaya pasti jadi nafsu makan."
Aku belum sempat membalas saat lelaki itu beralih menghadap Nur, bertanya dengan pertanyaan yang sama. Nur mengiakan begitu saja. Tidak perlu menunggu lama, Pak Zayyan sudah berpamitan dan sosoknya pun telah menghilang bersamaan dengan pintu yang ditutup dari luar.
"Ning, Pak Zayyan perhatian banget ya. Tadi malam aja, dia kelihatan khawatir banget. Enggak pakai banyak ngomong, saat tahu Ning Kinaya panas badannya langsung aja dibawa ke rumah sakit," cerocos Nur antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Pertama Kinaya
RomanceKinaya masih ingin hidup bebas, bisa pergi ke mana pun dan bisa belajar sesuai hobby yang ia sukai. Namun, kenyataan tidak selalu sesuai keinginan. Sang abah berniat menjodohkannya dengan putra kiai kerabat jauh. "Aku masih ingin hidup bebas, Abah...