Putra Tunggal

7.8K 145 3
                                    

   Karena aku berketurunan tionghoa, sesekali orang salah mengira. Mereka pikir aku adalah pemilik toko. Pedahal aku hanya bekerja sebagai penjaga toko, sekaligus kuli panggul di toko ini.

   Aku tidak ada rumah, orang tua, dan pendidikan telah lama ku tinggalkan.

   Aku bersyukur telah bertemu dengan ibu Vera. Dia yang telah menolongku, sangat banyak bahkan.

"Aweng, kamu sudah makan? Kalau belum ambil saja di atas, jangan beli terus. Biar kamu bisa menabung."

   Ibu Vera sudah seperti keluargaku sendiri. Seperti biasa, dia sering menawariku untuk makan lauk yang sudah dia masak untuk keluarganya. Sesekali aku makan di atas, karena sudah biasa. Namun hari ini, karena ada Eddie. Aku jadi merasa segan, dan canggung.

"Gapapa Bu, aku hari ini lagi kepingin Nasi Sayur."

"Dasar kamu, ya sudah kalo gitu. Oh iya Weng, tadi Ncek toko sebelah sudah datang?"

"Sudah, 3 goni kan Bu yang kemarin pagi kurang?"

"Iya benar 3, makasih ya Weng."

   Aku bekerja di toko beras, dan telur. Ibu Vera, dan suaminya Pak Rudy adalah pemiliknya. Sedangkan Eddie, adalah putra mereka satu-satunya. Kelak Eddie akan mewarisi toko ini, namun untuk sekarang. Selagi ibu Vera yang mengelola, dia hanya perlu membantu, karena Eddie masih kuliah. Eddie kuliah di salah satu universitas di kota ini.

 Eddie kuliah di salah satu universitas di kota ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

   Sore hari ini sedang hujan, langit gelap dan bergemuruh. Selagi mengangkut goni beras di bahu, aku melangkah dengan langkah lebar, menjaga keseimbangan di atas lantai yang licin, basah, dan becek oleh air hujan yang menyiprat dari kanopi seng yang sudah berkarat. Kemudian menggulingkan dua goni dari pundak ku secara sekaligus, pada mobil angkut pemborong. Kondisiku sudah basah kuyup, seperti seekor anjing yang baru saja berguling di lumpur.

   Walau suara mobil angkut berderit ribut, dan suara rintik hujan begitu riuh karena lebat. Di tengah kebisingan itu, aku tetap mampu mengenali suara satu ini, yaitu suara knalpot dari motor milik Eddie. Suara knalpot itu tetap bisa ku bedakan, walau ada jutaan kenalpot lain di kota ini.

   Seperti biasa, dia mengenakan jacket Hitam, dan helm hitamnya. Buru-buru memarkirkan motor itu di dalam toko. Kaki jenjangnya bertengger menahan berat motor selagi mencagaknya, lalu tangannya yang berurat itu memutar kunci. Seketika bunyi familiar itu berhenti, digantikan dengan hal familiar yang lainnya. Yaitu aroma tubuh Eddie, bau sabun khas pria, deodorant, keringat, dan sedikit aroma matahari.

"Sudah siap ngangkut Weng? Motornya ganggu ga?"

"Gapapa Koh, aku bisa kok ambilnya."

"Ku geser lebih masuk saja."

   Eddie mengingatkanku akan betapa acaknya takdir itu. Ketika kamu di lahirkan di bumi ini, kamu mirip seperti sebuah dadu yang di lemparkan dengan sangat kuat. Angka yang kamu dapat, muncul secara acak tergantung keberuntunganmu. Begitulah aku, angka yang kudapat adalah angka sial ketika diriku lahir. Ibuku hamil tanpa tahu siapa ayahku, kami hidup dengan sangat miskin di kota kecil dekat laut. Mungkin aku bisa mengubah takdirku bila bersekolah dengan baik, namun anak yang di lahirkan ini malah di jadikan babu oleh ibunya sendiri. Bukannya menyekolahkanku, ibuku memilih pendapatan yang ia dapat, di gunakan untuk memelihara ayah tiriku. Dan apa yang pria itu lakukan di rumah, hanya mabuk, tidur, dan terkadang bermain judi dengan teman-temannya yang sama-sama bau.

Silsilah EddieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang