Mengintip Di Pagi Hari

4.6K 122 13
                                    

   Seperti biasa, hari ini aku terbangun lagi oleh suara kesibukan dari lantai atas. Eddie bersiap-siap untuk berangkat kuliah. Di jadwal jam masuk pagi, keluarga Muljo mulai aktif di jam 05.00 dini hari.  
   Awalnya akan terdengar suara Ibu Vera mulai memasak. Pancuran dari keran air, suara celetek kompor, suara dentingan wajan, di susul dengan desis dari minyak panas saat mulai menumis, atau menggoreng, kemudian di tutup dengan suara piring.
   Di kala Ibu Vera sedang memasak, aku juga bisa mendengar suara air dari ruangan sudut, yakni kamar mandi di lantai dua. Pak Rudy juga ikut bangun di pagi buta itu, aku selalu mendengar suaranya berdaham, sesekali dia juga sering bersin.

   Eddie benar-benar di urus seperti seorang putra mahkota oleh mereka. Setiap Eddie masuk jadwal pagi, suasana terasa seolah-olah ini adalah hari Eddie pertama kali masuk sekolah. Pedahal sudah lebih dari tiga tahun dia kuliah, bahkan sepertinya tak lama lagi Eddie akan segera wisuda.

   Selagi kegiatan di atas sibuk seperti itu, aku pun biasanya ikut sibuk merapikan matras tempat aku tidur. Menggulungnya, dan menyimpannya di kolong meja agar tidak terlihat oleh pelanggan. Kemudian, aku membuka gembok pintu harmonika, lalu mendorongnya hingga terbuka lebar.
   Sebelum toko benar-benar buka, tugas ku adalah menyusun kembali tatakan telur di depan. Beberapa beras yang mereknya sering di beli, umunya yang murah tapi juga enak, juga ikut di susun di depan. Setelah itu barulah aku menyapu.

   Biasa, di saat aku menyapu, Eddie sudah bersiap untuk berangkat. Senyumnya yang kalem itu, selalu terlihat manis. Rambut lurusnya terlihat sehat mengilap. Untunglah Eddie sudah tidak canggung lagi semenjak kejadian kemarin.
   Maklum, sudah hampir dua bulan telah lewat. Walau masih saja ada yang terus membahas kejadian itu berulang-ulang kali. Contohnya Ncek sebelah.

"Oi, Eddie. Gimana pantatmu? Sehat? Jangan sampai di gigit anjing lagi." Pedahal pantatnya tidak di gigit, dan kejadian itu sudah berlalu begitu lama. Namun Ncek sebelah mengungkitnya seolah-olah hal itu terjadi setiap hari.

   Selain Ncek penjual Nasi Ayam, Abang parkir daerah ini juga suka menggodanya.

"Hati-hati koh Eddie, nanti di tarik anjing lagi celananya. Hari ini ga pake kolor lagi Koh?" Teriak Abang Parkir itu dengan suara lantang.

   Eddie hanya termangu malu, tidak tahu harus menjawab atau tidak. Pertanyaan begitu tujuannya hanya usil, jadi seharusnya Eddie tak perlu bimbang.

"Sudah-sudah, jangan di ganggu Eddienya." Balasku mengusir si Abang Parkir boneng itu.

   Pedahal Abang Parkir itu jarang mangkal disini karena tidak terlalu banyak kendaraan yang parkir, karena jalannya yang menyempit. Tapi semenjak kejadian itu, dia jadi sering datang.

   Sore hari setelah Eddie pulang dari kuliah, dan Fitness. Toko di sibukkan dengan memindah beras ke truk pemborong. Karung beras kurang satu di karenakan karung goni bocor. Supir truk dari pemborong satu ini pun menelepon bosnya, untuk melaporkan kejadian.

"Besok bisa antar ke tempat kami satu karung yang kurang itu?" Tanya Supir Truk itu kepadaku, dengan telepon masih menempel di telinganya.

"Soal antar bisa-bisa aja, tapi merek yang satu ini belum tentu sudah restock besok."

   Beras yang biasa di tempah pengusaha kuliner satu ini, biasanya beras yang murah, dengan merek yang tidak biasa di gunakan oleh orang sehari-hari. Jadi di tempah oleh kita khusus untuk pemborong dengan jumlah yang sesuai pesanan. Supir truk itu berjalan lagi keluar, lanjut berbincang dengan bosnya.
  
   Tak lama kemudian dia kembali.

"Koh, Pak Rudy nya ada?" Tanya supir truk itu.

"Ada, di atas."

"Ini, Bosku mau ngomong sama Pak Rudy." Ucapnya sambil menunjuk telepon genggamnya, dengan raut wajah seperti mau menangis.

Silsilah EddieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang