“Di dunia yang membuatku sepi, dia menawarkan hati. Jadi, sebenarnya bagaimana aku bisa terus berusaha menolaknya? Sedang, kita memiliki rasa yang sama?”
***
Di antara perkara utama yang ditanamkan di pesantren adalah adab dan akhlak. Sebagaimana Imam Waqi' dalam menasehati Imam Syafi'i saat menuntut ilmu padanya, bahwa ‘Ilmu adalah cahaya Allah, dan cahaya Allah tidak akan menembus orang-orang yang berbuat maksiat’. Maka, mengajarkan akhlak yang baik menjadi hal pertama sebelum memberikan ilmu pada seseorang.
Umi Aisyah pernah berkata padaku ketika aku masih baru di pesantren.
“Ainun, akhlak seseorang memiliki nilai 1. Sementara, jika dia juga cerdas, maka dia punya tambahan angka 0 di belakangnya. Jadi, berapa?”
“10, Umi.”
“Benar. Kalau dia punya wajah cantik juga, maka dia punya tambahan 0 lagi di belakangnya. Jadi, sekarang nilainya berapa?”
“100 ya, Umi?”
“Tepat sekali. Tapi, kamu harus ingat … jika orang itu cerdas dan cantik, tapi akhlaknya buruk atau akhlaknya 0. Maka, nilai orang itu jadi berapa, Ainun?”
“000, Umi. Gak ada nilainya. Orang yang gak berakhlak baik meskipun cerdas dan cantik, gak bernilai.”
Umi mengangguk. “Jadi, Ainun ngerti harus gimana?”
“Ainun harus belajar akhlak dulu baru belajar jadi cerdas sama cantik … biar nanti Ainun bisa dapat nilai 100, hehe … kalau Ainun belajarnya cantik dulu, cerdas dulu, baru akhlak … nilai Ainun cuma dapat 1. Sia-sia deh belajarnya, Umi.”
Mengelus kepalaku, Umi Aisyah tersenyum. Dia memberiku kecupan dahi. “Ingat ini, terus ya, Ainun … adab dulu sebelum melakukan apapun. Kita harus tahu diri kita siapa, lalu bersikap yang tepat di waktu dan tempat yang seharusnya.”
Nasehat yang diucapkan Umi Aisyah waktu itu telah mengakar di kepalaku. Karena itu, meskipun zaman telah menggerus akhlak anak-anak muda hingga tidak sedikit yang berani bersikap selayaknya teman sejawat pada guru atau ustaz-ustazahnya, aku tidak bisa.
Bagiku menganggap orang tua atau guru seperti teman biasa sama sekali tidak sopan sehingga siapapun guru itu, meskipun merasa sudah sangat dekat, aku tetap berusaha memberikan rasa hormat yang tinggi dan membatasi diri. Namun, ada satu pengecualian, aku terhadap Gus Ibnu. Selain tumbuh bersama dan melihat satu sama lain beranjak dewasa, aku yang sering dikerjai olehnya tanpa sadar memandangnya sebagai teman. Aku tahu, harusnya aku tidak boleh begitu. Karena bagaimana pun dia adalah Gus-ku, kadang kala juga secara formal dia menjadi guruku. Akan tetapi, coba bayangkan bagaimana aku bisa menaruh tawadhu’[1] yang serius saat dia sendiri sering merusuh?
Benar-benar, dalam hal ini aku sudah melewati batasan yang aku buat sendiri. Akan tetapi, perkara perasaan, apa aku juga bisa melangkah melebihi batas?
Semakin dipikirkan, kian aku merasa ini tidak benar. Akalku terus berteriak, berhentilah! Tapi, hatiku memaksa untuk terimalah … ini kesempatan. Kapan lagi kamu akan mendapatkan imam yang menjanjikan kehidupan akhirat yang nyaman?
“Kamu mungkin sekarang gak percaya diri, kan, Ai.” Gus Ibnu mengatakannya siang kemarin setelah dia membuat heboh sanggar tenun.
“Tapi, coba ingat kisah Sayyidatina Fatimah dengan Sahabat Ali rodhiaallahuanhu? Masalah ewoh-pekewoh dan gak pantas, Sahabat Ali juga merasakan hal yang sama. Lalu, apa yang membuatnya yakin?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikhlas Cinta
SpiritualAinun Nisail Mahya, abdi ndalem yang ketahuan memendam rasa pada Gus Ibnu Al Fariz Zuhury. Ketika perasaannya berbalas dan Gus itu ingin melamarnya, cinta mereka terhalang oleh restu orang tua. Parahnya lagi, Ainun kemudian dihadapkan pada dua pilih...