Rumah

32 4 6
                                    

"Kelas hari ini saya cukupkan dulu sampai di sini, tugasnya jangan lupa dikerjakan. Sampai bertemu di pertemuan selanjutnya."

Sontak seisi kelas menjawab, "Baik, Pak, terima kasih!"

Dalam hitungan detik kelas pun lengang, dan hanya menyisakan seorang perempuan yang tengah berbicara lewat telepon. "Aku ke situ sekarang," katanya, sebelum benar-benar meninggalkan kelas.

Pulang selalu jadi perasaan paling menyenangkan, dari capeknya segala bentuk aktivitas yang dilakukan seharian. Apalagi pulang ke rumah, yang lebih dari sekadar rumah. Karena ternyata, kata "rumah" bukan hanya merujuk pada bangunan saja, tapi bisa juga alih peran jadi seseorang.

"Hallooo!"

"Hai, Cantik!"

Rambut lepek, warna lipstick yang sudah memudar, jerawat yang tumbuh di atas alis dan pipi kirinya, membuatnya mengeluh, "Ihhh, nggak mau, lagi jelek banget aku sekarang," katanya, sambil menutup pintu mobil.

Mendengar itu, lawan bicaranya tertawa kecil sambil membantu memakaikannya seat belt. "You're always pretty to me, Kanila." lirihnya, tepat di depan wajah perempuan itu.

Padahal ini bukan yang pertama kalinya Kanila mendengar kalimat semacam itu, tapi dia tetap salah tingkah. Dan pasti akan selalu salah tingkah, kalau tiap kali Fathan menggoda dirinya.

"Lucu, deh."

"Apanya yang lucu?"

"Kamu kalau lagi salting."

"Dih, siapa juga yang salting."

"Warna pipi kamu nggak bisa bohong, Ila sayang," kata Han, sambil mem-pat-pat kepala Kanila.

Udah tahu pacarnya salah tingkah, malah semakin dibikin brutal salah tingkahnya. Nggak salah, kan, kalau sekarang detak jantung perempuan itu berpacu lebih cepat dari biasanya?

Tahun ini, menginjak tahun ke-2 mereka berpacaran. Sama seperti orang-orang yang berpacaran pada umumnya, Kanila juga mendapatkan banyak perhatian dan cinta dari Han. Bahkan selama 2 tahun terakhir ini, Ila telah menganggap Han sebagai rumah satu-satunya yang ia punya.

Sebab, tak ada pelarian paling menenangkan, selain diterima ketika sedang hancur dan berantakan.

"Kamu kenapa, sih, mau sama aku? Padahal aku orangnya kompleks banget, lho."

"Emang orang yang kompleks kayak kamu nggak boleh dipacarin?"

"Ya, nggak gitu juga, tapi kenapa harus aku di antara banyak perempuan lain yang lebih stabil?"

"Laa..."

"Aku cuma bersyukur punya kamu, Han. Aku nggak tau harus bilangnya kayak gimana, makanya aku ngomong kayak gitu."

"Ya, kamu emang selalu kayak gini, La. Kamu emang kompleks, tapi juga hangat di waktu yang bersamaan. Perempuan lain mana mungkin sekuat kamu, sehebat perempuanku."

Begitu katanya, ketika ditanya suatu hari di tahun pertama mereka pacaran.

Nggak salah, kan, mengapa Ila bisa menganggap Han sebagai tempatnya pulang? Kalau cuma sekadar kata, mungkin juga Ila akan ragu, tapi ternyata Han selalu melakukan yang lebih daripada itu. Han selalu membuat Ila percaya, bahwa ia pantas dicintai.

Pernah suatu hari, di hari terakhir ketika Ila sedang OSPEK jadi MABA, Ila lupa membawa salah satu perlengkapan yang diwajibkan untuk dibawa pada hari terakhir itu. Kemudian ia menelepon Han, memberitahu hal itu, dan Han langsung on the way menuju kampus Ila untuk membawakan barangnya, sesaat setelah teleponnya dimatikan.

Padahal kalian tahu? Hari terakhir Ila orientasi adalah hari pertama Han masuk kerja ---setelah pindah dari kerjaannya yang lama. Ila yakin, sangat yakin, meskipun sampai sekarang Han nggak ngasih tau, tapi pasti dia telat datang di hari pertamanya bekerja. Masalahnya, jarak kantor baru Han dengan kampusnya Ila lumayan cukup jauh, bisa sampai menempuh waktu satu jam, itu pun kalau nggak macet.

Jelas kali ini juga begitu. Ila selalu bilang, "Kamu jangan jemput aku, aku bisa naik metro mini, atau angkutan umum yang lain. Kamu pasti capek banget kalau harus jemput aku pulang."

Dan respons Han, "Jarak cuma satuan ukuran, La. Lagian capek aku pasti hilang kalau udah sama kamu."

"Kamu selalu gitu, deh."

"Gitu gimana?"

"Selalu semaunya kamu."

"Jangan gitu dong, kedengeran kayak egois kesannya aku."

"Lho, emang nggak ngerasa?"

"Laa..."

Yang dipanggil justru malah menahan tawa melihat perubahan ekspresi wajah laki-laki yang nggak suka makan seafood itu.

"Sesuai rencana, Sayang?"

"Bentar, tapi kayaknya aku lagi pengen makan ke restoran seafood, deh, Han."

"Kanila..."

Lagi-lagi, yang dipanggil namanya menahan tawa.

"Kenapa, sih?"

"Ya, masa aku cuma ngeliatin kamu makan?"

"Ya, lagian aneh banget ada orang yang nggak doyan makan seafood."

"Kamu bilang gitu, kalau cuma baru sehari atau dua hari kenal aku, sih, gapapa. Ini 2 tahun, La. 2 tahun kamu kenal aku, masa harus ku jelasin lagi kenapa aku nggak suka seafood?"

Kali ini, tawa Kanila pecah. Senang rasanya menggoda laki-laki satu di sebelahnya itu.

"Kalau aku nggak bekelin kamu waktu itu, kayaknya aku nggak akan pernah tau dan kamu nggak bakal cerita kalau kamu alergi makan seafood. Ya, nggak, sih?"

Han tersenyum, lalu menoleh ke arah Ila, dan dielusnya pipi kanan perempuan itu. "You know me so well."

Han memang bukan tipikal orang yang mau terus terang bercerita, kalau nggak ditanya. Makanya yang lebih dominan di antara hubungan keduanya, ya Kanila. Han bisa saja tahu semua tentang perempuannya, tapi belum tentu Kanila tahu semua tentang laki-laki itu.

Meski begitu, hubungan yang sudah menginjak tahun ke-2 ini juga kadang nggak jarang ada perdebatan kecil, yang sampai pernah membuat Kanila punya pikiran, "Putus aja apa, ya?"

Tentu. Hubungan Ila dan Han juga tentu sama seperti kebanyakan mereka yang berpacaran. Nggak sesempurna seperti apa yang dilihat orang lain. Kadang mulus, kadang berantem, kadang diem-dieman, kadang juga baikan lagi.

Wajar, ya? Normal juga, kan? Namanya juga hubungan.

Mobil pun berhenti, karena lampu merah. Di kesempatan seperti ini, Hal yang selalu Han lakukan adalah memainkan jari jemari Kanila, serta menciuminya sesekali.

"Tangan kamu wangi banget, deh."

"Emang iya?"

Karena penasaran, Kanila pun ikut menciumi punggung tangannya sendiri. Selagi ia melakukannya, Han dengan sengaja mengambil kesempatan itu untuk mengecup puncak kepala Kanila.

"Ihhh, belajar dari mana?"

Han tertawa. Mereka berdua sama-sama tertawa. Ah, lebih tepatnya, Han tertawa, Kanila salah tingkah.

"Apanya?"

"Itu modus baru."

"Hebat, ya? Sekarang kemampuanku bikin kamu salting meningkatkan, kan?"

"Hebat menurut kamu, nggak aman buat jantung aku, tau."

"Hahaha."

Lampu merah pun berubah hijau. Mobil melaju kembali di bawah kecepatan rata-rata, karena ini waktunya jam pulang kantor; macet.

Namun sesaat kemudian, mobil kembali berhenti, membuat perempuan itu bertanya, "Udah sampe, ya?"

"Udah, La. Ayo masuk, temen-temen yang lain udah pada nungguin tuh."

///

NeophyteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang