~Bram~There is always a Plan B.
Masalahnya, gue terlalu percaya diri sama rencana gue sampai-sampai lupa bikin Plan B. Pernikahan gue dan Helena gue rancang begitu sempurna sampai dua garis biru laknat itu muncul. Dan bodohnya, gue ikut andil dalam kegagalan rencana ini.
Sialan! Kayaknya gue terlalu nyaman dua tahun terakhir karena semua berjalan terlalu lancar. Seharusnya, gue tahu kalau ada yang salah ketika semua rencana berjalan terlalu mulus.
Gue pengen marah sama Helena. Tapi lihat dia nangis kayak tadi, rasanya gue nggak bisa bentak-bentak dia sekarang. Karena kebodohan ini bukan sepenuhnya salah dia. Seandainya gue nggak ceroboh malam itu, semua ini nggak akan terjadi.
Gue nggak mengatur khusus dalam perjanjian mengenai hubungan biologis kami sebagai laki-laki dan perempuan. Gue rasa akan sulit menahan itu ketika lo tinggal di rumah yang sama setiap hari. Kecuali gue atau Helena punya pasangan lain masing-masing. And yeah, we did it like we got nothing to lose. After all, we are married, right?
We were doing fine until last month. That shit happened in Bali.
Sebulan yang lalu, kebetulan kami berdua ada perjalanan dinas yang sama ke Bali. Gue ke Nusa Dua, Helena ke Canggu. Dua urusan yang berbeda, tapi kami memutuskan bertemu di Nusa Dua. Selain untuk membuat kesan ke keluarga kami kalau kami sedang liburan, tak ada salahnya juga membuat kesan ke orang kantor kalau kami menjaga hubungan romantis kami.
Sebenarnya, gue percaya Helena nggak bohong tentang tanggal amannya. Kami memang selalu bermain aman, tapi malam itu di Bali, gue nggak pakai pengaman.
Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Mungkin itu yang terjadi ke gue sekarang.
Sialan, tapi kenapa gue harus jatuh di saat yang tidak tepat?
Gue benar-benar takut kelepasan bicara dan melakukan hal buruk pada Helena hari ini sampai-sampai gue irit bicara. Helena hari ini bolos. Mungkin dia merasa syok dengan temuannya pagi ini. Dan gue nggak memaksanya ke kantor. Gue berangkat tanpa berpamitan. Helena juga tidak mengantar. Dia meringkuk di ranjang sejak pagi, setelah melihat kabar buruk tadi.
"Kusem banget muka, kenapa lo?"
Wajah menyebalkan Zaka muncul di kubikel gue. Gue melengos, mengabaikannya. Gue nggak boleh kehilangan fokus di kantor. Ada project besar yang harus gue tangani dan kalau berhasil, gue bisa booking lima triliun dalam sehari.
"Gue tahu lo itu public enemy di sini, tapi biasanya yang kusem muka orang yang berhadapan sama lo, bukan muka lo sendiri."
Zaka masih melanjutkan ocehannya, membuat gue kesal. "Lo ada butuh apa sama gue?"
"Gue cuma khawatir. Kan gue satu-satunya orang yang mengkhawatirkan lo."
Gue menghela napas panjang, tapi tidak berniat bocor ke Zaka. Dia benar tentang status gue sebagai public enemy dan peers relationship gue yang buruk. Prinsip gue, gue akan baik pada orang yang memberi gue manfaat, bukan pada orang yang memanfaatkan gue.
"Oke, kalau lo masih dalam aksi bungkam. Gue barusan email ke lo, Ediana minta lo yang handle nasabah ini. Nggak percaya dia sama gue, percayanya sama anak kesayangan dia aja," keluh Zaka, sebelum meninggalkan kubikel gue.
Gue menghela napas panjang. Plusnya jadi anak kesayangan adalah gue punya posisi yang bagus buat menjual diri ke atasan. Minusnya, kerjaan gue jadi nggak kira-kira begini banyaknya. Mana Virgo sialan resign dan gue kelimpahan beberapa account-nya sampai penggantinya yang entah siapa itu datang. Oh ya, si sialan itu resign hampir dua tahun yang lalu, tapi penggantinya tak juga datang. Berengsek memang IBI ini kalau masalah perbudakan.
Meski gue berusaha fokus, pikiran gue berkali-kali kembali ke rumah. Ke Helena. Sampai tanpa sadar, tangan gue mengetik pesan ke dia.
"Nggak bisa tes lagi hari ini?"
Helena langsung membalas pesan gue. "Sorry, nggak bisa, Bram ..."
Gue melorot di kursi, menengadah, melihat langit-langit kantor. Rasanya mendapat kabar ini lebih berat daripada mendapat banyak limpahan pekerjaan dari Ediana. Tiba-tiba sebuah dorongan membuat tangan gue mengetik sesuatu di ponsel.
Cara menggugurkan kandungan.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken
Любовные романыPernikahan Bram dan Helena yang terlihat ideal tiba-tiba berantakan ketika Helena hamil. Hal itu tidak pernah ada dalam rencana Bram karena sebentar lagi dia akan mendapatkan promosi jabatannya dan akan menceraikan Helena dalam dua tahun ke depan. P...