3. Hilang

113 10 1
                                    


~Helena~

"Ini apa?" Aku mengangkat tinggi-tinggi cup kertas berwarna hijau itu ke arah Bram.

"Jus nanas."

Aku menatap tak percaya ke arah Bram yang tengah melonggarkan kerah kemejanya. Dia pulang sedikit larut malam ini saja aku heran karena dia biasanya orang paling efektif dan efisien perihal waktu kerja. Kalau dia pulang malam, berarti ada project besar yang dia tangani dan dia akan bilang sejak pagi kalau dia akan pulang larut.

"Bram, ini 2023 dan lo masih percaya nanas bisa gugurin kandungan?"

Bram mengedik. "Nggak ada salahnya dicoba, sambil nunggu besok lo tes lagi."

Aku makin melongo. "Tunggu, lo serius mau gugurin bayi ini?"

Kali ini dia yang menatapku tak percaya. "Lo mau mempertahankan bayi itu, Na?"

"Gue nggak tahu, tapi gue belum kepikiran gugurin, Bram." Entah kenapa mataku terasa sangat panas sekarang dan sesuatu yang tajam menusuk-nusuk dadaku dari dalam.

Bram menghela napas panjang. "Jangan merasa bersalah gitu. Bayi sebelum empat bulan belum ada nyawanya. Lo nggak membunuh siapa-siapa." Lelaki itu berjalan mendekatiku setelah meletakkan tasnya di sofa. Tangannya mendarat di bahuku. "Ini demi kepentingan kita berdua, sebelum semuanya terlambat."

Aku tak bisa menahan mataku untuk tidak berkaca-kaca. "But, it is too late, Bram."

"Belum," tegasnya lagi. "Lo nggak boleh goyah. Dua setengah tahun lagi lo bisa terbebas dari gue, Na. Lo lupa impian-impian yang lo susun sebelum mengiyakan tawaran nikah kontrak dari gue? Pikirkan itu dan semua akan baik-baik aja."

"Tapi, tetep aja-"

"Lo mungkin nggak bisa berpikir jernih karena kekalutan lo. Biar gue yang berpikir jernih buat lo. Gue akan pikirin apa yang terbaik buat kita," potong Bram lagi. "Besok kita tes lagi."

Tak bisa berkata-kata untuk mendebat Bram lagi, aku akhirnya menerima uluran jus nanas itu dan meminumnya. Seharusnya rasanya manis menyegarkan dengan sedikit hint asam, tetapi sekarang apa pun yang masuk ke mulutku rasanya pahit sekali. Aku hanya bisa menelan setengah dari jus itu dan meletakkannya kembali ke meja.

"It's gonna be okay, Na." Bram tiba-tiba memelukku dan saat itu tangisku pecah.

Namun, semuanya tidak baik-baik saja ketika hasil test pack dari tiga alat yang berbeda menunjukkan hasil yang sama. Aku positif hamil.

Bram berteriak frustasi di kamar dan aku hanya terisak di kamar mandi. Kabar yang bagi kebanyakan orang adalah berita bahagia, tetapi bagi kami adalah derita tiada tara.

Ternyata hasil dari test pack itu barulah permulaan. Meskipun aku tak pernah memiliki hati Bram seutuhnya karena sejak awal perasaan kami ini adalah setting-an, aku tidak pernah mengira ditinggalkan tiba-tiba oleh lelaki itu terasa amat menyakitkan.

Bram tidak benar-benar pergi dari rumah. Namun, sejak pagi itu, dia mulai jarang pulang ke rumah. Entah dia menginap di mana atau kembali ke rumah orang tuanya. Atau mungkin dia menghabiskan malam bersama perempuan lain. Aku tak tahu dan tak mau tahu. Karena semakin aku menyadari perasaan Bram, hatiku rasanya semakin remuk.

"Hari ini pulang kan?" tanyaku suatu pagi, ketika dia akhirnya pulang dalam keadaan payah. Matanya berkantung hitam, hampir seperti orang tidak tidur seminggu.

Bram melirikku sekilas dan mengambil air mineral dingin di kulkas. Dia meneguknya habis. Aku selalu menunggunya tiap malam sampai pukul satu karena biasanya aku terlelap setelah itu. Semalam Bram pulang pukul tiga pagi, aku yang terbangun karena suara gaduh, buru-buru menghampirinya  yang sudah tidak pulang dua hari. Namun, Bram segera mengunci pintu kamarnya begitu aku keluar kamar.

Ya, sejak hasil test pack yang kedua, kami pisah kamar. Sebenarnya, barang-barang Bram masih di kamarku--atau di kamar kami yang dulu. Hanya saja dia selalu tidur di kamar satunya, yang biasanya kami gunakan untuk kamar tamu apabila ada yang menginap. 

Paginya, aku bangun pagi sekali, atau lebih tepatnya aku tidak tidur lagi setelah Bram pulang. Aku takut tidak bisa menemuinya sebelum dia menghilang lagi. Kami memang satu kantor, tapi kami hampir tidak pernah bertemu di kantor karena kesibukan masing-masing. Dengan kondisi ini, tidak mungkin aku mencarinya di kantor atau semua orang tahu kami sedang bertengkar.

Bram sudah bangun ketika aku keluar kamar. Matanya masih kuyu, tapi rambutnya setengah basah. Aroma kayu manis tercium dari tubuhnya. Bram sudah berpakaian rapi, hanya tinggal merapikan rambutnya saja. Tas laptopnya sudah tersedia di atas meja makan, siap dibawa pergi lagi hari ini. Aku menarik kursi dan duduk di hadapannya.

"Pagi," sapanya pelan. Dia tidak menatapku.

"Hari ini pulang, kan?" ulangku.

Bram bergumam tidak jelas. Tapi sepertinya aku samar mendengar suara 'tidak tahu'.

"Oh ya, gue siapin buah ya buat di--"

"Na, lo masih mempertahanin itu?" Telunjuk Bram mengarah ke perutku. Matanya menyipit marah. Wajahnya benar-benar mengerikan sekarang ditambah kantung matanya yang menghitam. "Seriously?"

"Bram, gue--"

"Kita nggak akan mengobrol lucu-lucu begini seolah nggak terjadi apa-apa, Na," potongnya. "Gue nggak bisa ngelihat lo apalagi dengan ide bodoh lo untuk mempertahankan itu."

Itu.

Bram bahkan tidak menyebut anak kami seorang manusia, tapi dengan kata ganti 'itu'.

"G-gue ada ide, Bram. Setelah melahirkan nanti, gue resign dan ke luar negeri. Saudara gue ada yang di Sydney seharusnya gue bisa tinggal di sana sampai anak kita--"

"Jangan bicara omong kosong," potong Bram. "Seorang Helena yang mencintai kariernya, mau resign demi anak yang tak diharapkan? Jangan mengada-ada, Na. Gue tahu lo banget."

Aku menunduk. Sejujurnya membenarkan kata-kata Bram. Aku hanya takut Bram memaksa menggugurkan anak ini, tanpa berpikir panjang aku mengucapkan ide itu. Aku tidak yakin bisa merelakan karierku demi masa depan yang tidak jelas. Bram pasti tidak akan mengakui anak itu. Kalau dia lahir, dia tidak akan punya ayah yang menyayanginya. Aku tidak mau itu. Tapi Bram tidak bisa dipaksa menjadi ayah atas bayi yang tidak pernah dia inginkan.

Ketika aku merenungkan ucapanku sendiri, Bram berdiri setelah merapikan rambutnya. Dia bercermin di dekat pintu apartemen dan memakai sepatunya. Aku yang terkejut karena melihat Bram akan pergi, buru-buru menghampirinya.

"Bram, gue akan pikirin cara terbaik, tapi please jangan minta gue gugurin anak kita--"

"Dari kemarin lo sebut-sebut 'anak kita'," potong Bram lagi. "Gue aja nggak yakin lo hamil anak gue apa bukan. Mengingat perjanjian kita nggak membatasi dengan siapa kita bercinta--"

PLAK!

Aku tahu seharusnya bisa menahan diri kala itu. Seharusnya aku bisa mengontrol emosiku. Atau mungkin hormon ibu hamil ini membuatku mudah naik darah sampai kelepasan memukul suamiku sendiri. Bram mungkin boleh menolak kehadiran anak ini, tapi ucapannya yang meragukan kesetiaanku membuatku marah setengah mati. 

Selingkuh bukanlah hal yang bisa kutoleransi. Keluargaku berantakan karena ulah orang ketiga. Bagaimana bisa aku melakukan hal hina yang pernah dilakukan orang tuaku?

"Jangan melewati batas, Bram," ujarku memperingatkan. Air mataku mulai sulit dibendung.

Bram yang sempat terkejut aku menamparnya, hanya bisa menatapku dan mengembuskan napas panjang. Dia tidak membalasku, dan melenggang pergi tanpa bisa kucegah. Sepeninggal lelaki itu, aku melorot, bersandar ke dinding. Rasanya semua emosi negatif menguasaiku. Aku ingin menangis dengan keras, tapi yang keluar hanya air mata tanpa suara.

Tak pernah terpikir sebelum kehadiran janin di perutku, kalau aku terlalu dalam bergantung pada lelaki dingin itu. Meski terlambat, kini aku tahu aku mulai mencintainya. Sayangnya, tidak begitu bagi Bram. Dia tak pernah mencintaiku, apalagi setelah kehadiran buah cinta kami.

Dia memilih pergi ....

Tapi aku memilih bertahan ... sendirian.

***


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 12 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

UnspokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang