Pada malam hari, sinar bulan purnama malu untuk menampakkan wujud. Sekejap saja kesunyian membangkang dan tidak selesai membangun kehidupan laut yang gelap. Malam dengan satu bulan itu, memang gelap. Namun, sebuah hal mulai menampakkan diri dengan sinar-sinar sisiknya yang indah. Terlihat gelombang air keluar ketika dilewati olehnya. Memang lembut namun gerakannya cepat.
Sisik-sisik itu mulai terlihat dari bawah permukaan laut adalah ekor panjang yang lentur dengan setengah badan manusia pria dewasa. Terurai rambutnya merah cerah dengan bulu mata putih membuat mata peraknya menonjol memandang dingin ke arah depan.
Sesuatu mulai terlihat ketika dia berenang ke arah depan. Rasanya nadi dan jantungnya mengetahui apa yang ada di depan. Matanya mulai bergetar untuk mendekati sosok di depannya.
Dari mulut yang tersenyum menghiasi wajah yang menonjol, mata perak sedikit bersinar yang menunjukkan apa yang dipikirkannya. Tangannya menjangkau dan memeluk erat sosok tersebut.
"Aku menangkapmu."
Sosok itu yang ditangkap, hanya bisa melihat dengan buram pria berambut merah. Tetapi dia sekarang di lautan, bagaimana bisa menemukan keajaiban sebesar itu? Menurutnya, ini adalah akhir hidupnya dengan berkhayal hal indah yang pernah menjadi dongeng tidur masa lalunya.
Rasanya sesak mulai menyerang, air-air laut sejak awal sudah berupaya membanjiri paru-parunya. Sekarang, hidupnya tengah antara hidup dan mati. Sosok pria dengan rambut berwarna merah pekat, pengelihatan mulai buram sewaktu mengingatkan kenangan masa kecilnya. Dia pernah mengenalnya namun tidak memiliki ingatan tentang hal itu.
Sosok yang ditangkap itu adalah wanita dengan rambut pendek sebahu berwarna hitam, mulutnya ingin berbicara namun dia tidak mampu. Dia hanya bisa menyentuh perlahan pipi pria itu kemudian matanya mulai tertutup dan tidak sadarkan diri.
Sementara itu, laut yang gelap menjadi sunyi sesaat.
•••
"Maukah kamu bertemu lagi denganku?"
."Pegang tanganku!"
.
"Namaku?"
.
"Aku pasti menunggumu."
.
"Sera, jangan lupakan aku. S-"Siapa itu, yang memanggil namaku saat aku kecil. Aku hanya melihat bayangan pria kecil berambut merah.
Selanjutnya, penglihatan mata ku berubah. Menjadi tempat gelap yang membuat nafasku sesak.
Pria kecil itu terjebak lemah dengan jaring-jaring melilit tubuhnya.
"Jangan tangkap dia, kumohon, Lepaskan! Biarkan dia bebas!"
Sesuatu yang mendorongku pergi menjauhinya, tangan-tangan itu tidak berhenti melepaskan. Aku tidak ingin terkekang oleh tangan-tangan itu. Biarkan aku bebas. Entahlah, sejak kapan air mata membasahi pipiku.
"Tidak, dia tidak bisa kalian tangkap. Ini adalah kehidupan miliknya, jangan dirampas."
Dia terlihat menjauh dan semakin tak terlihat.
"Tidak! Jangan pergi!"
Tubuhku terasa tidak bisa dikendalikan lagi, penglihatan ku mulai kembali berputar. Aku mulai melihat sosok wanita kecil di depan gedung berwarna putih, dari matanya terlihat kosong tanpa ada sinar kehidupan. Aku ingin memegang tangannya, namun itu mustahil karena aku merasa diriku hanyalah transparan, aku mengetahui bahwa itu adalah 'aku' ketika masih kecil. Aku ingin memeringatinya untuk jangan masuk.
"Tempat itu mengerikan. Jangan masuk! Hei kehidupanmu akan hancur ketika masuk ke dalamnya."
Sekeras apapun aku berteriak, dia tidak mendengarkan suaraku. Aku tahu, itu adalah tempat terburuk yang sulit dipikirkan untuk kehidupan anak kecil. Aku mulai mencoba menghadangnya dari depan. Tetapi, dia melewati ku dengan mudah.
Rasanya sangat frustasi, apalagi melihat senyum pria yang sudah menunggu di depan gedung putih. Dari tag nama di jas putih yang menjadi kebanggaan seorang ilmuwan, aku bisa melihat namanya. 'Vans'.
Aku menundukkan kepala mengingat lagi tentang keburukan yang telah ku alami karenanya, tubuhku semakin ambruk, tidak kuat menopang tubuh ku berdiri. Aku merasa merinding menjalar ke seluruh tubuhku.
Aku ingin melupakan wajahnya, tetapi semakin aku mencoba melupakan semakin aku mengingat wajah dan perilaku orang itu.
Penglihatan ku mulai berganti, ke tempat lain di mana aku dengan berpakaian putih senada dinding ruangan yang aku tempati. Aku bermain catur dengan orang itu. Terlihat wajahnya rumit ketika perubahan pion- pion ku yang terangkat bergerak di atas catur menyerbu rajanya.
"Sekakmat."
Aku yang masih kecil, menang bermain catur dengan pria dewasa. Kupikir saat itu aku bisa tenang karena pemenang akan diberi hadiah. Nyatanya, dia memang sedih sambil mengeluarkan kotak kecil sebagai hadiah. Setelah dibuka, yang ada hanyalah sebuah pil kecil.
"Ayo, sebagai hadiah ini adalah pil kecil untukmu telan sekarang."
Ucapannya itu hanyalah pemaksaan untukku yang wajib dilakukan. Sudah terbiasa, aku menelannya sehingga tubuhku mengalami perubahan. Yang aku tahu kepalaku mengalami sakit berat sehingga aku tidak sadar apa yang selanjutnya terjadi. Yang aku tahu adalah setelahnya sesosok mayat terbaring di depanku di ruangan putih yang telah bercampur warna merah dari darahnya. Aku melihat pakaianku yang telah didominasi warna merah dan darah di pipiku.
Andai saja jika aku kalah, wajahnya tersenyum miring mengerikan dengan deretan giginya. Dia seolah ingin mencekik diriku. Mengambil tanganku untuk diberikan sebuah pisau, kemudian menarik ku paksa ke ruangan lain. Di ruangan itu aku bisa melihat wajah-wajah orang yang pucat, aku bisa mengerti keinginan mereka untuk tetap hidup.
"Selamatkan aku! Selamatkan aku!"
Aku ingin menutup telinga mendengar teriakan-teriakan mereka, dokter itu bernama Dr. Vans. Dia menutup pintu keras lalu mengunciku bersama orang-orang setengah sadar. Aku mengerti keinginan dokter itu. Secara sadar, aku perlu membunuh orang-orang di depan mataku kali ini.
Hanya suara mereka yang terdengar di telingaku, aku menjadi jijik dengan diriku sendiri. Apalagi seandainya melihat bayangan diriku dari mata Dr. Vans. Beberapa saat, aku telah maju dan memperhatikan mata mereka yang seduh.
Aku bergumam pada diriku sendiri ketika membunuh mereka, "pembunuh tidak akan hidup bebas."
Setelah selesai, aku melempar jauh pisau yang menjadi senjataku untuk membunuh mereka. Mataku terlihat kosong tanpa keinginan kehidupan.
"Aku tidak ingin menjadi pembunuh! Aku benci! Benci! Benci diriku sendiri!"
Beberapa saat kemudian aku tidak menyadari bahwa sekarang aku sudah di terjun dari atas kapal. Dengan baju hitam yang telah bercampur merah dari darah dan tangan kanan yang membawa senjata pistol. Kemudian, aku telah tersadar dan selanjutnya menutup mata dengan tersenyum. Aku merasa kebebasan kuat datang dari lautan ini.
.
.
."Lautan ya, aku menyukai jika hidupku berakhir di tempat ini."
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Rose In The Ocean
FantasySejak kecil, Sagara melihat kenyataan pahit kehilangan keluarga dan bangsanya. Tentunya aksi itu dilakukan oleh para manusia kejam.