--sunk cost vallacy--
PYAR
"AYAH GA BUTUH KAMU BAWA BARANG-BARANG GA BERGUNA KAYAK GINI KESEKOLAH! BISA KAMU MENURUTI APA YANG AYAH KATAKAN SATU KALI SAJA?" Danantya membanting kamera Fujifilm type X-A7 silver itu keras-keras. Danantya sudah sangat cukup sabar dengan apa yang dilakukan oleh Baskara selama ini.
Meskipun berulang-ulang kali Danantya menghukum bocah berumur 18 tahun ini. Baskara juga tak akan jera. Kesalahan yang dibuat bukan lah sebuah tindak criminal seperti mencuri, tawuran, atau pelecehan seksual sekalipun. Bas sangat jauh dari kata criminal.
So what is the reason?
That the reason, hidup Baskara sangat penuh dengan tuntutan. That's how Baskara feel so bad here. Rasanya kayak di neraka, jujur Baskara dalam batin, Danantya melempar ransel coklat legam berisikan buku-buku paket dan catatan IPA memuakkan, tempat ia menemukan keberadaan harta karun milik Bastian tiga puluh menit yang lalu.
Pandangan Bastian lurus menatap lantai putih yang ditapak oleh converse hitam miliknya.
"Berangkat sekolah sekarang Baskara, jangan buat ayah kecewa untuk yang kesekian kalinya! Buktikan pada ayah, tukar semua sertifikat tidak berguna yang ayah bakar waktu itu!" Danantya mendudukan dirinya diatas kursi ruang makan.
"Baik ayah" Tangan Bastian mengulur mengambil tas yang Danantya jatuhkan, sebelum mengulur tangan untuk mencium punggung tangan Ayah dan Ibunya, sangat memuakkan. Segera ia mematri langkahnya untuk keluar dari neraka ini, segera menyalakan mesin motornya, sengaja ia tidak menggunakan pengaman kepala.
Bastian payah, karena ia takut jika titik berharga itu akan keluar dibalik hellm fullface miliknya. Ia memilih untuk menanggalkannya, agar ia bisa mengontrol titik itu dengan melihat keramaian. He just try to make it feel so fine, but not at all
---
Kebanyakan remaja umur delapan belas tahun patah hati karena cinta. Memang cinta begitu sial saat sudah tidak ada. Ada gertakan yang Bas rasakan dalam dadanya. Sakit, sama sakitnya seperti saat 2 tahun ketika Danantya membakar semua sertifikat, medali, dan piala pencapaian atas lomba melukis, menggambar, photografer, atau sebuah pencapaian seperti lukisannya mendapatkan karya terbaik yang masuk pada pameran bergengsi, atau saat sajak-sajak milik Bas yang masuk koran nasional, diapresiasi langsung oleh public dan masa, sungguh Bas adalah sesuatu dalam sebuah seni, Bas menyukainya, tidak dengan Danantya, seni adalah sebuah pekerjaan pasif, tidak menentu, dan terlalu berkuat dengan emosi. Itu semua hanyalah pencapaian yang terlewat biasa dimata Dokter Danantya.
Tribune saat masuk jam pelajaran memanglah sangat sepi, setelah parkiran, membeli kopi di cafeteria, tidak ada satupun terbesit niat untuk masuk kelas hari ini. Mengingat pelajaran hari ini justru semakin membuat dirinya tak karuan. Fisika, Kimia, Matematika, dan Biologi dijadikan satu dalam sehari. Bas mengeluarkan kamera yang sama dari tasnya, sama persis seperti yang dibanting oleh Danantya tadi pagi. Bersyukur bukan ini yang dibanting oleh Danantya. Itu adalah kelegaan tersendiri bagi Bas.
Tangannya mengulir foto-foto dalam memori kameranya, terbang bersama luka-luka yang kian mengamit saat Bas semakin mengulir fotonya. Ada kerinduan dimatanya, buru-buru Bas mematikan kameranya. Mengeluarkan sebuah buku bewarna coklat legam dengan sebuah judul petrichor.
duka terdalam adalah delapanbelas
dengan begitu kejamnya angkuh
dengan begitu semunya kamu
atau segala pelik kehidupan dengan masa
atau justru aku yang memburu pelik-ku?
"Om Danantya abis banting kamera lagi?" sebuah suara datar merisik. Terdengar seperti sangat tidak peduli tapi tidak. Bas tahu, justru nada itu adalah nada paling peduli yang Baskara temui.
Seorang gadis dengan rambut sebahu dengan buku paket Biologi ditangannya. Jelas dia sedang melarikan diri dari kelas Hj Munimah sekarang. Dengan catatan menanggalkan pelajaran di kelas dan tetap belajar di luar kelas. "Menurut lo?"
"Hari ini pengumuman siswa-siswi terpilih Olympiade Sains Nasional, menurut lo...." Gadis itu memberi jeda, memaksa Bas untuk menoleh dan menatap mata-nya. Mata yang selalu Bas rindukan setiap Danantya membakar mimpinya.
Karena mata itu yang selalu ada di belakang Bas untuk memberinya sebuah perapian baru, perapian yang ia bangun untuk membalas semua yang telah dibakar habis oleh Danantya. Meskipun pada setiap dukungannya, ia juga menitihkan seselip kata seperti Bas please kasih gue ruang, gue juga pengen kayak lo.
".......nama siapa yang bakal keluar?" lanjut gadis itu
"Kenapa gue harus nebak hal penuh tuntutan kayak gitu?" Bas menatap lurus mata gadis dihadapannya, kali ini sorot mata tegas dan lugas itu luruh. Hanya dihadapan Bas gadis ini bisa menunjukan tatapan ini, dan begitu pula sebaliknya. Keduanya sama meluruhkan. Seperkian detik setelah satu tarikan nafas penuh keberatan, sebelum gadis itu menjawab pintu tribune itu terbuka. Seorang siswi kelas 10 berdiri disana.
"Kak Bastian, dipanggil Bu Renata. Disuruh keruangannya" ucap gadis itu singkat dan lugas. Disambut satu anggukan mantab dari Bas, gadis itu melengos pergi setelah mendapat jawaban dari Bas.
"See? that's why always your name was written, Baskara" ucap gadis dengan surai sebahu bewarna coklat tua, persis seperti kesukaan Bas. Mata keduanya beradu, Bas mencoba mencari kekecewaan disana.
Sayangnya ia selalu tidak menemukannya, selain tatapan bangga pada dirinya yang ada dihadapannya saat ini. Selalu seperti ini, jika Baskara adalah sesuatu dalam seni, maka gadis ini adalah sesuatu dalam Baskara. Gaia Atalanta Basilia
That's why as always feel pain that I gave to you, I'm sorry
---
"Ada apa ibu memanggil saya?" Sebuah pertanyaan basa-basi dilontar begitu saja oleh Bas, tanpa dijawab sekalipun Bas juga akan tau jawabannya.
"Tentu saja kamu sudah melihat berita disaluran tv kemarin siang, Baskara. Sebagai siswa dengan nilai memuaskan, dan selalu berada pada peringkat atas tanpa celah, tanpa catatan criminal. Apa masih kurang begitu jelas bagi kamu, Baskara?" tentu saja Bas tahu tentang berita memuakkan itu. Dan tentunya dengan prediksi sialannya, bahwa nama Baskara Han Jiro akan muncul sebagai perwakilan dari SMA ASTRAGUNA.
Sungguh sangat tepat sasaran. Bu Renata mengeluarkan sebuah amplop bewarna merah dengan logo kompetisi sialan itu tertera jelas pada sampul amplopnya. Aura amplop itu terlihat mahal dan penuh dengan wibawa, dan tuntutan. Kepala Sekolah tersebut menyodorkan amplop tersebut pada Bas. Menatap harapan satu-satunya itu lamat-lamat.
"Ibu menaruh harapan besar padamu Baskara, bawa senama sekolah kita ke Olympiade itu. Buktikan kamu bisa, buktikan bahwa sekolah kita bisa. Tinggalkan seni kamu, fokus kan otak kamu pada OSN. Ibu percaya pada kamu"
Tahu? Selain Danantya, Renata adalah hal paling memuakan kedua yang Baskara temui di dunia. "Apa seni semengganggu itu buat Ibu? Bas ngga pernah keberatan soal seni, seharusnya Ibu tau itu, kalo kayak gini. Apa bedanya Ibu sama Ayah? Sama aja kan?" Baskara meraih amplop merah tersebut sebelum berbalik badan pergi dari hadapan Renata, Ibunya.
"Baskara akan usahakan, dengan penuh berat hati Baskara akan usahakan!" tegas Bas sebelum menutup pintu ruangan Renata. Sesuai dugaan, Tala akan sudah berada disana menuggunya. Sebuah senyuman hangat menguar dari jiwa kuat miliknya. Dan hanya Bas yang bisa menikmatinya
"Kalo lo udah berangkat karantina OSN, gue sama siapa dong, Bas? Ga asik lo, main tinggal-tinggal!" Tala menggapai amplop merah tersebut dari tangan pemiliknya. Bas hanya menatapnya terheran, mana sakit yang Bas lihat tadi? Mengapa selalu Tala yang menikmati sakit yang Bas terima, sakit akan bahagia milik Danantya-Renata. Tangan gadis itu terhenti saat hendak membukanya,
"Buka di markas yuk!" ajak Tala kemudian. Seulas senyuman melengkuk, menampakkan sebuah lesung tulus milik Bas, disertai anggukan kecil darinya. Sekarang, gerbang belakang sekolah adalah tujuan keduannya. Bas memang tidak criminal, tapi Tala. Ia adalah dalangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
STAGNAN
Teen FictionAda 5 bintang utama disini : 1. Baskara Han Jiro, lebih dari sekedar kata indah. Selain indah pada paras juga pada potret, nada, frasa, dan gambar yang ia buat. Bas adalah seni, dan seni ada dalam Bas. 2. Jerome Keelan, cerdas, inteligent, genius, p...