The idealis
"Ada tambahan saran? Kayaknya planning ini belum 100% akan berjalan lancar, terlalu banyak resiko, dan terlalu kecil kemungkinan ditanda tangani pihak sekolah" ucap lelaki pemimpin rapat siang hari tersebut dengan lugas, lancar, tegas, dan penuh wibawa.
Pikirannya sangat jauh kedepan, saat orang-orang hanya mengemukakan ide tanpa memikirkan resiko, lelaki ini justru sebaliknya, kemungkinan terburuk adalah ide nomor satunya. Sehingga ia tau mana yang harus dipijaki dan mana yang harus diloncati.
"Menurut gue sih ya, penggunaan petasan, kembang api buat peresmian acara itu terlalu berisik dan gaada gunanya. Acara kita kan siang tuh, that will be look so weird yes?" timpal seorang gadis dengan rambut ikal sebahu, Zi.
"okeei, kalo masalah peresmian acara, kenapa kita ga pake yang lebih sakral? Mukul gong misal, atau menerbangkan ribuan balon kelangit, atau pake simbolis lainnya" tambah seorang gadis lainnya, Bia.
"Gue setuju, dari awal emang yang beresiko ada dipersemian acaranya sih. Mengingat kita acaranya siang ya, agak ga nyambung sih" ucap Jero membenarkan ucapan kedua gadis yang notabenenya adalah anggotanya. "Ada saran simbolis lainnya? Selai pakai gong atau pelepasan balon"
"Kalo kata gue sih, pake gong udah yang paling bener sih. Sakral, berhubung ini acaranya National Art Seminar jadi bakal cocok-cocok aja sih" seorang lelaki dengan rambut mulet sedikit keriting itu menimpali, Gei.
"Jadi gimana? Yang lainnya setuju?" Jero bertanya memberi kesempatan untuk para anggotanya bertimpal ide barangkali masih ada. Seperkian detik kemudian, setelah lelaki yang menjabat sebagai ketua osis tersebut bertanya, tiga puluh empat orang panitia acara tersebut memberi anggukkan tanda sepakat.
Jero tersenyum tipis, lantas mengangkat kedua tangannya memberi isyarat bahwa rencana mereka sudah matang, dan dibalas oleh tepuk tangan seluruh orang yang ada dalam ruangan tersebut. Rapat siang hari itu telah selesai.
---
Jero menengok arlojinya, pukul 14.13, masih ada waktu untuk bergegas pergi ketempat les. Lelaki itu mematri langkahnya lebih cepat kearah parkiran SMA Binusivi, lelaki itu hanya punya waktu tujuh belas menit untuk sampai ketempat les. Jero segera memakai helm full face miliknya dan memacu ducatinya, membelah ramai jalanan Jakarta. Kacau.
Kalau saja guru lesnya bukan tipe yang suka menghubungi Catra, ayahnya saat dia telat masuk, atau tidak masuk les. Jero berasa ada dalam ancaman terbesar dalam hidupnya. Menjadi sempurna dalam segala bidang. Jero sudah dipatri oleh Catra sejak kecil.
Catatan nama Jerome Keelan hanya akan ada pada daftar siswa dengan peringkat tertinggi satu angkatan, berprestasi, pintar, sopan, berbakat, dan serba bisa. Dan akan selalu menjadi lulusan terbaik selama catatan pendidikannya.
Gila, Jero stress
Sepuluh menit. Sekarang Jero sudah berada didepan bangunan dengan tulisan STOVIA. Lelaki itu segera membuka helmnya dan masuk kedalam. Lesnya dimulai pukul 14.30, kurang tujuh menit lagi Jero akan habis ditangan Catra. Dua satpam membukakan pintu memberi salam ramah pada Jero, lelaki itu menunduk tepat 90 derajat memberi salam kembali pada dua orang satpam tersebut.
Jero berjalan melewati kelas-kelas lainnya, dan berhenti pada satu kelas dengan papan bertuliskan kelas A. Di STOVIA anak-anak akan dikelompokan sesuai kemampuan mereka masing-masing, sesuai dengan abjad, maka kelas dengan standar paling tinggi adalah kelas A. Jero segera mengambil tempat di depan seorang gadis dengan rambut diikat kebelakang, berseragam sama dengannya, di kelas ini hanya ada dia dan gadis ini sebagai murid SMA Binusivi, Danae Amalthea.
KAMU SEDANG MEMBACA
STAGNAN
Teen FictionAda 5 bintang utama disini : 1. Baskara Han Jiro, lebih dari sekedar kata indah. Selain indah pada paras juga pada potret, nada, frasa, dan gambar yang ia buat. Bas adalah seni, dan seni ada dalam Bas. 2. Jerome Keelan, cerdas, inteligent, genius, p...