2 || Kora Kora

1.8K 142 2
                                    

Hujan tiba-tiba berjatuhan keras padahal daritadi tidak ada tanda-tanda cuaca buruk. Sebenernya nggak apa kalau mereka ada di dalam ruangan, lah ini, Ara dan juga bos-nya sedang ada di tengah-tengah tanah kosong yang nggak ada tempat berlindung!

Mereka berlarian menuju ke rumah petak kayu dan sampai dengan keadaan Ara yang basah kuyup dan Chika yang dari tadi sudah melepas jasnya. Terlihat bahwa kemeja hitam sang bos basah juga.

Ara menoleh ketika jas hitam bosnya sudah terlampir di pundaknya.

"Pakai saja, berat tangan saya membawa itu." ucapnya tanpa melihat ke arah gadis kecil itu.

Aduh, gadis itu mengutuk pada diri sendiri, kenapa bos-nya ini begitu perhatian? Bahkan selama seminggu -- ini adalah hari terakhir -- di Bandung, Chika terus saja memberi atensi lebih kepadanya. Selalu membawakan cokelat kesukaannya. Membebaskan dirinya belanja ketika menemani Chika ke mall meski dia tak ikut belanja, ya cukup tahu diri aja dia mah. Terus selalu pengertian. Beruntung banget suami bu Chika ini, pikirnya.

Sepetinya udara di pegunungan sudah selesai dan hujan pun berhenti dengan cepat. Ara mendesah, merasa tak mengerti pada alam dan Chika yang suka berubah-ubah.

Contohnya sekarang Chika sudah jalan duluan, meninggalkan dirinya yang masih membenarkan rok selututnya yang basah.

Begitu sampe sisi mobil, ia menjadi ragu..

Jendela mobil ke bawah. "Kenapa nggak masuk?"

"Takut basah mobilnya, Bu."

Chika tersenyum tipis. "Masuk aja, cepetan kita bakalan ke hotel buat siap-siap pulang."

***

Ara keluar dari kamar mandi dengan badan yang menggigil. Ia memang mandi sesudah Chika. Dengan rambut masih basah, dia menghampiri sang bos yang memanggilnya dan mengajak makan malam. Meski makanan wanita yang lebih tua terlihat sudah sedikit lagi.

Hari ini mereka makan sate yang baunya sangat wangi. Karena terlalu fokus pada makanan, Ara jadi terkejut ketika merasakan ada yang memegang rambut sebahunya disusul dengan bunyi pengering rambut.

"Dibiarkan begini bisa ngebuat rambut kamu jadi jelek dan kepala kamu pusing." ujar Chika. "Makan saja, biar saya bantu."

Ara tidak jadi menolak ketika merasakan remasan pada bahunya. Maka ia pun melanjutkan makan hingga habis. Ketika minum, ia merasakan desiran aneh pada kulit tangannya. Ia menggigit bibir bawahnya ketika merasakan sebuah ujung jari yang melintas pelan di lehernya. Bisa dia rasakan sendiri bahwa bulu-bulu badannya meremang.

"Ibu ...?" panggilnya sambil menahan nafas. "Saya rasa sudah cukup kering, terima kasih." lanjutnya dan langsung bangkit dari duduknya bergegas ke toilet.

Ia menutup pintu dengan keras dan langsung bersandar. Menyentuh kembali lehernya untuk mengingat hal yang dirasa, namun malah membuatnya bergidik. Dengan cepat gadis itu mencuci wajah dan berusaha melupakan kejadian hari ini. Mungkin bu Chika hanya ingin tahu tekstur kulitnya, mungkin bu Chika hanya ingin tahu kelembutan kulit orang kampung, mungkin, mungkin ....

Merasa terlalu lama maka Ara pun keluar dari kamar mandi dan melihat Chika sedang memainkan laptopnya. Mereka memang satu kamar, kamarnya tinggal 1, kata Chika saat itu.

"Bu Chika, ada yang perlu saya bantu lagi? Jika tidak saya akan pergi tidur." tanyanya seperti hari-hari kemarin.

"Tidak, tidur saja." jawabnya sambil menatap Ara yang tidak menatapnya.

"Baik, selamat beristirahat, Bu." pamitnya dan segera naik ke sisi kiri kasur dan memakai selimut. Berusaha memejamkan matanya meski ia merasakan mungkin Chika masih menatapnya, jadi ia sengaja memunggungi.

[chikara] the boss's wifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang