3 || Menghindar

1.2K 125 1
                                    

Zahra Nur Rahma atau biasa dipanggil Ara di kampungnya yang agak jauh dari suara bising ibu kota ini. Seorang mahasiswi jurusan agribisnis semester 5 di kampus negeri yang sekarang sedang menjalankan program magang di perusahaan pangan yang memproduksi banyak sayuran segar untuk dalam maupun luar negeri.

Gadis yang memiliki tinggi 161 itu kini bergerak tidak nyaman. Kantor yang cukup besar di lantai teratas memang sudah menjadi pemandangan biasa ketika sang istri berperilaku mesra kepada Gabriel -- owner dari PT itu -- rahasia umum.

Lihat saja, di sana, Chika baru saja mengecup sang suami ketika Ara baru membuka pintu. Membuat keduanya menatap dirinya yang langsung merasa canggung. "M-maaf, Pak, saya lupa mengetuk pintu," ucapnya terbata.

Gabriel tersenyum, ramah seperti biasa. Lelaki gagah 35 tahun itu memang terkenal akan keramahannya dan toleransi. Membuat para pegawainya betah. "Tidak apa," balasnya dan duduk tegap dengan tangan yang masih melingkar di pinggang Chika. "Masuk dan ada apa, Zahra?"

Ara masuk dengan pandangan yang sebisa mungkin fokus menatap kursi sebagai targetnya. Tidak mau melihat Chika yang sekilas dilihat tadi tersenyum miring. Setelah duduk, dia berkata, "Saya ingin memberikan laporan terkait promosi produk kita yang terbaru, Pak. Saya mewakili Bu Angelica yang kebetulan hari ini sedang cuti."

Gabriel menganggukkan kepalanya sembari menatap laporan. Membacanya sekilas. "Sejauh ini baik dan bagus," puji lelaki bermata cokelat itu. "Namun, saya ingin kamu mempresentasikannya kepada seluruh kepala devisi hari ini. Bisa, Zahra?"

"A-apa, Pak?" kejutnya.

"Iya, berhubung proyek ini sangat besar dan kita mengait banyak investor maka saya ingin promosi ini diketahui secara umum dan semua harus berjalan sesuai dengan modul yang telah dibuat."

Ara meneguk liurnya gugup. "Emm, tidak bagian marketing atau yang sudah bekerja tetap?"

Gabriel tersenyum simpul. "Saya bisa melihat potensi kamu," tuturnya karismatik. "Sudah, sekarang kamu pergi ke bagian pemasaran di lantai 5 dan minta bantuan kepada mereka untuk membuat kebutuhan presentasi."

***

BUNDA TOLONG ARAAA

Sekarang Ara sedang menangis di pelukan Nurul yang akhirnya memutuskan tidak ikut tim membuat power point, memilih menenangkan si anak magang yang memang terkenal manja dan charming.

"Udah lo sikat aja, Ra. Siapa tahu bos nanti jadi tertarik buat jadiin lo selirnya, kan? --- Aduh anjing!" Reno mengaduh ketika cubitan perempuan di sampingnya tertancap sempurna pada pinggangnya.

"Yang bener aja, Reno, yakali selir, pak Gabriel itu bucin akut sama istrinya." katanya. "Nih ya, kalau semisal pak Gabri nyari istri lagi, gue bakalan daftar duluan!" heboh Lana.

"Parah banget lo pada," Nazar ikut angkat suara. Lelaki itu memperbaiki letak kaca matanya. "Kalau cowok boleh ikut daftar gak?" bisiknya kemudian.

"Yeeh, dasar uke!"

"Najis anjing, Zar. Kalau cewek-cewek masih oke lah. Lah elu? Anjing, gak bisa gue ngebayanginnya."

"Sok-sok-an lo, Lan. Padahal lo fujo ya anjing!"

Sontak semua yang ada di sekitar ruangan itu tertawa, tak terkecuali Ara. Ia kemudian melepaskan pelukannya.

"Udah nggak usah takut, Ra. Malu sama umur noh." ujar Nazar. "Nanti kita makan eskrim ke scbd dah, gua traktir!"

"Yee modus lo uke."

Ara sekali lagi tertawa. Ia menatap satu per satu teman-temannya dan seketika merasa sangat bersyukur mendapatkan keluarga baik di Jakarta yang sering ia dengar kejam. Meskipun banyak yang usianya lebih banyak daripada dia, namun dia merasa senang diperlakukan layaknya adik bungsu.

"Bener ya abang Nazar? Ara mau yang rasa Vanilla, dua." pintanya sambil menghapus air matanya.

"Aduh, kalau gua suka cewek, dah digebet dah sama gua ni anak." gemasnya. "Gampang, sekarang mending lo latihan dulu yuk presentasi di depan kita-kita yang nggak sibuk."

Ara mengangguk dan memulai berbicara. Sekali, gagal karena dia kepalang gugup. Kedua, masih gagal karena otaknya tiba-tiba terasa kosong. Ketiga, gagal karena suaranya bergetar.

"Anjir, lo kalau presentasi di kelas gimana dah?" Nazar angkat suara, heran dia kok ni anak beneran segugup itu.

"Ya biasa, Bang. Cuman kan kalau di kelas Ara presentasinya kalau salah buat belajar lagi."

"Sama aje di sini juga, Ra. Anggap aja belajar," lontar Reno yang masih menatap kompurernya. "Mau di kuliah, mau di tempat kerja, itu sama-sama ajang buat terus belajar. Kalau iya pake teori elo, masa kita harus kerja dengan sempurna terus? Nggak, dong, soalnya manusia itu tempatnya melakukan kesalahan."

Ara terperangah.

"Bener kata Reno, Ra. Lo harus lebih percaya sama diri lo sendiri, lagipula itu elo sama tim kan yang nyusun? Lo tau isinya apa?"

Ara mengangguk.

"Nah, kunci pertama sukses presentasi itu lo tau apa yang lo bicarain. Lo juga nanti bisa pake teknik story telling, kok. Yang penting jangan lupa buat percaya diri."

Dengan dukungan itu, Ara akhirnya kembali berlatih dan para senior ikut membantunya. Meski kadang menertawakan Ara yang mengeluarkan pemikiran random.

Tiga puluh menit berlalu, Ara berjalan ke kamar mandi dengan perasaan jauh lebih baik.

Ketika gadis itu sedang merapikan penampilannya pintu terbuka, menampilkan rupa Chika di cermin. Suara hak yang terasa menggema di telinga Ara membuat jantungnya semakin cepat.

"Hai, baby," sapa Chika yang berdiri di sampingnya. "Kamu memang spesialis pengambil hati, ya. Selain hati saya, ternyata suami saya juga."

Ara masih terdiam, dia tidak tahu harus menjawab apa.

"Makan, ini akan ngebuat kamu lebih rileks dan percaya diri dalam berbicara." Chika mengulurkan tangannya yang memperlihatkan permen rasa daun yang kotak-kotak tipis. Wanita berjas merah itu mendekatkan jarak mereka hingga Ara terkesiap ketika mencium wangi yang terasa lembut di hidungnya. "Setelahnya, kamu boleh meminta hadiah apa saja dari saya." bisiknya membuat sang gadis menegang.

***

Gemuruh tepuk tangan bergema di ruang rapat bernuansa putih itu. Saling menyemangati dan bertukar tugas yang akan dikerjakan ke depannya. Ternyata bukan Ara saja yang presentasi, ada juga dari divisi lain yang memang inti untuk menjelaskan mekanisme, membuat Ara bahagia karena tidak sendiri.

Namun, senyuman Ara tidak berlangsung lama ketika merasakan seperti ada yang mengawasinya. Dia merasa tidak nyaman.

Pandangan mereka bertemu dan itu membuat Ara membeku.

Terlebih ketika Chika dengan sangaja menggigit ujung jarinya dengan pandangan intens. Membuat Ara mengikuti jemari lentik yang turun pada kemeja teratas wanita itu yang sudah terlepas.

blush

Ara membuang pandangannya dan kembali mengobrol dengan rekan kerjanya. Sesekali menggeleng ketika pikiran untuk meluruskan kepada Chika kembali. Gadis itu selalu menahan diri dan sebisa mungkin menghindari wanita itu.

Iya, 5 bulan merupakan waktu yang sebentar. Dia pasti bisa melewatinya tanpa interaksi dengan istri dari bosnya. Yang mematikan.

[chikara] the boss's wifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang