Jadwal perkuliah kian lama kian padat, tugas-tugas pun sudah banyak menumpuk. Bahkan rasanya sudah mulai aku jarang pulang ke rumah karena tugas-tugas itu. Di awal semester dua ini, semua anak sangat antusias karena di mata kuliah Screenwriting dosennya menjajikan untuk melakukan produksi film pendek sebagai bentuk pengantar produksi di semester depan. Beberapa kelompok telah terbentuk seperti, kelompok milik Saga yang isinya anak-anak circlenya, kelompok milik Carrisa yang isinya juga anak-anak circlenya, kelompok milik Merkuri yang isinya juga anak-anak circlenya, dan kelompok milik Pram yang juga isinya ada Aku, Vales, Najma, Lia, Haidar, Edgar, Dewa, Amanda, Dan Rayhan. Satu kelompok berisikan 10-11 anak, untuk satu kali produksian itu sudah lebih dari cukup sih.
Oiya, lupa berkenalan. Namaku Keira Anjani. Panggil saja Keira dan orang yang akan sering ku sebutkan dalam kisah ini tak lain dan tak bukan tentu saja Pram. Pramudya. Singkat saja namanya, tapi kalau menjelaskan tentangnya tidak bisa singkat. Pram adalah teman pertamaku di perkuliahan ini, dia sendiri bukan orang Jogja. Sedangkan aku orang Jogja asli. Pram lahir di Semarang, tapi besar di pulau Sumatra. Tidak usah ku jelaskan Sumatra mana, kalian akan bisa menebak jika sudah mendengarnya berbicara. Logatnya tidak bisa hilang. Orang pun rasanya tak menyangka jika ia sebenarnya berdarah Jawa murni. Ia harus kembali lagi menapakan kaki nya di tanah Jawa karena kedua orang tuanya yang bercerai. Kembalilah ia ke Semarang di tahun keduanya saat duduk di bangku SMA. Kemudian dia memustuskan untuk kuliah di Jogja, di Semarang seperti hidup di neraka katanya. Panas bukan kepalang.
Pram banyak membantuku dalam bersosialisasi selama perkuliahan ini. Aku jadi merubah diriku yang awalnya sedikit pendiam menjadi sangat tidak pendiam. Aku jadi sering mengikutinya nongkrong bareng anak-anak kelas yang lain seperti Saga, Aldy, Malik, Merkuri, Daffa, dan yang lainnya untuk berkumpul di warmindo setiap pulang kampus.
Masa-masa itu sangat menyenangkan karena aku banyak mengenal orang dari berbagai macam budaya. Aku juga menjadi lebih extrovert karena bagiku juga mereka-mereka sangat asyik untuk diajak bergurau. Kadang hal itu juga membuat kami lupa waktu, nongkrong di warmindo sampai malam. Tapi Pram sudah memegang kepercayaan kedua orang tuaku, jadi rasanya aman saja selama aku pulang pergi bersama dia. Seperti hari ini, sepulang kelas mata kuliah pengantar periklanan kami segerombolan anak komunikasi 1 mengeroyok warmindo langganan kami. Warmindo Bunga namanya.
"A' kayak biasanya ya." Pram dengan percaya diri mengatakan pesanannya kepada aa' warmindo yang akrab kami sapa sebagai a' jo.
"Milo dua?" Tegas A' Jo. Pram menangguk dan duduk di sebelahku.
"Gimana Ra tugas periklanan tadi? Mau dikerjain kapan?" Merkuri tiba-tiba saja menimbrung di meja kami. "Emm.. besok kali yaa Ri, soalnya kan kita presentasi minggu depan kan? Bagi tugas aja nanti." Jawabku sambil mengingat-ingat jadwal yang sudah terlanjur padat dengan persiapan produksi.
"Yaudah. Ntar info di grup aja ya Ra." Merkuri yang hendak beranjak dari mejaku tertahan karena Saga yang tiba-tiba saja menghampiri meja kami. Aku buru-buru membenahi posisi dudukku. Entah mengapa, rasa gugup langsung begitu saja menghampiriku ketika Saga duduk di depanku.
"Ngomongin apa?" Saga membawa segelas es tehnya. "Tugas." Jawabku singkat.
"Ah tugas. Tugas periklanan?" Aku mengangguk samar. Entahlah, ketika aku ada di sekitarnya aku menjadi selalu gugup dan menundukkan kepalaku atau sebisa mungkin mengalihkan pandanganku darinya.
"Ra? Kenapa sih? Aduh iya-iya Ra, tau muka gua jelek. Jerawatan gini, besok gua beli skincare. Setiap gua ngomong perasaan lu ga pernah mau natap gua kenapa sih?" Saga menegurku. Aku masih berusaha mengalihkan pandanganku suasana sekitar, "apa sih Ga!" Jawabku sekenanya. Pram menyenggol lenganku, "Yaudah sih. Ntar kalau gua natap lu ntar lu suka sama gua kan berbabe!" Timpalku asal. Saga tertawa terbahak, "ya ga mungkinlah Ra!" Dia kemudian menyambar es tehnya dan beranjak meninggalkan meja kami.
Ya memang hal itu tidak akan mungkin kejadian juga sih. Bodohnya aku berkata seperti itu.
Aku menggerutu sepanjang hari setelah melontarkan kalimat konyol itu kepada Saga. Bodoh sekali, kataku.
Esok harinya, Vales mengajak kami untuk berdiskusi tentang tugas periklanan. Dan aku menyarankan untuk memakai rumah Edgar untuk berdiskusi, yah hitung-hitung mengisi kekosongan rumah Edgar yang tinggal sendirian. Di kelas, selain dekat dengan Pram aku juga dekat dengan teman-teman lain seperti Vales, Najma, Lia, Haidar dan Edgar. Dan aku merasa Edgar lah satu-satunya anak yang terlihat sangat kesepian. Yah, bagaimana tidak. Hampir sepanjang kehidupannya di perkuliahan ini ia habiskan dengan mabuk-mabukan. Masih mending jika mabuknya bersama dengan teman, dia mabuk sendirian. Orang tuanya tinggal terpisah darinya dan dia seperti benar benar hidup di perasingan. Maka aku menyarankan untuk berdiskusi di rumahnya saja, supaya ia juga bisa mengurangi habbit yang bisa membuatnya mati muda itu.
"Jam 2 di rumah Edgar yaa guys!" Seru Vales mengingatkan kami sepulang kelas. Kelompok periklanan kali ini sangat random, berisi 14 orang yang selain teman-teman dekatku juga ada Merkuri, Dimas, Ossa, Dean, Novaldo, Rio dan Ilham. Meskipun nantinya rumah Edgar bakalan penuh, tapi setidaknya kekosongan di rumah itu berkurang.
"Keira mau bareng siapa ke rumah Edgar? Kita mau langsung aja sih." Merkuri menyejajari langkahku. "Oh mau langsung? Aku sih kayaknya ganti baju dulu, kalian udah pada tau rumah Edgar belum?" Tanyaku.
"Ya kalau belum ntar bareng aku ajalah. Ayo Ri!" Ajak Haidar. "Parkir mana?"
"Oh, yaudah sama Haidar aja deh kalau gitu. Lu sama Pram Ra?" Merkuri menanyaiku lagi. Aku mengangguk. "Iya sama gua Ri, kenapa?" Pram menyusul dari belakang, nadanya seperti mengintimidasi. Entahlah, kenapa Pram mendadak bersikap dingin dengan Merkuri.
"Gapapa Pram. Yaudah, duluan. Sampai ketemh di rumah Edgar. Hehe." Merkuri mengikuti Haidar yang sudah menunggunya di tangga parkiran atas.
"Dean! Kalau kamu bareng siapa?" Vales menanyai Dean yang sedari tadi diam menyimak obrolan. "Sama Merkuri." Jawabnya singkat dan asal melengos begitu saja melewati Vales yang sangat antusias menanyainya. "Sialan! Cuek banget Dean." Gerutu Vales. Aku dan Pram hanya saling tatap, sudah bisa ditebak jika Dean memang irit kata sepertinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEGI
RomansTidak pernah ada yang salah dari sebuah pertemuan. Setiap orang berhak untuk bahagia dalam kisahnya, tapi jika itu tidak sedang berpihak kepadamu. Sudah bisa ku pastikan itu adalah kesalahanku.