Interaksi

24 0 0
                                    

Sepulang dari rumah Edgar, kami memutuskan untuk berpindah tempat. Untuk melepas penat dan rasa lapar, kami pun memilih untuk makan sambil nongkrong di Warmindo Bunga. Seperti biasa pesanan yang tidak pernah bosan ku pesan, "a' magelangan pedes banget, kecap sedikit, pakai tambahan telur dadar. Nah kalau minumnyaa.." belum sampai aku menyelesaikan kalimatku a'Jo dengan sigap menjawab, "minumnya milo ga pake gula kan?" Senyumnya ramah.

"Nahh! Bener banget a' , tau aja sihh. Yaudah duduk yaa a' " kataku berlalu.

Suasana warmindo malam itu cukup sepi, hanya kami yang duduk di meja panjang dengan dua kursi panjang yang saling berhadapan. Ada aku, Merkuri, Dimas, Ossa, Lia, Haidar, Vales, dan yah tentu saja Pram. Asap rokok sudah mengepul tanpa diminta, lalu lalang kendaraan bermotor lebih memenuhi jalanan yang sempit itu. Warmindo Bunga ini memang terletak di dalam gang desa yang sebenarnya bukan jalan utama, tapi jalanannya cukup ramai juga.

"Wah tadi seru juga sih di rumah Edgar." Merkuri mengawali obrolan dengan arah pembicaraan ke arah tragedi itu lagi. Rasanya seperti belum cukup puas saja dia menyulut emosi di tengah kelompokku.

"Ga usah di bahas lagi Mer." Haidar menengahi. Pram juga sudah terlihat sinis dengan Merkuri. Aku menghela nafas dan mencoba mengalihkan pembicaraan, "gimana tugasnya? udah selesai semua emang kalian?"

Merkuri terdiam dan terlihat kecewa obrolannya tidak dikembangkan. "Nanti gua kirim ya Ra, punya gua udah aman." Sahut Lia.

"Oke, yang lain gimana?"

"Aman aja sih Ra, nanti tinggal tambahin dikit aja udah kelar punyaku." Jawab Vales seadanya dengan raut wajah yang masih kesal dan merasa bersalah. Aku yakin dia masih overthinking dengan kejadian tadi. Untung saja tak lama setelah itu pesanan kami tiba, aroma masakan yang sudah mengepul membuat mood kami semua seakan membaik. Ya kecuali Merkuri yang masih terlihat masam karena sepertinya memang menciptkana keributan tujuannya.

Usai memenuhi isi perut dan sudah selesai berbincang, kami pun bubar. Aku pulang bersama Pram. Dan seperti tadi, Pram masih saja mendesakku untuk berinteraksi dengan Dean. "Chat lah Ra."

Aku menghela nafas, seperti tidak ada lelahnya dia menyuruhku untuk berinteraksi dengan Dean. "Tujuan mu tu lho Pram. Apa?"

"Ya biar kamu deket sama dia?"

"Mau nyomblangin aku tah?" Tukasku.

"Dih. Kata siapa? Dean juga engga mau tu sama kamu kayaknya."

"Lah terus?" Jujur aku tidak tahu apa maunya Pram dengan interkasiku dan Dean. Dia tidak henti-hentinya menyuruhku untuk berinteraksi dengan Dean.

"Biar kamu tu lupa sama itu Ra." Jawab Pram lirih. Aku memukul pundaknya, "ngawur kamu!"

Ah aku baru menangkap maksudnya. Pram menyuruhku untuk berinteraksi dengan Dean agar aku bisa melupakan seseorang yang kala itu aku ceritakan kepadanya. Pram jelas menolak keras aku menaruh hati pada orang itu. Dia langsung menyuruhku untuk melupakannya, katanya orang seperti dia bahkan tidak bisa memiliki pacar. Tapi ku rasa itu tidaklah benar, bagaimana aku bisa mengetahui dia benar-benar bejat atau tidak jika aku tidak pernah mencoba mengenalnya? Pram tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya menyukai seseorang begitu saja. Pram hanya bisa menilai orang dari luarnya saja, dia tidak pernah mencoba menilai orang dari tatapannya.

"Ra." Tegur Pram.

"Hah?" Aku tersadar dari lamunanku. Aku sibuk dengan bayangan orang itu, aku sudah menyukainya sejak lama. Sejak awal masuk perkuliahan malah, saat semua kelas masih daring. Ah, kapan-kapan saja kalau ada waktu ku ceritakan tentang kisah itu. Kisah yang aku bahkan tidak yakin juga dia akan menoleh ke arahku atau tidak pada akhirnya.

ELEGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang