Tragedi

12 0 0
                                    

Sesampainya di rumah Edgar, kami langsung saja membahas tentang tema makalah apa yang akan kami ambil sebagai judul. Usai berdiskusi dan membagi tugas, kami mengerjakannya di tempat masing-masing. Dan ya, sesuai dengan dugaan. Rumah ini menjadi sangat ramai dan penuh dengan manusia di setiap sudut rumahnya.

Suasana rumah yang terletak di perumahan yang letaknya hampir mendekati kaki gunung itu tadinya dingin, tapi kini menjadi hangat ketika obrolan memenuhi ruangan. Usai menyelesaikan tugas masing-masing, kami bersantai sambil menikmati waktu senja yang senggang. Sampai akhirnya ada sebuah kejadian tidak akan pernah telupakan dan akan selalu menjadi perbincangan hingga hari kelulusan.

"Nov, di kelompok film pendek kok kamu join kelompokku sih? Kenapa? Di buang dari kelompok Pram?" Merkuri tiba-tiba saja menyeletuk.

Nova memang teman keduaku setelah Pram, aku dan Nova juga tadinya cukup dekat. Begitu pula dengan Nova dan Pram, tapi entahlah. Di semester ini tampaknya Nova ingin mencari suasana baru, jadi aku dan Pram membiarkannya. Lagian memilih kelompok kan hak masing-masing orang.

Suasana lengang dan semua tatapan langsung terarah begitu saja ke arah Nova, "gapapa pengen suasana baru aja." Pangkasnya. Kemudian ia sibuk kembali berkutat dengan laptopnya.

"Oh pengen suasana baru, kirain baperan gitu terus pindah ke kelompokku." Jawab Merkuri tanpa menyadari kalimat apa yang baru saja ia katakan.

"Baperan gimana Mer?" Sahut Lia yang duduk di tangga dan terlihat ikut memancing percakapan lebih dalam.

Merkuri tersenyum, merasa puas omongannya ada yang menanggapi. "Ya siapa tau kan baru ada masalah sama Pram atau Keira. Kan dulu-dulu mereka sering bareng tuh, eh sekarang Pram lebih nempel ke Keira." Di setiap nada bicaranya terdengar sinis, aku tidak tahu kemana arah pembicaraannya. Yang jelas ini sepertinya akan menimbulkan sebuah perdebatan.

"Ga ada kok Mer, aman aja. Kan Nova sudah jelasin pengen ganti suasana, kau ga mau kah dia ada di kelompok kau?" Suara Pram yang khas logat Sumatra itu keluar, sudah bisa dipastikan Pram sedang naik pitam.

"Pram.." aku menarik ujung bajunya karena ia tiba-tiba saja berdiri.

"Bentar Ra. Rasanya Merkuri ini seperti menekan emosi orang saja."

"Ku bilang kau duduk ya duduk Pram. Biarlah." Kataku terus menarik ujung bajunya —kali ini lebih kencang agar ia terduduk.

Pram menghela nafas, mengalah. Ia terduduk sambil masih memicingkan ke arah Merkuri yang tersenyum puas karena sudah berhasil memancing emosi satu orang. Namun obrolan panas itu belum berhenti sampai di situ, "ya biasalah scorpio kan? Bosenan." Lia tiba-tiba menimpali.

"Wah apa ni bawa-bawa zodiak segala." Vales kemudian ikutan masuk ke dalam obrolan —dan itu merupakan sebuah kesalahan kedua setelah pancingan Merkuri.

"Ya kan emang gitu kan Nova, scorpio. Enggak baperan sih, tapi gampang bosen. Jadi bosen kali sama temen-temennya." Ucap Lia santai sambil masij terus bermain ipad yang sedang ia pegang. "Iya sih bener, mana keras kepala lagi. Batu banget kalau dikasih tau." Timpal Haidar. Tapi haidar sepertinya menyadari kalimatnya sedikit menyinggung, "tapi ini lagi ngomongin scorpio kan ya? Nova kan ga gitu.." baru saja Haidar ingin mencairkan suasana. Vales sudah menimpalinya dengan kalimat yang lebih memojokan Nova.

"Lah kalau itu sih gausah ditanya ya! Kalau Nova mah emang iya bener, keras kepala. Omongannya gabisa di bantah, anjirlah! Ngomong sama dia tu kek ngomong sama batu!" Timpal Vales dengan lugas dan tidak menyadari suasana yang sedari tadi menjadi tegang dan terkesan memojokan Nova.

Nova terdiam, kemudian angkat bicara.

"Kalian ni kalau bercanda atau kalau lagi ngobrol kayak gabisa di filter ya? Ga ngerti kalau kayak gitu tu bikin orang tertekan."

Semua mata kini terarah kepada Nova, ia mulai meneteskan air mata. Perasaanku menjadi tidak enak tiba-tiba. Dan benar saja, bodohnya anak-anak yang lain seperti masih belum bisa membaca situasi.

"Nah kan bener. Nov, bercanda aja kalik." Merkuri sok-sokan menengahi.

"Aslinya mah emang gitu scropio emang mudah tersinggung, eh itu baperan ya? Oh berarti bener baperan juga." Timpal Lia yang masih juga belum sadar bahwa Nova sudah siap meledak.

"Nova ga gitu." Ucapku lirih.

"Nah iya. Bercanda aja kita, kan tadi Merkuri nanya kenapa kamu kelompok film udah ga sekelompok sama kita kan? Masa gitu aja baper sih Nov." Jawab Vales.

"JANCOK!" tiba-tiba saja kalimat umpatan khas daerah Jawa Timur itu keluar dari mulut Nova dengan lantang dan keras.

Seisi ruangan itu menjadi hening seketika dan terdiam. "Kalian tu bisa ga sih kalau bercanda di filter, aku dah capek ya nahan-nahan emosi kalian pojokin terus kayak gitu." Perempuan bertubuh mungil dengan paras chindo dan pipi tembam itu akhirnya meledak juga emosinya. Pipinya sudah dibanjiri air mata yang tertahan sedari tadi. Merkuri menjauh dari kerumunan, Vales orang terakhir bicara dengan Nova menjadi sangat merasa bersalah. Ia menghampiri Nova dan memeluknya.

"Sorry Nov, ga maksud mojokin kamu. Maaf ya kalau aku bercandanya suka kelewatan." Ucap Vales lirih. Suasana rumah Edgar tidak lagi hangat, namun sudah terselimuti dengan atmosfer kecanggungan yang membuat anak-anak lain sibuk dengan kesibukannya sendiri sendiri. Aku pun ikut menjauh dari kerumunan, memperhatikan sekitar.

"Udah coba ngobrol sama Dean?" Pram mendekatiku, tiba-tiba saja dia mempertanyakan hal itu. Aku mengernyitkan dahi, "ngapain Pram? Aku dari tadi juga ga merhatiin dia sih." Aneh saja tiba-tiba Pram seperti mencoba untuk membuatku melihat Dean. Padahal di mataku ya Dean hanya seperti teman-teman yang lain. Apa spesialnya? Hanya karena dia satu-satunya anak terakhir yang datang ke perkuliahan offline lalu dia terlihat spesial? Aku melihat anak-anak yang lain juga seperti sangat memperhatikannya. Seperti, Vales, Lia, Haidar, bahkan Merkuri juga sangat terkesan ingin membantu Dean.

"Yakin Ra gamau coba ngobrol sama dia?" Pram sekali lagi menanyaiku.

"Buat apa sih Pram? Sokap? Ya aku tau sih aku ketua kelompok, kayaknya juga kalau misal aku sokap juga paling sebatas ngomongin kelompok doang kan? Ga lebih juga." Jawabku kesal.

"Ya seenggaknya kan ngobrol dulu gitu." Pram masih tampak bersikeras menyuruhku untuk mengajak bicara Dean yang sedari tadi sebenarnya juga sibuk dengan laptopnya. Bahkan dia seperti tidak peduli dengan tragedi yang baru saja terjadi di depan matanya. Padahal posisi duduk Nova tepat berada di depannya, tapi ketika kejadian tadi aku melihat dia tidak bereaksi seperti kaget atau merasa canggung. Ya sudah, ekspresinya benar-benar memperlihatkan tidak terjadi apapun di depannya.

"Pram. Buat apa to? Biar apa kalau aku ngobrol sama dia?" Tanyaku sekali lagi, kesal.

"Nanya aja, ada yang perlu di bantu engga gitu. Basa-basi Ra." Pram meyakinkanku untuk mengobrol dengan Dean. Aku menggeleng, "engga Pram. Nanti aja kalau dah balik dari sini deh sokapnya."

"Lah? Kok kalau balik dari sini? Ngapain?"

"Ya tc kontak aja kan buat nanyain progress." Jawabku santai. Aku tahu, mungkin maksud Pram supaya aku bisa mengobrol dan kenal dengan semua anak kelas tanpa perantaranya lagi. Tapi entah mengapa aku kehilangan rasa bersosialisasiku saat melihat Dean, dia terlihat seperti anak laki-laki yang cuek, dingin, dan ku rasa di aneh. Ya, dia aneh.

ELEGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang