Same Things Same Vibes

29 0 0
                                    

Tidak ku sangka ternyata Dean juga memiliki kesamaan denganku. Ah iya, aku pernah mendengar saat kelas jurnalistik dia menyebutkan suka menulis dan cita-citanya menjadi penulis. Ah. Aku juga baru ingat, dia orang yang saat itu ku cibir dengan sinis karena yah bagaimana bisa seseorang ingin menjadi penulis tapi tidak punya kiblat gaya penulisan? Aku meyakini juga dia pasti tidak suka membaca. Aneh.

Aku ga suka baca sih. Sebenernya beli buku cuman buat lihat gaya penulisannya aja.

Sudah tertebak. Dan tebakan ku benar.

Aneh. Cita-cita jadi penulis tapi ga punya penulis favorite.

Bubble chat percakapan kami sekarang menjadi hidup, banyak hal tentang tulis-menulis menjadi topik utama. Dan pada akhirnya pun kami bertukar akun menulis di sebuah platform. Sebelumnya aku juga tidak pernah untuk memberitahu akun menulisku ke orang-orang. Ini kali pertama seseorang membaca karyaku. Sebenarnya malu, karena aku merasa tulisanku masih jauh dari kata bagus. Masih berantakan susunan kalimatnya, masih sering terlalu hiperbola dalam mendeskripsikan sesuatu dan juga masih banyak sekali kekurangan yang menurutku membuat tulisanku belum layak untuk di baca orang. Tapi Dean bilang, kalau tulisanku belum layak apalagi tulisannya. Katanya begitu.

Semenjak bertukar pandangan dan saling mengomentari karya masing-masing. Aku dan Dean menjadi semakin dekat. Tidak hanya soal lagu lawas sekarang, tapi sekarang lebih sering membicarakan hal yang benar-benar menjadi kesukaanku. Menulis.

"Jadi sejak kapan Ra suka nulis?" Tanyanya ketika kami berkesempatan berada di satu tempat. Sore ini, kelompokku dan kelompok Merkuri kembali ke angkringan tepi sawah itu. Tugas produksi film pendek syutingnya sebentar lagi, dan sekarang kami sama-sama sedang masuk ke tahap penulisan naskah.

"Ya dari kecil sih." Jawabku singkat. Aku sedang tidak ingin banyak berinteraksi dengan Dean. Lihatlah Pram di ujung sana, sibuk mesam-mesem ga jelas. Aku tahu itu pasti batinnya gembira aku banyak bicara dengan Dean sore ini. Lihat saja nanti pasti waktu pulang ia akan banyak membicarakannya, sok sokan memberikan aku tips. Dia sendiri saja gagal mendekati Hanum, Haidar lebih dulu tuh nyolong start.

"Kok bisa sih suka nulis?"

Aku menggeleng, "gatau." Sejujurnya aku juga tidak tahu sejak kapan aku suka menulis dan kenapa aku menyukai dunia sastra.

Dean sepertinya juga enggan memanjangkan obrolan dengan responku yang singkat-singkat ini. Tapi aku jadi merasa bersalah melihat dirinya yang tadinya antusias menjadi tidak semangat. "Kamu sendiri?" Tanyaku. Benar saja, raut wajahnya langsung sumringah begitu ku tanyai. "Aku? Dari SMA mungkin, gatau juga kapan. Tapi suka aja nulis cerpen."

Aku mengangguk, "kalau yang buat tugas ini? Scriptwritternya kamu?"

Dean menunduk, "bukan. Di kelompok kami pakai sistem voting gitu. Nah kepilih aja tu cerita random, sedih sih cerita aku ga dipake."

"Lah. Sama aja sih, di tempatku juga bukan aku." Bisikku.

"Ah iya?"

Aku mengangguk menjawabnya. "Di kelompokku, Amanda yang jadi scriptwritternya. Aku sih tim hore aja." Jawabku.

"Ohh kasihan. Tapi aku di kelompokku nyumbang garis besar cerita sih." Aku tersenyum masam. "Yah itu sih sama saja kamu yang nyumbang garis besar cerita." Dia hanya nyengir sambil mengusap belakang tengkuknya.

Nah sekarang apa lagi yang ingin dibicarakan? Sepertinya pun tidak ada. Aku pun beranjak pergi dan menghampiri kelompokku yang sibuk berdiskusi tentang naskah final yang dari kemarin banyak direvisi. Setelah diskusi panjang dan menetapkan properti apa saja yang akan digunakan serta menentukan tempat lokasi syuting, akhirnya kelompokku selesai juga dengan proses pra produksi. Sebenarnya proses pra produksi itu jauh menguras banyak tenaga, terutama mental. Karena di proses ini banyak sekali detail yang sebenarnya tidak bisa disepelekan. Pram si perfeksionis juga tidak ingin project pertamanya gagal, jadi rasanya proses pra produksi ini terasa berat.

"Gimana Ra? Aman kan Dean?" Pram menghampiriku dengan sumringah.

"Aman apa nya sih Pram?" aku menyedot gelas kedua es tehku. Siang ini panas sekali, terik matahari seperti tidak ingin bersembunyi di balik awan-awan itu barang sejenak. Beruntungnya saja angin masih berbaik hati memberikan sejuknya di tengah terik ini.

"Halah. Kau ini Ra, jujur sajalah. Ngobrol dengan Dean seru kan?" Pram mencomot satu gorengan yang tersisa di piring. Aku hanya mengangkat bahu sebagai jawaban, tidak terlalu. Kelompok Merkuri beristirahat sejenak dari kegiatan mereka menulis script, ku lihat mereka duduk di meja yang berada persis di tepi sawah ketika matahari mulai melambat turun ke bawah.

"Gabung ga sih?" Haidar menegur aku dan Pram yang sedang berdiam diri menikmati sejuk angin yang baru saja menyapu wajah.

"Kemana Dar?" Tanya Pram. Haidar menunjuk anak-anak kelompok Merkuri yang sedang beraenda gurau. Aku melihat ke arah anak-anak kelompokku, mereka sedang sibuk bermain ponselnya masing-masing. "Oke nanti ku susul Dar, aman." Kata Pram menyuruh Haidar untuk lebih dulu bergabung dengan kelompok Merkuri. Haidar pun menuju ke meja itu tanpa ragu, sudah tak usah ditanya. Ia akan menjadi sangat bersemangat jika di setiap kegiatan atau kesempatan berisikan Hanum. Ia sudah lama menaksir anak perempuan dengan rambut yang lebih sering digerai dengan perawakan yang mungil itu. Pram juga sempat menyukai Hanum, tapi Haidar sudah keburu nyolong start duluan. Miris nasibnya.

"Kesempatan kau itu Ra buat bercanda-canda sama Dean." Pram melihat ke arah kerumunan itu, terlihat Dean yang duduk di bangku paling ujung hanya menjadi pemerhati situasi dan lebih banyak diam. "Cobalah kau samperin dia, lalu diam saja sudah. Samperin aja, pasti dia langsung cerah wajahnya." Usul Pram.

"Ah ga mungkin." Tepisku.

"Mungkin Ra. Cobalah dulu." Pram mendesakku. Sejujurnya aku juga penasaran dengan responnya, apakah yang dikatakan Pram akan benar adanya? Tapi ku rasa Dean juga tidak akan sesenang itu jika aku berada di sana. Aku ini siapa? Aku hanya Keira. Anak perempuan yang biasa-biasa saja. Tapi di sisi lain aku juga ingin melihat responnya.

Aku meletakkan gelas es tehku setelah berusaha sekuat tenaga menghabiskannya dalam satu kali sedotan, "baiklah."

Aku menghampiri meja mereka, benar kata Pram. Aku bisa melihat perbedaan ekspresinya, ah mungkin ia hanya merasa memiliki teman. Itu yang selalu ada di benakku sekarang, Dean pernah bilang bahwa ia tak memiliki banyak teman. Terlebih teman perempuan, mungkin baginya aku menyenangkan karena memiliki ketertarikan dalam bidang yang sama. Maka ia merasa nyaman dan merasa bahwa aku juga begitu, tapi entah mengapa di dalam diriku malah justru timbul hal lain.

Hal yang malah membuatku jatuh ke dalam sebuah perasaan yang bahkan tidak dapat ku definisikan. Dan pada akhirnya pun Pram yang mengebu-gebu menjodohkanku dengan Dean pun menjadi kecewa dengan sikapku.

ELEGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang