Semua karya pada akun ini murni pemikiran penulis pribadi. Walau mengambil inspirasi dari beberapa novel ternama, namun dari segi penulisan tidak ada copas cerita manapun.
Selamat menikmati!!!
-----------------------------------------------------------
Batavia, suatu kota di Hindia Belanda yang mengandung banyak misteri. Banyak pejuang kemerdekaan tengah merintis demi negeri, di tengah huru-hara dan konflik masih berkemundangan sampai sekarang. Adu domba Negeri kincir angin masih mengencam tanah air. Tapi tanpa lelah pribumi tetap memberontak, walau hidup dibawah kecaman bangsa Eropa.
Banyak sudah pribumi yang diperbudak oleh bangsa Eropa, maupun orang Indo (campuran Eropa dan Indonesia). Banyak juga yang telah berkhianat kepada negeri ini demi kepentingannya sendiri.
Dibalik semua ini, ada sebuah keluarga Indo yang lebih memilih memperjuangkan kemerdekaan tanah air, dibandingkan membela bangsanya sendiri. Keluarga Adiwitama, mereka sadar bahwa asas kemanusiaan di atas segalanya. Mereka juga sadar mereka mendapat banyak akses untuk melawan penjajah daripada para pribumi.
Selama 30 tahun keluarga ini mengabdi sebagai Dokter untuk bangsa pribumi. Mereka membantu para pribumi yang sulit mendapatkan akses pengobatan. Selain menjadi dokter, anak lelaki dari keluarga ini, Wijaya Adiwitama juga seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan tanah air, Indonesia. Dan tentu saja, dari pemberontak-pemberontakan yang dilakukan keluarga Adiwitama ini, menimbulkan kecaman dari pihak penjajah. Mereka menganggap keluarga Adiwitama berkhianat kepada bangsa dan etnisnya sendiri. Tapi kecaman itu tak membuat semangat nasionalisme mereka runtuh, dan terus memperjuangkan kemerdekaan dari bangsa pribumi.
Di tahun 1940.
Suara gesekan kertas menggema di perpustakaan rumah keluarga Adiwitama.
"Apa yang kau baca, Anindya?" Anindya adalah anak satu-satunya keluarga Adiwitama. Gadis berambut lurus dan berkulit kuning Langsat ini, adalah gadis polos serta pintar. Tentang pendidikan, Anindya tak perlu diragukan.
Keluarga Adiwitama adalah keluarga pribumi golongan bangsawan, kekayaan keluarga ini sangatlah besar pada masa sekarang. Oleh karena itu, Anindya bisa bersekolah tidak seperti anak-anak pribumi di Hindia Belanda ini.
"Buku ini berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang," jawab Anindya ke Ibunya.
"Bacaan yang bagus, buku itu dapat menambah ilmu mu," sambung Ibu.
"Aku ingin menjadi seperti R.A Kartini, ia sosok wanita yang tangguh," ujar Anindya, dengan semangat.
"Maka dari itu kau harus banyak belajar, dimanapun dan kapanpun itu, sayang." Ibu mengelus rambut Anindya dengan penuh kasih sayang, memberikan rasa bangganya dengan senyuman untuk putrinya itu. Baru saja Anindya membalas senyuman itu, tiba-tiba ada suara teriakan dari bawah jendela yang membuat senyum Alaina memudar.
"WIJAYA, KELUAR! BAWA PUTRI MU!" Orang-orang itu berteriak memanggil nama Ayah Anindya.
Dengan kondisi membingungkan ini, Ibu berusaha menenangkan Anindya. "Jangan panik, Ibu akan memeriksa siapa mereka. Jangan berpindah dari tempat, Ibu akan kembali."
"Baik, Bu." Walaupun ikut cemas, Annindya berusaha tersenyum untuk menenangkan perasaan Ibunya.
Ibu bangkit dari duduk, keluar dari perpustakaan untuk menuju pintu belakang rumah. Dengan tergesa-gesa dan waspada, Ibu membuka pintu itu. Ia terkejut, karena segerombolan orang dengan pakaian loreng dan membawa senjata api yang datang ke rumahnya.
"Akhirnya kau keluar juga, Danisa," ujar seorang pria tua itu dengan senyum liciknya.
"Mana suami dan anak mu itu?" Pria itu semangkin mendekat ke Danisa—Ibu Anindya. Dengan cekatan, Danisa mundur, hingga kepalanya terbentur sedikit dengan pintu.
Danisa meneguk air ludahnya sendiri. "Mas Wijaya sedang bertugas!" Jawab Danisa dengan nada keras.
"Lalu mana anakmu?" Pria itu berbicara dengan nada lembut, namun mengintimidasi.
"Apa urusan mu dengan anak ku? Jika ini urusan negara, jangan pernah membawa anak ku dalam masalah ini!" Danisa kembali membentak lelaki tua itu.
"Tak perlu banyak tanya, mana Anindya?!" Sekarang pria itu mulai menaikkan nada bicaranya.
Dikarenakan suara lelaki itu terdengar kencang, Annindy yang masih di perpustakaan, tentu saja mendengar namanya disebut. Ia pun segera berlari keluar dari perpustakaan untuk menuju Ibunya.
Melihat kehadiran Annindya, Danisa pun cemas sedangkan segerombolan pria itu menatap satu sama lain dan tersenyum licik.
"Sayang, apa yang kau lakukan disini? Sudah Ibu bilang jangan kemana-mana," Danisa berusaha menarik anaknya untuk masuk kembali. Namun Annindya tetap bersih keras untuk keluar.
Dengan langkahnya yang berani dan ekspresi wajahnya yang merendam emosi, Annindya berdiri di depan lelaki tua yang telah membentak Ibunya itu.
"Apa urusan mu dengan ku?" Pria yang diajak bicara Annindya itu terkekeh pelan.
"Aku tak menyangka nyali kau sebesar ini Anindya," sambung pria itu.
"Apa urusan mu dengan ku, sampai-sampai kau membentak Ibu ku seperti tadi?" Tanya Annindya kembali dengan nada tegas.
"Ikut dengan ku maka urusan kita selesai," ancam pria itu.
"Aku tidak akan menuruti perintah mu, antek-antek Belanda!"
"Kami bukanlah antek-antek Belanda gadis kecil, kami hanya ada sedikit urusan dengan mu." Dengan muka kebingungan Annindya mulai melangkah mundur.
"Kenapa mundur? Jangan takut dengan kami," sambung pria itu.
"Jangan dengarkan kata mereka, sayang," ucap Danisa, cemas dari kejauhan.
"Tentu tidak, Bu," jawab Annindya, meyakinkan Ibunya.
Belum sempat Annindya kembali ke Ibunya, pria tua itu memberi isyarat pada anak-anak buahnya untuk mengepung Anindya. Segerombolan orang itupun mulai membekap mulut Annindya dengan sapu tangan yang telah dilumuri obat bius, dan mengacungkan senjata ke Danisa sebagai ancaman.
"Annindya! Lepaskan putri ku!" Danisa berusaha memberontak, namun tubuh Danisa didorong oleh salah satu dari mereka.
Segerombolan orang itu mulai menyeret tubuh Annindya yang sudah lemas ke dalam mobil. Danisa yang melihat kejadian penculikan anaknya itu menangis tersedu-sedu, berusaha mengejar mobil mereka, namun hasilnya tetap nihil. Tubuh Danisa pun lemas, kemudian terjatuh di tengah jalan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Meine Zeit
FantasyBerawal dari sebuah keluarga pejuang kemerdekaan di tanah Hindia Belanda. Mereka mendapat banyak kecaman dari pihak penjajah, dikarenakan dianggap berkhianat. Sampai pada suatu hari, putri mereka, Elena Samaya Adiwitama diculik dan terbangun pada er...