Chapter 2 : "Gadis Gila?"

18 5 0
                                    

Seperti biasa, pagi ini orang-orang akan sibuk untuk mempersiapkan diri untuk mencari uang demi sebutir nasi. Begitu pula dengan, Sankira, ia tergesa-gesa menghidupkan motornya karena sudah telat menuju kantor.

"Oma, Kira berangkat dulu ya!" Untuk pertama kalinya gadis berumur 21 tahun ini telat untuk bekerja, akibat lembur membuat Sankira bergadang hingga telat bangun.

Sankira mengendarai motornya dengan sedikit kencang. Hingga sampai pada persimpangan, Sankira memelankan kecepatan. Sambil menunggu lampu merah berganti, pandangan Sankira teralih oleh segerombolan orang yang mengumpul di trotoar, seperti mengepung sesuatu. Baru saja Sankira ingin menepikan motornya, suara klakson berbunyi, seolah memberi isyarat kepada Sankira bahwa lampu telah kembali hijau. Sankira pun kembali mengendarai motornya hingga sampai di tempat kerja.

Sankira mulai memasuki kantor, namun langkah wanita bermata coklat terang ini terhenti oleh dering telepon dari ponselnya.

"Pagi pak." Sankira tau dirinya dalam masalah, karena mendengar suara orang yang dihubunginya menggebu-gebu.

"Baik pak, saya akan ke ruangan Bapak." Sambungan telepon itupun terputus.

Sankira berlari ke lift, namun lift sudah penuh, sedangkan Sankira harus bergegas. Sankira pun memutuskan untuk menaiki tangga darurat.

Sesampai didepan ruangan atasannya, ia dikejutkan oleh seorang pria perpakaian rapi yang sudah menunggu dia sedari tadi.

"Kenapa bisa telat Sankira?" Ucap pria itu dengan nada mengintimidasi.

Sankiraa berusahalah menetralkan napasnya karena telah berlari, untuk menaiki tangga dari lantai satu ke lantai tiga. "Maaf, tuan. Akibat lembur kemarin saya telat bangun."

"Sudahlah, jangan banyak alasan. Sekarang saya punya tugas untuk kamu, temui wanita ini di kantor polisi, dan tanyai pengakuan wanita ini ke polisi." Pria itu mengeluarkan selembar koran.

Sankira pun mulai membacakan isi koran itu. "Seorang gadis ditemukan di dekat lampu merah, Jalan Sucipto." Sankira pun teringat dengan segerombolan orang yang tadi ia lihat di trotoar.

"Sudah mengerti?" Tanya ulang pria berambut ikal itu.

"Maaf tuan Arsenio, ada apa dengan gadis ini?" Tanya Sankira dengan hati-hati.

"Dia ditemukan orang-orang dalam keadaan pingsan, dan saat sadar gadis ini bertingkah aneh. Jadi tugas mu sekarang adalah menanyakan informasi tentang gadis ini ke kantor polisi," jelas Pradikta.

"Baik, pak. Mengerti."

***

"Perkenalkan saya Sankira Alaina Gayatri, saya adalah jurnalis yang ditugaskan PT Cahaya Informasi Indonesia, untuk menggali informasi mengenai gadis yang ditemui di trotoar tadi pagi."

"Baiklah, anda bisa ikut saya menemui Ibu Devita," anjur wanita itu. Wanita itu mengantarkan Sankira menuju atasannya.

Sankira datang dengan disambut ramah oleh Devita.

"Dengan Sankira dari PT Cahaya Informasi Indonesia?"

"Benar Bu, itu saya."

"Baiklah ini informasi mengenai gadis yang tadi kami temukan." Wanita itu mengeluarkan selampir berkas.

"Nama gadis ini adalah Anindya. Anindya kami temukan dalam keadaan tidak sadarkan diri. Dan saat dibawa kerumah sakit, ia terlihat panik dan kebingungan. Beberapa kali gadis ini berteriak mengatakan 'penjajah.' Dan saat kami tanya tentang keluarganya, ia enggan menjawab."

Sankira pun mengangguk, paham. Pertanyaan-pertanyaan pun mulai bermunculan di otaknya, rasa penasaran akan Anindya yang misterius ini semakin besar.

"Mau saya antar menemui gadis itu?"

"Boleh Bu," jawab Sankira dengan antusias.

Wanita itu membawanya memasuki ruangan persidangan. Gadis yang dicari-cari terlihat tertunduk lesu dengan mimik wajah yang benar-benar ketakutan, seperti trauma.

"Bisakah aku ditinggal berdua dengan gadis ini?" Tanya Sankira.

"Maaf Sankira, harus ada satu polisi yang mendampingi kalian disini," ujar Devita.

"Oh kalau seperti itu, tidak apa-apa Bu," jawab Sankira dengan sopan.

"Bagaimana, sudah bisa saya tinggal?" Sankira mengangguk, lalu dengan perlahan mendekati Anindya di ujung ruangan gelap ini.

Terlihat Anindya semakin menunduk, dan menggerakan badan ke ujung bangku panjang. Sankira meraih helaian rambut yang menutupi wajah Anindya. Dengan lembut Sandika berkata,"tenang sayang, aku bukan orang jahat, tenanglah."

Dengan tubuh yang bergetar Anindya menatap Sandika. "Siapa kau? Dimana aku?"

"Namaku Sankira, kamu?"

"Aa-aku Anindya," jawab gadis bermata abu-abu itu.

"Boleh ku tau nama panjang mu?" ucap Sandika

"Namaku Alova Anindya Adiwitama." Sankira pun mengeluarkan buku dan bolpoin kecil dari koceknya, lalu menulis pembicaraan mereka.

Anindya memperhatikan ruangan yang mereka tempati, dan menatap tajam satu anggota polisi yang berada di ujung ruangan.

"PASTI KAU ANAK BUAH PRIA TUA ITU KAN? JANGAN BANYAK ALASAN, PASTI KALIAN ANTEK-ANTEK BELANDA." Seketika gadis itu memberontak. Amarah Anindya bergejolak, dia berusaha mendekati anggota polisi itu. Sankira yang panik dan bingung harus bersikap apa, hanya menggenggam lengan Anindya.

Anggota polisi itu mengeluarkan senjata apinya, menodongkannya kepada Anindya."Berhenti lakukan hal ini, atau aku tembak kau," ujarnya.

Anindya menghempas tangan Sankira, menantang anggota polisi dan Sankira dengan jari telunjuk. "Kalian orang-orang jahat sebaiknya mengaku saja, apa masalah kalian dengan keluarga ku? Karena keluarga ku membela pribumi? Sadar kalian juga pribumi, otak kalian telah dimanipulasi oleh londo-londo penjajah itu!"

Mendengar kericuhan yang terjadi para anggota polisi dan Devita mendobrak pintu. Dengan cekatan Devita menyuruh para polisi itu untuk memborgol tangan Anindya.

"Bawa ia ke ruang tahanan, tetap berjaga sampai ambulans datang!" Perintah Devita.

Devita mendekat ke Sankira,"kau baik-baik saja?" ucapnya

"Iya, aku baik-baik saja," jawab Sandika.

Mata Sankira terfokus kepada Anindya yang dibawa ke luar ruangan. "Apa yang akan kalian lakukan oleh gadis itu?" ujar Sandika

"Kami akan membawanya ke rumah sakit jiwa, untuk memeriksa kejiwaannya."

"Aku rasa dia tidak memiliki gangguan jiwa." Entah apa yang merasuki Sankira sekarang, intinya dia sangat yakin bahwa gadis yang baru saja ia temui dalam keadaan sehat secara mental maupun fisik.

"Perlakuannya sudah keluar dari kata wajar Sandika, ia menganggap bahwa ia di zaman kolonial? Apa itu pantas disebut waras." Ujar Devita.

"Bolehkah setelah diperiksa aku membawanya? Perusahaan kami membutuhkan informasi yang lebih dalam tentang gadis itu."

"Maaf Sankira, kau tidak bisa membawa Anindya tanpa persetujuan pihak polisi dan masalah informasi, serahkan semua pada kami," jelas Devita, dengan penyesalan.



















Meine ZeitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang