Di perjalanan pulang, aku menyempatkan diri untuk melihat kembali artikel yang kusimpan di ponsel. Sudah tiga cara kulakukan demi membasmi hantu itu. Tapi ketiganya sama saja. Tak ada satupun yang manjur efeknya. Yaah, mungkin yang ketiga agak benar sedikit. Tapi aneh, sudah tahu tak ada efek apapun tetap saja aku terus mencarinya.
Kubaca dengan penasaran urutan keempat dari cara yang katanya manjur itu.
4. Rasa takutmu bisa hilang secara perlahan. Caranya, kamu hanya perlu menghindari tempat-tempat gelap yang terkesan seram.
Tempat gelap?
Aku bergumam sambil terus berjalan. Mungkin aku harus menyalakan semua lampu di rumah supaya terang benderang. Tapi Kak Auston bisa-bisa mengamuk karena tagihan listriknya yang sudah bengkak malah makin membengkak. Ujung-ujungnya, pasti uang jajanku—yang tak seberapa ini—dipotong.
Omong-omong, akhirnya aku menceritakan keluh kesahku pada Stevia. Tentang hantu itu, tentu saja. Dan tahu apa yang dikatakannya? Dia bilang aku bodoh. Syalan! Tentu saja aku marah. Entah dia bilang bodoh karena aku yang bukan indigo ini bisa melihat hantu, atau mungkin bodoh karena menolak kehadiran hantu tampan itu di rumahku.
Dan Stevia malah menanyakan nama hantu itu. Sampai sekarang saja aku belum tahu siapa namanya. Kalau dilihat dari pakaian yang dikenakannya, sepertinya itu adalah pakaian mahal untuk kaum bangsawan era penjajahan Belanda dulu.
Dia pasti hantu bule. Apalagi saat aku tidak sengaja melihat maniknya yang berwarna biru gelap. Juga rambutnya yang gelap kecoklatan. Astaga, tampannya. Coba saja kalau dia masih hidup, aku yakin dia pasti akan punya banyak penggemar alay yang tersebar di mana-mana.
Akhirnya aku menginjakkan kaki di teras depan. Kutolehkan kepala ke belakang, hari sudah hampir senja. Aku kembali menghadap depan. Bibirku langsung manyun.
Dengan langkah cepat aku menerobos pintu yang sebenarnya memang sudah terbuka setengah dengan menghentakkannya keras.Gebrakan keras itu membuat Mia yang sedang duduk di sofa langsung berjengkit kaget. Dia memelototiku. Sungguh pelototannya itu sama sekali tidak bisa menandingi pelototan legendaris milik Suzanna.
“Kak! Bisa kali ketok dulu pintunya!”
Aku hanya mengedik cuek. “Pintunya udah kebuka, kok.” Lantas aku segera menghampiri saklar lampu dan menekannya hingga menerangi semua ruangan dalam sekejap.
Ruang keluarga yang tadinya hanya diterangi oleh satu lampu, sekarang sudah menyala semua. Lampu teras juga sudah kunyalakan. Mia tampak ingin bicara, tapi kuhiraukan dan memilih melenggang menuju dapur. Sama seperti tadi, kunyalakan lampunya. Kamar mandi juga kunyalakan.
Lalu naik menuju lantai dua. Pertama, ke kamar Kak Auston untuk menyalakan lampu. Aku bahkan sempat heran, tumben pintunya tidak dikunci. Baru kali ini aku masuk ke kamarnya yang biasanya selalu dikunci. Sambil berkacak pinggang, aku mengamati sekeliling. Mana tahu ada sesuatu yang disembunyikannya sampai melarang kami untuk masuk.
Hm, aku memiringkan bibir seraya menyipitkan mata. Sudah bolak-balik memastikan isi kamar ini, tapi sepertinya memang tak ada sesuatu yang patut dicurigai. Kamar ini biasa saja, rapi walaupun agak sedikit berdebu. Jendelanya juga dibuka lebar. Aku beranjak mendekati jendela itu dan menutupnya. Ini sudah sore, jadi ketimbang nyamuk nanti masuk, lebih baik ditutup saja.
Duduk di atas kasur besar, kuamati sekali lagi kamar ini. Aku masih tidak paham kenapa Kak Auston melarang kami untuk masuk. Bahkan aku tidak pernah membersihkan kamarnya walau hanya sekedar menyapu saja. Apa mungkin dia pikir, kami akan membuat kamar ini berantakan? Heish, tidak akan.
Bagaimanapun juga ini adalah kamar papa dan mama. Kenapa juga kami tidak diizinkan masuk. Oh, atau mungkin dia punya rahasia? Sesuatu yang tersembunyi sehingga aku dan Mia tidak boleh masuk?
Yasudahlah. Tak ingin berlama-lama di sana, aku beranjak ke kamar Mia, menyalakan lampu hingga memperlihatkan dengan jelas betapa berantakannya kamar bocah itu. Aku bahkan baru tahu kalau dia suka membawa masuk camilan kecil dan memakannya di kamar. Lihat saja bungkusan-bungkusan snack itu. Ada yang di atas kasur, di depan lemari dan di atas meja belajar. Belum lagi pakaian-pakaiannya yang berserakan di mana-mana. Entah mana yang kotor mana yang bersih. Sebelum kepalaku pecah gara-gara melihat kamar yang sudah seperti kapal pecah ini, aku memutuskan untuk keluar saja.
Dan, terakhir adalah kamarku sendiri. My room is heaven! Aku melangkah riang dan langsung menyalakan lampu. Seketika kamarku jadi terang benderang. Kuamati sekeliling sambil berkacak pinggang.
Ahey! Oke, semua lampu di rumah ini sudah menyala terang. Dengan begini, hantu itu pasti tak akan berani muncul.
Tapi ternyata kelegaanku tak bertahan lama. Karena detik berikutnya, kulihat penampakan yang sama sekali tidak diinginkan. Hantu itu muncul lagi! Dia bahkan berani berdiri tepat di bawah lampu kamar dan menengadah untuk menatap lampu yang bersinar terang itu. Kemudian menutup matanya perlahan dan menunjukkan ekspresi seolah menikmati sinar itu meresapi wajahnya. Juga ditambah dengan smirk menyeramkan.
Mulutku menganga lebar. Aku menyumpah serapah artikel yang kubaca sore tadi. Mengutuk pula kebodohanku yang dengan polosnya justru mengikuti apa yang tertulis di sana.
Apanya yang takut gelap?! Lihat! Hantu itu bahkan dengan tenangnya menatap lampu yang sedang menyala. Seolah menunjukkan kalau dia tidak akan hangus terbakar seperti Vampir kalau terkena sinar.
Tubuhku mendadak gemetar. Apalagi saat dia mulai berjalan perlahan mendekatiku. Sungguh, itu terlihat seperti sebuah ancaman mengerikan. Senyumnya terlihat mengejekku hingga ke nadi. Mungkin dia ingin menunjukkan langsung padaku kalau dia tidak akan hancur hanya dengan cahaya terang.
Aku baru akan berteriak kencang kalau saja suara pekikkan menggema di bawah sana tidak membuatku tertegun kaget.
“MONA!!!”
Kak Auston!
“Kenapa semua lampunya nyala gini?! Kamu mau bikin tagihan listrik bengkak, hah?!”
Matek aku!
Tak lama pekikan itu kembali dengan nada yang lebih mengerikan dari sebelumnya.
“Ngapain juga kamu masuk kamar, kakak?!”
Bye world...
My Friendly Ghost
KAMU SEDANG MEMBACA
My Friendly Ghost
ParanormalAku tidak pernah menyangka jika rumah peninggalan orang tuaku, ternyata sudah lebih dulu berpenghuni sebelum kami datang. Aku bukan seorang indigo. Apalagi memiliki kemampuan sixth sense. Tapi entah kenapa, aku justru bisa melihat dia, Hantu seorang...