VIII - 2122

222 36 5
                                    

Sebenarnya Nagi tak mendapatkan ide sama sekali kenapa sosok ungu di sampingnya ini mendadak meminta tumpangan padanya. Pasalnya, Nagi tau dia bisa meminta pelayannya menjemputnya kapanpun ia mau. Tapi kenapa dia malah membuatnya mengantarkan dirinya ke rumah?

Belum lagi dia yang tiba-tiba mengajak berhenti ketika ada seorang nenek yang menjual gulali di trotoar. Antusias berlari keluar dan menyuruhnya menunggu di mobil.

Matanya terpaku, mengamati gerak-gerik dari si ungu yang terlihat tersenyum bersama sang nenek. Tangannya sudah menggenggam dua gulali kecil yang tadi dibuat oleh sang nenek. Lantas tangan kanannya perlahan meraih dompetnya, sembunyi-sembunyi menarik beberapa lembar berwarna merah sebelum akhirnya ia berikan pada sang nenek.

Mata Nagi beralih saat melihat kilau samar tak jauh dari Reo. Ia bergegas keluar dari mobilnya, berlari menghampiri Reo dan mengucap sepatah kata pada sang nenek sebelum menarik Reo menjauh.

"Eh nek itu tetangganya jadi gimana? Lakinya tanggung jawab ga nek?"

Reo menahan tangan Nagi walau nihil hasilnya. Ia masih diseret dan dipaksa memasuki mobil Nagi yang meluncur meninggalkan jalanan itu di beberapa detik setelahnya.

"Kenapa? Ada yang aneh kah? Lo gugup banget keliatannya." Reo menatap wajah tegang itu, matanya bergulir pada tangannya yang masih Nagi remas. Bulir keringat jatuh dari pelipisnya. Keadaan yang cukup membuatnya bertanya-tanya.

Tak ada jawaban, Nagi masih tetap diam, dan hanya mobil yang terus melaju membelah jalanan. Tak ada sahutan lagi setelahnya, hanya hening yang membalut keduanya.

Maka Reo memilih untuk diam, membiarkan Nagi menenangkan pikiran sembari tangannya mengusap lembut tangan Nagi yang tak mau melepas tangannya. Terus bergetar walau wajah itu berangsur tenang. Tak tunjukkan gurat takut yang sempat terukir.

Ia ingin tahu, ingin bertanya lebih tentang pemuda itu. Kenapa hidupnya seakan begitu menyeramkan? Seperti ada monster yang mengejarnya ditiap mimpinya. Tak ada dongeng sebelum tidur. Tak ada lagu pengantar tidur. Tak ada hangat peluk yang dampingi saat ia tertidur. Seperti dia benar-benar sendiri dan terlihat begitu kesepian.

Reo ingin tahu lebih, tentang pemuda di sampingnya yang enggan melepas genggam. Tapi ia harus menahan diri, ia bukan sosok yang memiliki hak untuk itu. Mereka bahkan baru bertemu beberapa minggu lalu. Menjadi teman atas klaim sepihak dari Reo.

Biarkan ia menunggu lebih lama. Tak apa, sungguh. Toh Reo tak ingin melepaskan tangan yang ia genggam kali ini.

Hei, ia tak ingin mengakuinya, tapi ia adalah orang yang cenderung berterus terang. pikirnya. Maka akan ia katakan, sosoknya, Nagi Seishiro, pemuda bersurai perak yang gemar sekali menggenggam miring handphonenya, pemuda ini, ia menyukainya. Tidak, ia hanya tertarik, bukan menyukainya.

Mungkin itulah yang ia pikirkan saat ini, tapi kita tak tau esok. Dan Reo tau, rasa itu akan semakin besar seiring berjalannya waktu.

"Mau nginep ga?" Tanyanya tiba-tiba saat pagar rumahnya sudah terlihat. Cukup untuk membuat Nagi menarik tangannya canggung karena menyadari dirinya begitu panik hingga tanpa sadar sudah terlalu nyaman dengan genggaman itu.

Reo tersenyum kecil, "Lo belom mau pulang kan?" Tanyanya lagi dan kini mendapat anggukan samar dari Nagi. "Gue ga tau apa masalahnya, dan lo juga belom mau cerita." Ia mengendikkan bahu, "Tapi kalo mau lo bisa tinggal di sini sementara waktu. Toh gue ga ada temen jadi kesepian. Lo juga sama kan?"

Nagi diam, tak tau harus membalas seperti apa. Kesepian? Ia rasa itu adalah bagian dari hidupnya. Penuh dengan kesepian.

"Mama juga pasti seneng dapet temen baru, biar bisa ngobrol di rumah. Mau?" Reo bertanya sekali lagi. Menatap wajah datar tanpa ekspresi yang saat ini hanya terpaku menatapnya. Tersenyum lembut sekali lagi.

Coffee, Book, and Red Rose [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang