Satu minggu berjalan cepat kala beranjak dari hari dimana Nagi memulai pernyataannya yang begitu mendadak. Membuat Reo kepalang pusing untuk sekedar mengatakan satu kata 'iya' padanya.
Namun pada akhirnya, Reo terlalu enggan untuk menolak suatu yang begitu menggiurkan untuk ia terima. Hei, sudah ia katakan, ia orang yang berterus terang. Lantas, kenapa tidak? Ia tak memiliki alasan untuk menolak. Alih-alih demikian, ia malah memiliki satu alasan konkret yang membuatnya menganggukkan kepala. Membuat Nagi mengembangkan senyum senang tiada tara.
Hari-hari mereka berjalan seperti biasanya, memulai hari dengan sapaan pagi dari masing-masingnya dan menjalankan hari itu dengan bahagia. Mereka akan menghabiskan waktu untuk sekedar mengobrol santai. Atau ada kalanya Reo akan meminta Nagi belajar bersamanya. Ya paling tidak menemaninya walaupun Nagi akan berakhir dengan lipatan tangan yang ia gunakan sebagai bantal. Lantaran Reo begitu sibuk dengan buku-bukunya hingga kadang kala tak lagi memperhatikan dirinya.
Mereka akan mampir pada salah satu cafe yang Reo minta, menghabiskan sore dengan belajar hal yang sungguh tak buat Nagi tertarik. Lantas Nagi hanya akan memandangi lekukan wajah pada sang pujaan dalam diam, mengagumi paras yang begitu elok untuk ia nikmati. Bahkan bisa ia katakan, pemandangan sore di pantai dengan matahari tenggelam yang memesona tak lebih indah dari sosoknya.
Katakan ia bucin atau apalah itu, karena memang begitu adanya ketika ia sadar, betapa menawannya sosok di hadapannya.
Es akan mencair seiring berjalannya waktu, dianggurkan begitu saja dalam larutan air dan kopi. Membuat rasa pahit americano menjadi hambar ketika es itu tak lagi berwujud, sempurna melebur tanpa sisa.
Terkadang, Nagi akan bertanya-tanya tentang Reo yang begitu menggemari minuman pahit yang orang sebut kopi itu sebagai minuman pendampingnya. Bukan, bukannya ia tak tau kopi itu seperti apa, tapi dirinya terlalu sering melihat Reo meminumnya. Begitu sering hingga membuatnya tak tau lagi bagaimana menghentikannya.
Sang kasih akan tidur terlalu larut jika terus meminumnya, lantaran mata ungu yang menawan itu enggan tertutup selagi caffein itu menguasainya. Memberi energi semu yang akan hilang dengan sendirinya.
"Re, hari ini mending nyari makan aja daripada ngopi." Nagi menengok pada Reo yang masih sibuk membaca bukunya. Entah apa isinya, tapi dirinya terlihat begitu serius.
"Hm? Gimana Gi?" Reo balas menatap, melepas sejenak kaca mata yang sudah bertengger entah berapa lama di lekukan hidung mancungnya. Sedikit mengistirahatkan matanya yang terasa begitu perih saat ini.
"Jangan kebanyakan ngopi."
Reo memiringkan kepalanya, berkedip beberapa kali sebelum akhirnya mengerti maksud Nagi. Mungkin tak apa jika ia beristirahat hari ini, toh ia bisa melanjutkannya dilain waktu.
Ia menutup bukunya, kali ini lebih fokus pada Nagi yang berada di sampingnya. Menatapnya penuh harap akan tawaran yang tadi sempat ia lontarkan.
"Yaudah hari ini Reo nemenin Nagi kemana aja." Matanya menyipit saat garis bibirnya terangkat, menampakkan senyum yang begitu menenangkan untuk Nagi dambakan terus-menerus hadirnya.
"Kemana aja?" Tanyanya, meminta kepastian lebih dari Reo yang kemudian menganggukkan kepala. "Pulang sekolah nyari makan terus ikut aku sebentar baru malemnya aku anter pulang gapapa? Nanti aku kabarin mama sekalian."
Reo kembali mengangguk, menuruti permintaan Nagi sekali lagi.
Perubahan sikapnya, begitu ketara bagi Reo yang menghabiskan banyak waktu untuk mengamatinya. Lantaran sang kekasih terlalu menarik untuk ia abaikan eksistensinya. Maka Reo menghabiskan waktunya untuk amati tiap bentuk dari rupa dan tindakannya kala ia jenuh. Meneliti satu-persatu kebiasaannya dan menyimpannya dalam kepalanya dengan begitu hati-hati. Takut-takut salah memasukkan memori indahnya dan berakhir dengan hal buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee, Book, and Red Rose [Slow Update]
FanfictionKalian tau cerita fiksi remaja yang sering kali melibatkan geng motor? Buku ini tentang Reo, tentang Nagi, tentang buku, tentang kopi, dan tentang mawar merah yang terus bermekaran dalam hati keduanya. Mengukirkan sebuah rasa yang enggan sekali unt...