V - 2273

308 47 7
                                    

Nagi masih setia menatap Reo yang kini berdiri kikuk di hadapannya. Abaikan teman-temannya yang sudah rusuh perihal sakit dari lebam yang mereka dapat. Atau heboh dari Rin dan Ryusei yang akhirnya mendapat jeweran maut dari Sae. Abaikan pula Tabito yang tengah berusaha mencuri perhatian dari sang mantan. Atau abaikan tentang Rensuke dan Chigiri yang hanya berdiri kaku tanpa pembicaraan. Pun Otoya dan Yukki yang hanya tertawa melihat Rin dan Ryu terkena marah.

Dirinya masih sibuk dengan tingkah tak terduga dari Reo. Matanya menatap datar, pun wajahnya tak menampilkan ekspresi apa-pun. Hanya sibuk menatap manik yang ia sendiri tak tau, kenapa terlihat begitu candu.

"Siapa yang ngebolehin kesini?"

Dan kini, saat Nagi mendekat dengan suara berat yang mengalun penuh penekanan, Reo hanya bisa melangkah mundur perlahan. Ah kemana nyalinya yang menggebu-gebu tadi? Kenapa lenyap begitu saja?

"Hehe- itu... anu..."

Matanya melirik ke arah lain, tak mau menatap wajah dingin itu untuk saat ini. Ia butuh sedikit tarikan napas untuk membuatnya sadar dan Kembali mengumpulkan nyali.

Tapi, kan sudah ia bilang, bahwa dirinya tak memiliki alasan lagi untuk melepaskan.

Maka ia kembali pada posisinya. Pundaknya, punggungnya, kembali berdiri tegak. Matanya menatap menantang pada Nagi. Bahkan tangannya sudah berkacak pinggang. Rautnya berubah marah, mengerut dan cemberut.

Jika seperti ini, bagaimana Nagi bisa menagih jawaban? Yang ada malah dia yang terjatuh kembali pada sosok lucu di hadapannya.

"Kalo gitu siapa juga yang ngebolehin lo tawuran? Bikin luka doang."

Jawaban atas pertanyaan Nagi bukannya terjawab, malah mendapat pertanyaan lain. Sungguh, begitu ajaib memang sosok di hadapannya ini. Mampu menyihirnya hingga terbungkam tanpa mengatakan sepatah kata-pun.

"Apa untungnya? Dapet duit? Gue yakin lo ga semiskin itu. Atau apa? Balas dendam gara-gara temen lo celaka? Terus numbuhin dendam lainnya? Bikin temen lo yang lain celaka? Terlebih lo sendiri. Dari dulu-"

Ah, Reo harus berhenti. Ia tak akan menyinggung itu. Ia tak harusnya kembali pada hal runyam itu.

"Tau deh, Chi ayo pulang." Reo melotot pada Chigiri yang sedari tadi hanya memperhatikan.

"Bensinnya abis Re, ga ada pom bensin deket sini." Chigiri menggeleng. Ia saja tak tau bagaimana caranya pulang jika seperti ini. Yakali harus minta tumpangan ke anak-anak ini?

Dan kini, helaan napas dari Nagi terdengar.

"Toy." Nagi melirik temannya yang masih sibuk tertawa itu. Menunjuk sepeda Chigiri yang terparkir apik di sebrang jalan.

Yang dipanggil mengangguk, "Aye aye sir." Dan begitulah Otoya menarik Yukki yang ada di sampingnya. Masih belum selesai tertawa.

"Lah, gue bawa motor sendiri." Protesnya.

"Motor lo biar dipake Nagi, motor gue pake aja Rin." Otoya merangkul Yukki, kepalanya menengok ke belakang, ke arah Rin yang masih mengaduh kesakitan. Lantas melempar dua kunci kepeda kepada Nagi yang dengan sigap menangkapnya.

"Thanks Toy."

"Yoi." Otoya mengangkat jempolnya, menberitahu bahwa ia tak keberatan, dan kembali menyeret Yukki.

"Ayo."

Reo mengerjapkan mata, cepat sekali mereka sudah mapan di posisi masing-masing. Bahkan Chigiri dan Hiori juga sudah siap bertengger di sepeda Sae.

Sae? Sudah ditarik terlebih dahulu oleh Ryusei yang disusul tarikan pula oleh Rin. Hingga hasilnya adalah Sae yang memilih membonceng pada Rensuke. Wajah tak ingin dibantahnya bahkan sudah membuat dua orang itu menekuk wajah dengan pasrah. Mengundang kekehan geli dari Ren sendiri.

Coffee, Book, and Red Rose [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang