)1(P.R.O.L.O.G

24 2 0
                                    


.

Say hi ke dunia Parselion yang bakal nambahin beban otak✨

FYI, Jadi sebenernya cerita ini udah lama nangkring di draft, cuma baru sempet—ralat—Niat sekarang. Tapi semoga kalian suka..

Happy reading

.

PROLOG

"Jatlion Baktara! "

Hembusan napas lega terdengar memenuhi penjuru ruang kelas XI IPA 3, mengusir perasaan aneh yang menyeruak lima merit sebelumnya begitu bu Niken mengitari tiap meja, mencari murid yang akan menjawab soal di depan.

Jatlion Baktara, pusat perhatian dua puluh tiga pasang mata. Seragam yang tidak di masukkan, rambut yang terlihat berantakan, serta persegi pipih yang masih menyala di tangannya, sudah menjadi ciri khas seorang Lion selagi mengikuti pembelajaran.

"Lion! " Sentak bu Niken kian menggelegar.

Siswa itu sama sekali tidak memiliki niatan untuk menggubris "belum. " Jawabnya singkat, masih fokus pada layar yang dipegang horisontal.

Bu Niken sudah habis sabar mendengar kata 'belum' keluar dari bibir Lion, beliau mengetuk papan tulis dua kali. "Saya tidak mau mendengar kata 'belum' lagi dari kamu, saya minta kamu maju ke depan, sekarang. jawab soal yang kemarin saya berikan! " Tau apa itu sabar? Bu Niken hanya punya 30% dalam dirinya.

Belum juga dua detik melihat soal yang terpampang di depan, kepala Lion sudah geleng-geleng merasa tidak mampu. "Susah b—"

"Cukup jawab soal di depan, baik itu benar, atau salah, dan saya akan berbaik hati untuk menghapus hukuman karena tidak mengikuti upacara hari ini, telat masuk kelas 20 menit, juga karena terciduk merokok di area sekolah. " Potong wanita yang berstatus sebagai guru matematika tersebut. "Bagaimana? "

Tawaran tersebut nyatanya cukup menyentil atensi Jatlion. "Kenapa bisa? "

"Kenapa juga tidak bisa? " Guru itu balik bertanya. "Menegur, membimbing, mengajar. Saya yakin tiga poin itu masih bisa kamu pahami kan? Apa perlu saya suruh anak SD yang mungkin lebih paham agar menjelaskan tugas saya sebagai seorang guru? "

Siswa itu mengangguk dengan ringannya. "Tiga poin sederhana itu juga yang jadi masalahnya. Kan? "

Tanpa bergerak seinci pun dari zona nya, masih dengan handphone di tangan. "Poin pertama. Menegur? Yang satu itu sudah terbukti dari ratusan murid Bakti Sila yang sudah ratusan kali kena tegur. Poin kedua, membimbing? Contoh yang baik. Teladan, Bukannya sewenang-wenang mengatasnamakan status guru, benar namun salah. Setelahnya poin ketiga, bu guru memberikan materi matematika selagi jam kelas ibu. Itu yang seharusnya di penuhi dalam poin mengajar. Soal hukuman saya yang tidak ikut upacara, merokok, ngupil, kayang, jungkir balik, joget-joget dan seterusnya itu biar menjadi tugas guru bp dan OSIS. Bukan begitu seharusnya, kan, bu? " Bara yang memang sudah menumpuk di dalam relung hati guru itu seketika terbakar hanya dengan sedikit pemanasan dari pemantik yang Jatlion lempar.

Memijat pangkal hidungnya, guru matematika itu merasa neuron dalam otaknya sudah tidak mau—atau mungkin mampu? Atau mungkin juga memang karena ada sedikit rasa membenarkan atas apa yang didengarnya. "Kamu itu mau nya apa sebenarnya, di suruh tidak mau, di kasih keringanan juga tidak mau, "

PARSELIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang