9 April 1912
─ Southampton, Inggris ─00.
Suara denting piano menggema diseluruh penjuru ruangan. Irama lagu kuno mengalun lembut memanjakan siapapun yang mendengarnya.
Sang pemain dengan lihai menarikan jemarinya diatas tuts. Nada demi nada ia lewati dengan baik.
Damai. Cukup menenangkan. Membuat siapapun akan terbawa suasana.
Hingga tak menyadari ketika seseorang datang lalu bersandar pada dinding pembatas yang berada tepat di belakangnya─berakhir harus berdeham kecil─membuyarkan fokus si pianis.
Ia kemudian menghentikan permainan pianonya dan memutar tubuhnya. Melukiskan ekspresi bertanya pada orang yang telah mengganggu permainannya.
Seolah paham, yang ditatap lantas bersuara,
"Jadi soal keberangkatanmu besok, Apa kau sudah mempersiapkan semuanya?"
Ditanyai begitu pemuda yang kini sedang membereskan buku lagunya terkekeh.
"Apa kau bercanda? Aku pasti sudah bersiap dari jauh-jauh hari, adikku."
"Berjanjilah akan segera kembali, kau tidak boleh melewatkan pernikahanku, ingat?" Cicit yang lebih muda dengan air muka yang sedikit ... muram? Setidaknya begitulah yang ditangkap oleh sang lawan bicara.
"Aku tidak akan melangsungkannya tanpamu, kau satu-satunya keluarga yang kumiliki." Sambungnya.
"Tentu saja, aku pasti datang di hari bahagia itu."
"Huh, sebenarnya apa yang membuatmu ikut berlayar?" Berjalan mendekat ke arah yang lebih tua,
"Aku tau bayaran pianis disana memang mahal, tapi bukankah itu mengerikan?"
Pemuda dengan surai kelam itu mengerutkan kening,
"Kudengar kapal itu akan dinaiki orang-orang tersohor dinegeri ini, bukankah suatu kehormatan bisa berlayar dipelayaran perdananya?" ujarnya heran. Ia tak mengerti mengapa adiknya begitu kesal.
"Lagi pula apa maksudmu mengerikan? Apa kau takut aku dirampok disana?"
"Hei, akhir-akhir ini cuacanya cukup buruk Vante, aku hanya khawatir."
Lelaki yang dipanggil Vante itu lantas bangkit dari duduknya dan memeluk sang adik, "Tenanglah Gaby, semuanya akan baik-baik saja."
Gabriel, atau yang kerap disapa Gaby itu hanya membalas dan mengeratkan pelukan sang kakak. Dia benar-benar sedih akan kepergian kakaknya ke negeri orang yang bahkan sangat asing bagi mereka.
Ia takut kakaknya tidak akan diterima disana atau bahkan tertimpa sesuatu yang buruk saat berada diperjalanan.
"Aku akan menunggumu."
.
.
.
.
"Tiketmu tolong."Vante merogoh tasnya lantas memberikan selembar tiket kepada penjaga yang bertugas disana.
"Vante Lionel." Penjaga itu membaca nama yang tertera.
"Baiklah silahkan masuk."Mengangguk beberapa kali ia mengangkat tas dan kopernya, lalu berjalan masuk sebelum orang-orang yang mengantri dibelakangnya berteriak tak sabar.
Sampai sebias suara menghentikan langkahnya. "Hei, apa benar itu kau?
Menggulir atensi ke sumber suara,
"Vante! akhirnya aku bertemu seseorang yang kukenal, jadi kau memutuskan untuk ikut?" Lanjutnya.
Vante mengedikkan bahunya, "tentu, bayaran bekerja dikapal mewah ini sangat besar kau tahu? sangat disayangkan jika melewatkannya."
Yang baru datang itu Evaniel de Ero, teman lamanya. Seorang pengelana juga seorang pemusik. Dengan biolanya, ia suka menjelajahi kota pelabuhan ini dari ujung ke ujung untuk menyambung hidup.
Mereka berdua berlatih dengan seorang saudagar kaya disana yang kebetulan belum memiliki anak. Jadi untuk menghabiskan waktunya, ia membuka sebuah kursus musik, tentunya, Gratis !
Baru-baru ini pria yang berusia nyaris setengah abad itu mengadakan sebuah ujian kecil, dimana dua anggota dengan permainan terbaik akan mendapat hadiah tiket kapal pesiar yang sedang hangat diperbincangkan karena kemewahan dan kesohoran sang pemilik ; Titanic.
Evan dan Vante akhirnya berhasil memukau gurunya sehingga disinilah mereka.
"Ayo, tempat kita diatas, dek kelas dua."
- tbc -
Vante Lionel, 1892
Evaniel de Ero, 1891
Gabriel Lionel, 1894
𓂃❀𓂃
KAMU SEDANG MEMBACA
Sacrifice in Pacific [HIATUS]
DiversosVante hanya ingin memperbaiki kehidupannya dengan mencari harapan baru di New York. Tapi, siapa sangka jalannya akan sangat rumit? Cinta tentu akan mengalihkan perhatiannya, namun itu normal. Tapi bagaimana jika cinta itu malah mengubah hidupnya. ...