02' Back to Old

63 14 3
                                    

00.

Ketika dunia seolah barjalan tanpa peduli padamu, waktu berputar tanpa menunggu, keadaan memaksa tanpa belas kasih, lantas pada siapa kau akan berharap?

Vante selalu berpikir, hidup ini sangat tidak adil. Mengapa insan kecil nan rapuh seperti dirinya harus menanggung pahitnya kehidupan.

Disaat yang lain tertawa dengan mudah tanpa beban, bergelung dengan kehangatan dari perlindungan yang dinamakan keluarga, mengapa ia tidak bisa mendapatkan hak yang sama hanya sekedar untuk memuaskan gemuruh lapar dari bawah sana?

Masa kecilnya benar-benar jauh dari kata sejahtera. Menghidupi dirinya sekaligus adik kecilnya bukanlah hal yang mudah.

Terlebih sepeninggal sang kedua orang tua yang meninggal karena kapal dagang yang mereka tumpangi hilang ditelan ombak. Ia ingat bagaimana Gaby kecil yang malang meraung hebat sembari menendang-nendang ke arah lautan.

Dan disanalah, awal mula ia dan adiknya harus selalu mengerahkan hasil keringat mereka hanya untuk sesuap nasi. Menahan cacian dan makian yang dilontarkan para saudagar sombong yang menanggapnya sebagai hama.

Mereka bahkan tak segan-segan untuk─

"Melamun? Astaga nak, kau melamun lagi!" Seruan seseorang seolah menarik paksa Vante untuk menyudahi selaman nostalgianya dari alam khayal.

"Kau dengar aku tidak?" Geramnya.

"T-tentu tuan, maafkan aku." Vante terbata setelah mendapat pertanyaan bernada tinggi dari atasannya. Ia adalah penanggung jawab kapal.

Hiburan, sajian, dan pelayanan bagi para pengunjung kelas atas adalah tanggung jawabnya.

"Aku tak membayarmu untuk melamun dan bersantai. Ini tempatmu dan aku harap kau dapat memuaskan para bangsawan itu."

Vante hanya mengangguk tertatih.

"Jangan membuatku malu." Lanjutnya menekan.

Memandang perginya sang tuan yang meninggalkannya bersama dengan sebuah piano properti dari kapal itu sendiri yang jika ditebak, Vante tau harganya fantastis.

Ia lantas mengehela nafas samar, mendudukkan diri didepan deretan balok persegi panjang putih yang mirip gigi baginya. Ia mulai dengan permainan yang lembut.

Dengan menutup netra kelamnya, ia terbuai syahdu dengan permainan merdunya sendiri.

Vante telah menekuni alat musik ini sejak usia remaja. Setelah beberapa tahun bekerja serabutan, akhirnya membuahkan hasil.

Setidaknya ia bisa membeli sebuah rumah kecil dipinggir kota untuknya dan adiknya hidup. Meninggalkan panti asuhan yang menjadi rumah singgah keduanya setelah orang tua mereka tiada.

Disanalah ia bertemu dengan Evan yang kebetulan sedang memainkan biolanya disebuah kedai kumuh yang nyaris runtuh.

Mereka berbincang kecil sampai Evan menceritakan tempat ia melatih permainan musiknya dan semakin membuat Vante penasaran ketika berkata bahwa ini gratis.

Vante sebenarnya tidak memiliki bakat apapun yang berhubungan dengan alat musik.

Semua keluarga serta kerabatnya adalah seorang pedagang, mereka mengarungi samudra dari satu benua ke benua lain untuk menjual sesuatu.

Namun, dengan berlatih alat musik ia pasti bisa menambah profesinya serta menambah pemasukan keluarga kecilnya tentu, pikirnya saat itu.

Maka hanya dengan berbekal alamat pemberian Evan, Vante mendatangi club musik tersebut dan mengutarakan niatnya pada sang pemilik.

Sacrifice in Pacific [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang