00.
Vante merapikan setelannya sembari berkaca, ia sedikit tersenyum. Baik, Tampan!
Ia berbalik dan...
BRUK!!
Entah karena terlalu bersemangat atau bagaimana, lutunya menyandung nakas kecil yang terletak tepat disamping kaca.
Vante meringis menahan sakit dan sempat mencuri pandang pada temannya yang masih terlelap, takut lelaki jakung itu terbangun. Tapi nyatanya tidak, Evan masih mendengkur dengan cukup keras.
Vante menahan nafas, dengan sedikit berjinjit ia berjalan perlahan menuju pintu. Membuka dan menutupnya perlahan lalu segera melesat pergi dengan setengah berlari.
Untung koridor sepi pagi itu. Tentu saja para penghuni kapal masih terlelap, terlalu dini untuk memulai aktivitas.
Kecuali bagi pria dimabuk cinta yang kini sudah sampai dilokasi tujuan.
Dengan nafas tak beraturan, Vante mengecek jam rantainya, tak terlambat, syukurlah.
Tapi dimana gadis itu?
Baru ia hendak duduk, sebias suara mengagetkannya.
"Hei! Sedang apa kau disini?" Sebuah suara berat diikuti senter dengan cahaya menyilaukan yang kini mengarah pada dirinya muncul.
Vante reflek memalingkan wajah yang tampaknya disadari oleh pria itu. Terlihat ia mematikan senternya sekarang.
Kini Vante bisa melihatnya dengan jelas, sesosok pria tinggi besar dengan seragam. Ah, penjaga kapal, pikirnya.
"Tidak ada tuan, hanya menghirup udara segar." Vante meringis sambil mengangkat bahu.
"Jangan macam-macam." Ujarnya menekan, lalu pergi.
Vante menghela nafas lega, astaga hampir saja dirinya jadi daging cincang.
Karena dirasa Ravelyn belum juga datang, ia mulai berjalan kecil menikmati dinginnya angin.
Ia baru menyadari bahwa hawa dingin menusuk yang dirasakannya tidak sepenuhnya dari angin malam.
Vante memperhatikan sekitar, lebih tepatnya kearah lautan yang terlihat sangat gelap tanpa ada penerangan.
Sampai sebuah objek menarik perhatiannya, es? ditengah laut?
Vante mendekati pagar pembatas,
"Gunung es, kita berada di Samudra Atlantik Utara." Sebias suara mengejutkannya.
Vante menoleh, disampingnya kini sudah ada Ravelyn dengan mantel berbulu yang menghangatkannya. "Maaf aku terlambat."
Vante hanya menggeleng dan menggiring sang gadis, membawanya pergi dari tempat itu. Ia berpikir waktunya sudah sangat singkat sekarang.
Mereka sampai dibagian terdepan kapal, atau Haluan. Setidaknya itulah yang dikatakan Ravelyn. Mereka menunggu di pagar pembatas.
"Sepertinya kita datang terlalu awal." Vante terkekeh. "Maaf, aku jadi membuatmu menunggu."
Ravelyn ikut terbahak, "Percayalah, ini tidak akan lama, tidak usah merasa bersalah begitu."
"Tahu dari mana? Pernah kesini saat fajar sebelumnya?" Vante merapikan anak rambutnya yang beterbangan, menampakkan jidat paripurna yang sempurna jika dipadukan dengan obsidian legam yang menatap tegas kedepan. Oh jangan lupakan rahang tajamnya yang seolah bisa digunakan untuk mengiris apapun.
Ravelyn tertegun, pemandangan didepannya sukses membuatnya tercengang dan entah kenapa jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya.
Vante menatap balik, mempertemukan manik mata mereka. "Kau baik-baik saja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sacrifice in Pacific [HIATUS]
De TodoVante hanya ingin memperbaiki kehidupannya dengan mencari harapan baru di New York. Tapi, siapa sangka jalannya akan sangat rumit? Cinta tentu akan mengalihkan perhatiannya, namun itu normal. Tapi bagaimana jika cinta itu malah mengubah hidupnya. ...