Jaehyun kira segalanya bisa ia perbaiki dengan mudah. Namun pikirannya terlalu dangkal. Sebab, Jaemin tetap lebih sering pulang bersama Taeyong, menghabiskan waktu disana, menginap disana dan.. melupakannya.
Sekali lagi, jarak itu semakin nyata.
Ayah dan anak laki-lakinya seperti dua orang asing yang terpaksa tinggal di satu atap yang sama.
Jarang berkabar, jarang bertegur.
Satunya terlanjur terlambat menyadari kesalahannya, sementara yang satunya lagi terlampau berbesar hati dalam memaklumi. Lebih memilih diam, menerima dan menahannya seorang diri.
Hari itu Jaehyun masih berada di kantor dan tiba-tiba saja Seulgi menelepon. Kakak perempuan mendiang istrinya itu memberitahu jika Jaemin berkelahi disekolah.
Jaehyun datang ke sekolah Jaemin dan menemuinya di ruang konseling. Dia sebenarnya heran, kenapa bukan gurunya yang menelpon tapi justru Seulgi? Tapi Jaehyun tetap datang.
"Anda ayah dari Na Jaemin?"
Jaehyun mengangguk, dipersilahkan duduk disebelah Seulgi. Wajah Jaemin terluka, tapi tak lebih parah dari 3 anak laki-laki lainnya yang duduk diseberang. Menilik dari lirikan sengit yang sesekali mereka layangkan, Jaehyun bisa langsung tahu bahwa Jaemin dan 3 bocah bonyok itu bermusuhan.
Setelah wejangan singkat. Jaemin mengekori Seulgi dan Jaehyun keluar dari ruangan.
Salah satu bocah itu menyempatkan menjegal tungkai Jaemin saat melewati pintu, bikin Jaemin yang masih dikobari amarah tersulut lagi lalu menarik kerah belakang si pelaku dengan kasar. Di angkat seperti anak kucing. Jaemin memang lebih tinggi dari mereka bertiga. "Lo mau leher lo patah?" desisnya.
"Jaemin Na," tegur Jaehyun yang bikin cengkeraman tangan Jaemin pada kerah bocah yang sudah ketakutan itu mengendur dan terlepas.
"Yah, gantengnya tante jadi bonyok begini, deh." Seulgi mengusap rahang Jaemin dengan tatapan miris. Lalu ditepuk-tepuk lembut. "Jangan begitu dong, Je. Gak baik berantem berantem begitu, ih. Dikurangi, ya?"
Jaemin mengangguk dengan kepala tertunduk.
"Tante sengaja telepon Papa kamu. Udahan bikin onarnya. Tante harap kamu paham maksud Tante, Je."
"Makasih, Tante Egi."
"Tante pergi dulu. Nanti lukanya diobati sampai rumah. Istirahat. Jangan berantem lagi." Seulgi berpaling ke Jaehyun yang sedari tadi diam. "Kamu gak lupa kan kalau masih punya anak? Jangan ngelonin berkas kantor terus, Jae."
"Suami Kakak juga yang ngajarin beginian ke anak aku."
Seulgi tersenyum getir. "Ya gimana dong? Kamu yang bapaknya aja nggak pernah ada waktu buat Nana. Kemana aja, Jae?"
Melesak tepat pada sasaran.
Jaehyun.. kemana saja dirinya selama ini?
Jaemin adalah putranya. Seharusnya perannya lah yang lebih dominan disini. Bukan orang lain. Terlalu sering me-nomor-sekian-kan Jaemin diatas segalanya, membuat anak itu kini jadi terbiasa tanpa dirinya.
Dan alasan kenapa Seulgi yang berada disini adalah salah satunya. Nomor konseling yang Jaemin tulis adalah nomor telepon Seulgi, bukan dirinya.
Jaehyun memutuskan mengajaknya pulang.
Dari perjalanan hingga tiba dirumah, keduanya sama-sama bisu. Tak ada percakapan berarti yang bisa mereka bagi. Sibuk dengan kecamuk benak sendiri-sendiri.
Jaemin dengan rasa sungkannya dan Jaehyun dengan rasa bersalahnya.
"Papa balik aja ke kantor. Aku bisa urus diriku sendiri. Maaf ngerepotin."
"Kamu kelihatan nggak nyaman banget ya sama Papa?"
Jaemin membuang pandangan.
"Beneran, Na?"
Kebisuan Jaemin bikin Jaehyun mampu menyimpulkannya sendiri.
"Apa alasannya? Papa pengen dengar langsung dari kamu."
Jaemin menggeleng lalu meringis pelan saat merasakan perih di sudut bibirnya yang robek. "Aku.. cuma gak mau bikin Papa repot. Dan Papa pasti juga gak punya waktu buat ngurusin sesuatu yang gak penting kayak aku gini. Aku cuma mencoba ngertiin keadaan Papa. Udah, itu aja."
Jaehyun tergugu. "Nana.."
"Maaf karena Jaemin jadi anak yang selalu nyusahin Papa."
Karena bingung mau melakukan apa dan rasanya juga terlihat salah kalau dia balik ke kantor meninggalkan anaknya yang babak belur seperti itu. Jaehyun pun berinisiatif mengambil kotak obat.
Jaemin duduk, menyandarkan punggung pada bahu sofa. Membuka seragam dan memejamkan mata. Luka-luka itu langsung terasa perih dan sakit sekarang.
"Siapa yang mulai?"
Jaemin tersentak. Kaget bukan main sewaktu Jaehyun, yang dia pikir pergi buat balik ke kantor, tahu-tahu sudah duduk disebelahnya. Hendak menutulkan kapas ke wajah Jaemin.
"P-papa?"
"P-papa." Jaehyun justru menirukan nada gugup Jaemin dengan wajah yang sama sekali tak terlihat bercanda. "Anak nakal."
"Sini, Papa risih liat muka bonyok kamu. Gak ada bagus-bagusnya sama sekali."
Jaemin menurut. Menahan desisan sakit sekuat tenaga dengan bibir merapat. Tangannya mengepal, bakal makin kuat saat Jaehyun menekan permukaan kulitnya yang lecet. Matanya sampai berkaca karena menahan perih. Tapi Jaehyun tak menyadarinya. Terus lanjut mengobati, atau lebih tepatnya, Jaemin rasa, pria itu lagi menyiksanya diam-diam.
Sambil ngomel.
"Siapa yang mulai?"
"Mereka."
"Yang mana?" Jaehyun menarik plester diatas paha. Jaemin menunduk, menatapnya. Mencoba menyamankan diri karena tak pernah sedekat ini dengan sang ayah. "Yang mau kamu patahin lehernya tadi?"
Jaemin meringis kecil.
"Mau jadi jagoan?"
"Enggak."
"Terus?"
"Mereka tukang bully. Hobi malakin uang anak-anak. Terus suka nggak sopan sama anak perempuan. Mereka juga gangguin Winter terus. Aku bilangin baik-baik, mereka gak terima. Yaudah, kita berantem."
"Kamu sendiri lawan bertiga?"
Jaemin menunduk. Dia sadar dirinya salah. Meski niatnya baik karena ingin menolong murid yang tertindas.
"Menang?"
"Hm?"
"Menang, nggak?" Jaehyun merekatkan plester tadi ke pelipis Jaemin hati-hati. Kemudian mengusap sudut bibir anak itu yang berdarah.
"Rugi udah bonyok gini kalau nggak menang."
Jaemin kini memberanikan diri menatap wajah Jaehyun. "Papa boleh hukum aku, tapi aku gak menyesal udah mukul mereka. Yang aku sesalin adalah kenapa belum sempat aku bikin mereka pingsan, yang lain udah keburu ngadu."
"Astaga," Jaehyun tiba-tiba tertawa. Dia mengusap-usap kepala anak laki-lakinya yang kini menatap polos. "Ajarannya Yuta apa Johnny nih yang kayak gini, hm?"
Semenjak hari itu, Jaehyun mulai menyadari sesuatu bahwa dirinya telah begitu berjarak dengan Jaemin. Seharusnya dia bisa jadi sandaran sang anak, tempat berkeluh kesah, menangis, bercerita dan melakukan perannya serupa orangtua pada umumnya.
Tapi Jaehyun telah melewatkan masa-masa dimana Jaemin begitu membutuhkannya. Hingga sekarang, anak itu mulai terbiasa tumbuh tanpa dirinya.
Ternyata Jaehyun belum cukup mampu menempati janjinya sendiri untuk bertanggungjawab atas kebahagiaan dan kehidupan putranya.
Jaehyun merasa gagal.
Dia ayah yang buruk sekali.
*
alurnya ini maju-mundur, bacanya pelan-pelan aja biar enggak bingung ya.
05/05/2023.