"Kita mau ngapain kesini, Pa?"
"Papa mau nunjukin sesuatu yang keren."
Jaehyun mengajak Jaemin pergi ke sebuah bukit ditepi kota tempat tinggal mereka. Jaemin takjub karena disana begitu ramai. Macam perayaan agustusan.
Banyak pedagang mainan, makanan, orang-orang yang menonton pertunjukan dan banyak lagi.
"Festival Panen Raya." Jaehyun berkata seraya memberikan dua buah kembang api yang sudah menyala pada Jaemin. Jaemin terima dengan senang hati. "Dulu, setiap setahun sekali. Mama selalu ngajakin Papa kesini, Na. Lihat kembang api sambil makan jagung bakar."
Beberapa orang nampak menerbangkan lampion dari sisi bukit. Lalu kembang api saling berlesatan ke udara. Memeriahkan malam pesta perayaan.
Jaehyun dan Jaemin hanya datang sebagai penikmat.
Jaehyun menatap menerawang jauh. Jaemin berdiri tepat disebelahnya. Turut menatap ke atas langit gelap yang kini dihiasi bertabur bintang, ratusan lampion yang berterbangan dan ledakan kembang api yang begitu meriah.
Jaemin jadi membayangkan, andai Mama ada disini bersama mereka. Pasti rasanya akan lebih menyenangkan.
"Ini salah satu keinginan mamamu yang belum sempat bisa Papa wujudin." Jaemin seketika menoleh saat mendengarnya. Tapi ia tak bertanya sebab Jaehyun sudah bersuara kembali. "Harusnya kita pergi bertiga. Mamamu semangat banget pengen ngajak kamu kesini waktu itu. Katanya kamu bakal seneng lihat kembang api." ditutup seulas senyum hampa.
Mendengarnya, Jaemin kian disergap nyeri. "Kamu senang, nggak?"
"Senang, Pa."
"Syukur deh." Jaehyun menghela lega. Lantas menatap langit sendu. "Papa juga senang kalau kamu senang. Mama di atas sana.. pasti juga senang."
"Papa.. nggak akan ninggalin aku, kan?"
Jaehyun memalingkan wajahnya pada Jaemin. Sorot matanya melunak. "Kenapa ngomongnya gitu?"
Jaemin menunduk. Menatap kedua ujung sepatunya. "Cuma mastiin aja. Kalau aku gak akan ditinggal lagi. Aku," suara Jaemin kian melirih. "Aku cuma punya Papa sekarang."
"Mama," Jaemin mengulas senyum getir. Matanya mulai berkilat. "Papa nggak seharusnya ngerasain sedihnya ditinggal Mama.."
"Maaf karena aku Mama nggak bisa bareng Papa lagi. Mama pasti sakit karena aku," bisiknya pelan. "Maafin Jaemin, ya, Pa."
Jaehyun betulan tak mengira Jaemin akan mengatakan itu. Kalimat menyakitkan itu meluncur dari bibirnya. Mencipta luka tepat di sudut hatinya yang paling dalam.
Rasanya nyeri sekali. Sakit. Jaehyun kesakitan saat mendengar putranya mesti mengatakan kalimat itu.
Bagaimana bisa..
Bagaimana bisa anak itu berpikiran seperti ini?
"Nak," Jaehyun memegangi kedua lengannya. Jaemin terus menunduk. Sekalipun mengangkat kepala. Jaemin menolak menatap Jaehyun lagi. "Jangan minta maaf, ini bukan salah kamu, oke?"
"Tapi kalau bukan karena aku, Mama pasti masih ada disini.. bareng aku, bareng Papa juga." Jaemin membuang pandangan sendu pada tebing curam dihadapan mereka. Gelap gulita.
"Enggak, Na. Ini bukan salah kamu. Sebelum hari itu, Mama memang udah sakit. Tapi dia nggak mau kasih tahu kamu. Takut kamunya sedih," Jaehyun bertutur lembut. Selembut embusan angin yang kini membelai wajahnya. "Mama gak pergi jauh, dia nggak pernah ninggalin kita, Na."
Jaehyun tak pernah menyangka. Dampak dari kalimat menyakitkan yang tanpa sadar Jaehyun lontarkan pada Jaemin bertahun-tahun lalu, kala dirinya dilanda kalut karena keadaan Rose yang tak kunjung membaik, membekas sampai anak itu dewasa.
Jaehyun.. tidak pantas menyandang gelar Ayah didunia ini.
Duka itu bukan hanya miliknya. Dan tanpa sadar, Jaehyun justru memberi goresan yang lebih parah pada putranya.
Yang tak sanggup dihapus mesti telah terlewat masa.
"Jangan nyalahin diri kamu atas kepergian Mama. Semua itu udah takdir dari Yang Maha Kuasa. Enggak ada sangkut pautnya sama kamu. Kamu enggak salah apa-apa, Nana."
"Hari itu, andai aja aku gak marah sama Mama. Andai aja aku tau Mama sakit dari awal, aku gak mungkin kayak gitu ke Mama. Bahkan sampai Mama menghembuskan nafas terakhirnya, aku belum sempat minta maaf.." Jaemin gagal mencegah dirinya sendiri untuk tak jadi sosok lemah.
"Aku ngerasa bersalah sampai sekarang, Pa. Mama.. udah maafin aku, gak, ya?"
Karena Mama, adalah kelemahan terbesarnya.
Jaehyun merengkuhnya. Menepuk-nepuk punggungnya dengan harapan, bisa mereda sesak yang meradang di dada Jaemin.
"Sssht, cukup. Papa nggak mau dengar lagi kamu nyalahin diri sendiri terus. Anak Papa nggak gini deh perasaan. Jaemin yang Papa kenal nggak suka putus asa begini."
Jaemin menyeka sudut matanya yang menetes. Kemudian mengurai pelukan sang Papa.
Jaehyun mengguncang pelan kedua bahu Jaemin. Tatapannya menegas. "Dengar, Mama nggak akan suka kalau dengar kamu ngomong kayak barusan tadi. Kalau dia ada disini, kamu pasti udah di sentil-" Jaehyun menjentik pelan dahinya. Jaemin berhasil tersenyum, meski hanya segaris tipis. "Nih, kapok gak?"
"Kalau kamu mikir begitu karena omongan Papa. Papa minta maaf. Dan tolong lupain aja apapun yang pernah Papa sebut waktu itu. Papa yang salah karena udah ngomong yang nggak bener ke kamu. Mama juga gak pernah marah ke kamu sama sekali, gak perlu minta maaf."
Air mata Jaemin justru mengalir kian deras.
Jaehyun panik. Dia berusaha menenangkannya. Tapi Jaemin tak berhenti menangis, walau suaranya tertahan.
"Pa.."
"Udah dong, Bro! Jangan cengeng gini, malu-maluin banget kamu nih. Gak malu sama badan segede bagong gini hah?"
Jaemin mencicit lirih. Terus natap kebawah. "Kakiku.. kakiku jangan diinjek, Pa, sakit."
Jaehyun cengo. Terus menunduk. Setelah sadar kakinya menginjak kaki Jaemin--entah sejak kapan, barulah Jaehyun meringis lalu memundurkan langkahnya.
"Ngomong dong, kasep!"
Jaemin cemberut dengan hidung semerah tomat.
*
TBC
________05/06/2023