-

15 3 0
                                    

Alea memasuki kelasnya dengan wajah penuh binar. Bibirnya membentuk bulan sabit kala masuk ke dalam kelas.

Kyra atau yang kerap disapa Key menatapnya heran. Key yang tempat duduknya tepat disamping Lea tak sedikitpun mengalihkan pandangannya.

"Kenapa lo?" tanyanya pada akhirnya.

Bukannya menjawab, Lea malah menunjukkan cengirannya pada Key. Lantas Ia menampilkan wajah malu-malunya.

"Hehe, gue udah," ucapnya tak jelas.

Key menatap Lea dengan dahi mengernyit, mencoba menterjemahkan maksud kalimat Lea. Bukannya mendapat jawaban Ia malah bingung sendiri.

"Ngomong yang jelas. Nggak mudeng gue," putusnya.

"Gue... Udah... Hehe, jadian sama Nio."

Key membelalakkan matanya. Tatapannya kembali terkunci pada Lea yang sedang tersenyum malu.

"Kapan?"

"Kemarin. Malem sih, terus tadi gue berangkat bar---

"Batu ya lo," potong Key dengan ketusnya.

"Kenapa sih Key? Nio nggak kayak yang lo pikirin kok. Dia baik, bahkan pdkt kita aja lama banget," terang Lea berusaha meyakinkan Key.

"Harus bukti model gimana lagi yang gue tunjukin ke lo sih Le. Pdkt an lo lama karena emang Nio masih punya cewek. Nggak per---

"Key. Nio mau berubah, udah ya. Kita saling suka. Kalau dia main-main sama gue, nggak mungkin dia rela ngedeketin diri sama bokap, nyokap, bahkan adik-adik gue yang ajaib itu." Lea memotong ucapan Key dengan pernyataan yang membuatnya merasa menang.

"Oke. Gue harap dia beneran kayak yang lo bilang. Tapi awas aja kalau dia macem-macem," peringat Key yang membuat Lea tersenyum.

[][][]

Memiliki seorang adik adalah hal yang selalu didambakan oleh Gavra. 5 tahun terkahir merupakan tahun terberat baginya, jika bisa Ia ingin melompat ke 5 tahun yang akan datang. Sampai kabar bahwa Bundanya mengandung seorang adik membuatnya menepis keinginan itu.

Selama 5 tahun Ia merasakan bagaimana keluarganya hancur. Ia masih belum cukup paham tentang apa yang terjadi tapi yang Ia tahu Ayah dan Bundanya sedang bertengkar.

Melihat teman-temannya hidup dalam keluarga yang harmonis membuat Gavra menyimpan rasa iri dalam hatinya.

Kini penantiannya telah usai. Ia memiliki seorang adik yang amat cantik dan lucu dan Ia kembali merasakan hangatnya sebuah keluarga. Sang ayah yang biasanya pulang beberapa bulan sekali kini hampir setiap hari berada di rumah.

Belum lama Ia merasakan hal itu, Ia kembali merasakan keluarga yang tak lagi utuh. 3 tahun belum cukup untuk kedua orangtuanya menyatukan hati dan pikiran mereka.

Kedua orangtuanya resmi bercerai saat usianya 13 tahun dan adiknya baru berumur 3 tahun. Tak hanya Gavra dan adiknya yang menjadi korban, kakaknya yang berusia 5 tahun lebih tua darinya juga harus menjadi korban. Bahkan jika dibandingkan dengan rasa sakit yang Gavra rasakan, rasa sakit milik kakaknya jauh lebih dalam dan lebih pelik.

"Bang," panggil sang ayah yang membuat Gavra segera menghampiri sang ayah.

"Kenapa yah?" tanyanya.

Ayah merendahkan tubuhnya, menyamakan tubuhnya dengan tubuh kecil milik Gavra. Tak lantas membuka suara, sang ayah menepuk bahu dan puncak kepala Gavra beberapa kali.

"Maafin Ayah ya Bang. Ayah udah jahat sama kalian."

Ditengah kebingungannya dengan ucapan ayahnya. Beliau malah tersenyum sambil menatap Gavra.

"Jangan ngikutin Ayah ya Bang. Kamu nggak boleh ngikutin Ayah jadi orang jahat."

"Jagain Bunda sama kakak ya. Oiya jagain adik juga, jagain mereka bertiga ya bang. Jangan kecewain mereka, jangan bikin mereka sedih," lanjutnya.

Meski hanya sedikit yang dapat Gavra pahami, Ia menganggukkan kepalanya mantap. Terlihat sangat menyanggupi ucapan ayahnya meski dirinya tidak tau betul apa arti ucapan sang ayah.

"Good boy," pujinya dengan senyum yang mengembang.

"Karena Ayah jahat sama kalian, Ayah harus dihukum."

Gavra membelalakkan matanya kala mendengar hal itu. Tatapan bingung terpancar dari matanya.

"Hukumannya Ayah nggak bisa tinggal di sini lagi. Ayah harus tidur dirumah Oma. Tapi Ayah tetep boleh main ke sini kan Bang?"

Gavra mengangguk. "Boleh, sering main ke sini ya Yah."

"Iya, kalau gitu Ayah ke rumah Oma ya? Kalau lama-lama hukumannya juga tambah lama," bual sang ayah.

Gavra mengangguk lantas membiarkan Ayahnya mengambil barang bawaannya yang telah Ia siapkan sejak tadi. Tak lupa melambaikan tangan kepada sang Ayah dengan senyuman kecil.

Tak ada yang tau pasti bagaimana perasaan anak laki-laki itu. Namun, melihat senyumnya saat ini membuat banyak orang berpikir bahwa anak laki-laki itu belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

— ||| —

G E N A PTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang