Bab V : Matinya Si Dukun Santet

946 79 7
                                    

Pagi hari, aku sudah bersiap hendak pergi ke ladang, saat Mas Bambang dan Pak Modin kembali datang ke pondokku. Mereka minta tolong untuk diantar ke desa Karanggedhe. Desa yang lumayan jauh letaknya, di sebelah selatan desa Kedhungsono sana.

Aku tak keberatan. Bahkan merasa senang, karena bisa sedikit membantu mereka. Paling tidak, kehadiranku di desa ini akhirnya bisa sedikit ada gunanya juga. Setelah berganti pakaian dan berpamitan kepada Romlah, kamipun akhirnya berangkat.

"Ada perlu apa ya Mas, kok pagi pagi begini sudah minta diantar kesana?" Tanyaku sekedar berbasa basi, sekaligus memecah kebisuan selama perjalanan, karena baik Mas Bambang maupun Pak Modin sepertinya lebih memilih untuk diam di sepanjang perjalanan ini.

"Ini lho, Pak Modin diminta untuk mengurus jenazah salah satu warga desa sana yang meninggal semalam," jelas Mas Bambang yang duduk disebelahku.

"Lho, apa disana tidak ada modin? Kok mau mengurus jenazah saja harus memanggil modin dari desa kita?" Tanyaku heran, karena setahuku setiap desa pasti pasti sudah memiliki modin sendiri sendiri.

"Ada sih, cuma katanya orang ini meninggalnya ndak wajar gitu. Dan modin disana ndak sanggup untuk mengurusnya. Mangkanya sampai harus minta bantuan sama Pak Modin ini," jelas Mas Bambang lagi.

"Ndak wajar?! Ndak wajar gimana maksudnya Mas?" Rasa penasaranku mulai tumbuh. Orang meninggal dengan cara yang tidak wajar! Sepertinya aku akan berhadapan dengan hal hal yang aneh lagi.

"Entahlah Jok. Kita lihat saja nanti kalau sudah sampai disana. Aku juga penasaran sih. Makanya aku ikut. Yang aku dengar, orang yang meninggal itu bukan orang sembarangan, melainkan seorang dukun atau orang pintar gitu. Jadi ndak aneh kalau meninggalnya dengan cara yang tak wajar," jawab Mas Bambang panjang lebar.

"Jangan asal kalau ngomong Mbang," Pak Modin yang duduk di bangku belakang menukas. "Lagian ndak baik ngomongin orang yang sudah meninggal. Apalagi ngomongin soal keburukannya. Apapun itu, orang meninggal ya meninggal. Bagaimanapun cara meninggalnya. Daripada mengungkit ungkit keburukan atau kekurangannya semasa hidup, lebih baik kita doakan saja, agar almarhum tenang di alam sana."

"Hehehe ..., saya cuma penasaran saja sih Pak. Secara Mbah Dipo ini kan sudah sangat terkenal sebagai seorang dukun yang berilmu tinggi, namun sayang dia sering menyalahgunakan ilmunya itu untuk hal hal yang ndak baik. Bisa saja kan dia mati karena mendapat balasan dari orang orang yang dulu pernah ia celaka," Mas Bambang terkekeh.

"Hush! Sudah dibilang kalau ndak baik ngomongin keburukan orang yang sudah meninggal kok, malah menjadi jadi kamu ini!" Sungut Pak Modin. Mas Bambang hanya tertawa disentsk oleh Pak Modin seperti itu.

"Oh ya Mas Joko, nanti disana kalau tidak keberatan saya mohon bantuannya ya. Dari cerita orang orang yang menjemput saya semalam, sepertinya pekerjaan kali ini tidak akan mudah," kata Pak Modin kepadaku.

"Wah, saya bisa bantu apa ya Pak? Lha wong mengurus jenazah saja saya belum pernah kok. Mungkin Mas Bambang ini yang justru bisa membantu Pak," jawabku heran. Kenapa tiba tiba Pak Modin ini justru minta bantuan kepadaku?

"Halah, Mas Joko ini lho. Kok sukanya merendah gitu. Saya tau Mas, sampeyan ini punya simpanan to? Jadi ndak ada salahnya kalau kemampuan sampeyan itu digunakan untuk membantu sesama," ujar Pak Modin.

Aku hanya garuk garuk kepala mendengar penuturan Pak Modin itu. Dari kemarin, laki laki ini selalu bilang soal kemampuan dan simpanan yang aku miliki, tanpa aku mengerti sedikitpun soal simpanan dan kemampuan apa yang dimaksud.

Hampir setengah jam, barulah kami sampai di desa yang kami tuju. Jalanan yang lumayan sulit untuk dilalui membuatku terpaksa harus ekstra hati hati dalam mengemudi.

Short Story Kedhung Jati 4 : Pondok Kayu Di Tengah LadangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang