Bab 2 - Hantaman Keras

14 2 0
                                    

Hari ini pertandingan semifinal dimulai. Pertandingan kali ini dilaksanakan di stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta. Tim kami akan berhadapan dengan tim sekolah yang terkenal memiliki kemampuan hebat. Dikenal sebagai penguasa lapangan dari timur, mereka adalah tim SSB Hiu dari Surabaya. Tapi bagaimanapun juga sebagai tim yang menjadi tuan rumah saat ini, kami akan berusaha melakukan yang terbaik untuk bisa menang.

Babak pertama pun dimulai. Tim SSB Hiu mendapatkan kesempatan kick off pertama. Tim lawan langsung melakukan penyerangan secara tak terduga. Pemain wingback tim SSB Hiu menyilangkan bola ke dalam kotak penalti kepada pemain penyerang mereka yang sudah berlari kedepan. Tanpa terlihat oleh kami, ia sudah melewati pemain bek yang menjaga dibelakang. Gol pertama pun tercipta dimenit pertama pertandingan bagi tim SSB Hiu. Kami pun tertinggal 1:0.

"Alah! Gimana sih, baru mulai sudah kebobolan kalian. Ayo jangan sampai lengah." Teriak pelatih dari pinggir lapangan.

Kali ini kesempatan kami untuk menyerang. Bola dipegang oleh Rio, ia berusaha menggiring bola maju melalui pinggir lapangan. Rio mengoper bola ke tengah lapangan kepadaku. Namun, sebelum bola tersebut aku dapatkan, bek pemain SSB Hiu menarikku dengan keras dari belakang hingga aku terjatuh. Sebelumnya beberapa kali pemain lawan juga terlihat menyenggol dan menarik pemain kami yang lain dengan maksud sengaja ingin menjatuhkan, sayangnya wasit tidak mengganggap hal tersebut sebagai pelanggaran. Bola pun kembali direbut tim lawan.

"Arga, Lo gapapa Ga?" kata Rio sambil membantuku berdiri.

"Gapapa, cuma jatuh biasa kok. Yok kita rebut kembali bolanya."

"Syukur deh. Oke! Tapi hati-hati Ga saat menyerang nanti. Gue perhatiin para pemain tim Hiu ini suka main fisik buat menghadang kita masuk."

"Siap, tenang aja Yo."

Sebelum babak pertama berakhir, gol kembali tercipta oleh tim SSB Hiu melalui sundulan pemain mereka dari tendangan sudut. Kedudukan saat ini pun jadi 2:0 untuk tim Hiu dan tim Macan. Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, dibabak kedua kami mengganti strategi menyerang menjadi counter attack. Strategi ini ternyata cukup berhasil. Disaat para pemain lawan melalukan penyerangan, rekan timku berhasil merebut bola dan dioper kepadaku. Dengan cepat aku langsung berlari membawa bola ke area lawan. Tidak ada pemain yang berjaga dibelakang sehingga dengan mudah akupun dapat membobol gawang lawan. Skor pun kini menjadi 2:1.

Tinggal mencetak dua angka lagi untuk bisa unggul. Tim kami kembali bisa merebut bola untuk menyerang. Namun kali ini ada satu orang bek tim lawan yang bisa memperlambat serangan kami. Penjagaan area lawan semakin ramai karena mereka segera balik untuk bertahan. Aku saling mengoper bola dengan rekan timku dengan membentuk formasi segitiga sembari mencari peluang kosong untuk maju. Ketika terlihat celah kosong aku langsung lari menggiring bola ke depan, mengecoh pemain lawan dengan dribbling ku dan berhasil melawatinya. Bajuku sempat ditarik namun aku masih bisa tetap melaju.

Ketika aku sampai di kotak penalti lawan dan bersiap untuk menendang bola, tiba-tiba salah satu tim SSB Hiu menyambar dengan tekelan keras tepat mengenai tempurung lutut kananku hingga aku terpelanting ke udara. Waktu terasa berhenti selintas kala itu, bahkan sorak ramai penonton terasa terdengar sunyi. Badanku terjatuh ke atas rumput dan barulah disitu terasa sakit yang belum pernah aku rasa sebelumnya. Rasa sakit tersebut menusuk sukma, perih sembilu menguar tiada tara, membumbung hingga ke langit lepas. Tidak hanya itu, kakiku juga sempat terinjak kiper yang sedang reflek menangkap bola. Sontak aku teriak kesakitan dengan keras dan terguling-guling di lantai.

Prittt!!! Kartu merah dikeluarkan oleh wasit kepada pemain SSB Hiu yang mentekelku.

Terjadi keributan dan cek-cok antara rekan timku yang marah dengan kelakuan pemain tersebut. Mengetahui kondisiku yang tidak bisa bangkit berdiri, tim medik pun segera dipanggil untuk memeriksa keadaanku. Setelah dicek dan dilakukan pengobatan ringan kemudian diputuskan bahwa aku tidak bisa melanjutkan pertandingan saat itu. Aku lalu dibopong tandu oleh medik untuk meninggalkan lapangan agar dapat diperiksa lebih lanjut.

Permainan pun dilanjutkan dan tim kami mendapatkan kesempatan tendangan penalti. Rio yang menjadi penendang penalti berhasil mencetak gol kedua. Pada akhirnya pertandingan berakhir dengan skor 2:3, tim kami unggul dengan mencetak gol di menit terakhir sehingga dapat lolos ke babak final.

Aku dinyatakan mengalami patah tulang pada kaki kananku. Usai kejadian tersebut aku disarankan untuk melakukan perawatan intensif. Berharap hanya mengalami cedera sedang saja, ternyata dokter menyatakan bahwa cedera kakiku sangat parah dan butuh dua kali penanganan operasi tulang. Setelah perawatan seminggu tak kunjung membaik, dokter menyarankan aku untuk diamputasi. Mendengar hal tersebut tentunya aku shock.. tidak terima dan enggan menuruti anjuran dokter. Ayah dan Ibuku juga kaget mendengar saran dari dokter tersebut.

"Tolong dok jangan diamputasi. Pasti ada cara lain untuk menyembuhkan cedera kakiku ini. Ya kan?"

"Jika kakiku diamputasi maka aku nggak bisa bermain sepak bola lagi. Bagaimana dengan karirku nanti?" Pintaku sambil menangis tersedu-sedu.

"Maaf tidak ada cara lain dik. Kecil sekali kemungkinan bisa sembuh. Jika misal ingin dipertahankan, tidak bisa digunakan kembali untuk beraktivitas seperti sedia kala atau malah bisa lebih berbahaya." Kata dokter menjelaskan.

Bersikeras tidak mau untuk diamputasi, aku lalu memutuskan untuk pulang. Aku bilang ke Ayah Ibu untuk mencoba cari pengobatan lain. Berbagai cara aku lakukan untuk berusaha mengobati cederaku. Aku mencoba dengan pengobatan tradisional, namun hasilnya tetap nihil. Malah semakin hari semakin parah rasanya.

Selama hampir satu tahun aku tidak bisa berjalan dan tidak ada perubahan. Diriku terasa hancur pada kondisi yang ku alami. Mimpiku menjadi pesepak bola internasional terasa pudar. Butuh waktu lama bagiku merenung seorang diri untuk bisa mengambil keputusan berat itu. Akhirnya aku putuskan untuk mengambilnya, karena jika tidak maka aku akan berbaring di rumah saja tanpa bisa melakukan apapun.


Arga, Garuda Berkaki SatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang