Bab 3 - Bangkit

9 1 0
                                    

Aku sadar keputusan berat ini harus diambil karena diriku tidak mau terpuruk terus dalam ketidakpastian. Tindakan amputasi pun akhirnya dilakukan. Pagi esoknya aku terbangun dengan perasaan berbeda. Kain putih rumah sakit menutupi kakiku. Aku menarik seprai dan melihat bahwa kaki kananku kini sudah tidak ada. Setelah berpisah dengan kaki kananku, dokter menyarankan aku harus menjalani masa pemulihan di rumah selama beberapa bulan.

Tidak hanya pemulihan fisik yang aku butuhkan, namun juga pemulihan psikologis. Karena mentalku benar-benar sedang hancur saat ini. Bagai tersambar petir di siang bolong. Mimpi seorang remaja laki-laki itu untuk menjadi pesepakbola profesional kini kandas begitu saja.

Benar rupanya, manusia tidak sadar bahwa apa yang mereka punya begitu berharga sampai Tuhan mencabut nikmat tersebut darinya. Padahal hanya satu anggota tubuhku saja yang diambil, namun itu sudah cukup untuk membuatku tidak berdaya dan kehilangan tujuan hidup yang ingin aku capai selama ini.

"Arrgh! Mengapa harus aku yang mendapatkan musibah ini!?" Keluhku yang terbaring mengurungkan diri di dalam kamar.

Tok! Tok! Tok! Terdengar suara ketukan pintu

"Mas Arga, Ibu izin masuk ya."

"Kamu nggak mau keluar kamar? Belakangan ini Ibu perhatikan kamu sering murung. Ibu tahu pasti berat menerima keadaanmu saat ini. Tapi nggak baik loh kalau terlalu larut dalam kesedihan."

"Iya Bu, ntah mengapa aku masih belum bisa menerima kondisiku saat ini. Rasanya sekarang aku udah nggak bisa ngapa-ngapain lagi deh. Maaf ya bu, kayaknya Arga udah nggak ada harapan lagi untuk bisa ngasih yang terbaik ke Ayah dan Ibu."

"Huss Arga! Nggak boleh ngomong gitu. Berputus asa nggak akan membawa kamu kemana-kemana. Kamu cuma kehilangan satu anggota tubuh, bukan berarti dunia telah berakhir. Ingat tujuan mas Arga selama ini kan ingin bisa jadi juara."

"Tapi bu, sekarang untuk berdiri saja aku kesulitan. Bagaimana mungkin aku bisa jadi juara?"

"Seorang juara nggak melulu tentang kemenangan atau pencapaian sebagai sebuah keharusan, mas Arga. Tetapi tentang melihat apa yang ia dapat tampilkan dengan sebaik-baiknya. Jadilah seseorang yang mampu mengendalikan diri dalam situasi apapun yang menekannya dan selalu bersiaplah dengan berbagai keadaan yang dialami. Baik itu yang dapat diprediksi hingga keadaan yang luar perhitungan. Inilah yang disebut sebagai mental juara." Aku terdiam mendengar perkataan Ibu.

"Memiliki mental juara nggak hanya bagi orang-orang yang sedang menghadapi pertandingan atau perlombaan. Tanamkan dipikiran kamu bahwa kamu mampu, mas Arga. Ibu yakin kamu pasti bisa menghadapinya ." kata Ibu sambil mengelus kepalaku.

"Tapi bagaimana cara agar aku bisa menumbuhkan mental juara tersebut Bu?" tanyaku.

"Caranya, yakin pada diri sendiri. Tepiskan rasa pesimisme dari hati, dan hargai sekecil apapun prestasi yang kita raih." senyum Ibu kepadaku.

"Kamu tahu, dari dulu Ibu sebenarnya sudah khawatir kalau mas Arga menjadi pemain bola. Karena kemungkinan cedera atau kecelakaan di pertandingan rentan terjadi. Tapi Ayahmu yang selalu menenangkan dan meyakinkan Ibu untuk tidak terlalu mencemaskanmu. Buktinya kamu bisa memenangkan berbagai liga sepakbola junior di sekolah. Pokoknya, Ibu akan selalu do'akan mas Arga yang terbaik.

Sejak dapat nasehat dari ibu, aku mulai merenung dan mencoba untuk menerima diri ini kembali. Ternyata sudah setahun aku ngendog di rumah aja tanpa melakukan apapun. Hatiku sudah lebih tenang sekarang. Mungkin ini saatnya aku mulai beraktivitas kembali. Aku pun mulai membiasakan diri menggunakan kruk agar bisa berjalan. Agak sulit memang, karena butuh mengatur keseimbangan biar stabil. Tapi lama-kelamaan mulai biasa untuk menggunakannya.

Keesokkan harinya rumah kami kedatangan seorang tamu. Ia adalah teman lamaku. Yaps benar, Rio mampir menjengukku. Sebelumnya aku dengar kabar kalau dia masuk kedalam timnas U-17. Tim sekolah kami kalah dibabak final waktu itu, tetapi karena Rio dianggap sebagai salah satu pemain terbaik di turnamen tersebut maka dia mendapat kesempatan bergabung dari PSSI. Dia baru bisa pulang karena harus mengikuti Pelatnas (pemusatan latihan nasional) di luar kota selama satu tahun kemarin.

"Assalamu'alaikum Arga!"

"Wa'alaikumsalam Rioo..Apa kabar lo? Lama nggak ketemu."

"Baik gue alhamdulillah. Lo sendiri gimana? Masih hidup aja lo Ga."

"Hahaha sialan lo. Oh iya, ngomong-ngomong selamat ya Yo. Gue turut bangga lo bisa masuk timnas U-17. Seru dong nih bisa dilatih sama pelatih kelas internasional?"

"Rasanya bersyukur Ga bisa berlatih bersama tim professional. Tapi gue nggak bisa masuk kalau tanpa lo Ga. Karena lo yang buat guee semangat dalam bermain bola. Jujur kesan combo dynamic duo kita udah lama nggak gue rasakan lagi. Andai lo bisa ikutan juga pasti akan lebih seru lagi rasanya."

"Kelas Pro tekanannya lebih besar pasti. Lo harus membiasakan diri bertanding tanpa gue Yo. Dikondisi gue yang sekarang, gue nggak mikirin lagi untuk jadi pesepak bola."

"Eh iya Ga, udah lama kan lo nggak main bola? Ikut gue ke lapangan yuk, kita main bareng!

"Gimana caranya? Lo nggak lihat kondisi gue sekarang?"

"Bisa tenang aja. Lo cuma nggak pernah nyoba lagi aja."

Aku mengambil kedua tongkat berjalanku dari dalam kamar lalu bergegas ke luar. Kami pun menuju ke lapangan dekat rumah, tempat kami biasa bermain bola waktu kecil. Senang sekali rasanya bisa berada di lapangan hijau kembali. Bau rumput lapangan ditambah dengan hembusan angin sore, melingkupi seluruh tubuhku.

Rio membawa bola dan kemudian mengopernya kepadaku.

"Coba oper bola nya kesini Arga. Gunakan tongkat lo buat tumpuan dan tendang."

Aku lalu mencoba memposisikan diriku ke arah bola. Ku gunakan tongkat sebagai sandaran seperti yang Rio katakan. Kemudian aku condongkan badanku kebelakang dan menekuk kaki kiriku sedikit. Lalu ku tending dengan kaki bagian dalam. Tendanganku agak meleset diawal Aku pun mencobanya kembali dan berhasil mengoper bola ke Rio dengan baik. Di momen itu serasa ada energi bercampur rasa bahagia yang seakan terisi kembali dalam tubuhku.

"Haha lihat itu Yo! Tendangan super Arga kembali!"

"Tendangan super apanya, cuma operan biasa itu loh. Apa gue bilang kan, lo tuh bisa Ga! Sekarang kalau lo bosen di rumah coba main bola aja, biar biasa mainnya juga."

Tak terasa matahari hampir terbenam. Waktuterasa cepat ketika bermain bola. Walaupun saat ini aku hanya bermain salingmengoper sebentar saja dengan Rio, tetapi itu udah cukup untuk membangkitkansemangatku untuk mulai bermain bola kembali.


Arga, Garuda Berkaki SatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang